ARS
CELEBRANDI MENURUT PAUS BENEDIKTUS XVI[1]
Oleh: Vitalis Letsoin
Pendahuluan
Pandangan
Paus Benedictus XIV tentang ars
celebrandi merupakan sebuah jawaban atas surat yang dilayangkan oleh
P.Vittotio Petruzzi, seorang vikaris Paroki di Aprilia. Adapun inti
pertanyaannya yakni “ Sebagai imam, kita dipanggil untuk merayakan suatu
liturgi yang serius, sederhana, dan indah. Inilah rumusan yang terkandung dalam
dokumen “Mewartakan Injil di dunia yang sedang berubah” yang ditulis oleh para
Uskup Italia. Bapa Suci, dapatkah Bapak membantu kami untuk memahami bagaimana
semuanya ini dapat diungkapkan dalam ars
celebrandi?
Ars Celebrandi
Menurut Paus Benedictus XVI
Menurutnya
ars celebrandi terdapat
dimensi-dimensi yang berbeda. Dimensi pertama adalah perayaan yang berarti doa
dan suatu percakapan dengan Tuhan: Tuhan dengan kita dan kita dengan Tuhan : jadi
syarat pertama agar terciptanya perayaan yang baik adalah imam benar-benar
memasuki suatu suasana percakapan ini. Dalam mewartakan sabda Allah, ia merasa
dirinya sendiri sedang berbicara dengan Tuhan. Ia adalah seorang pendengar
Sabda dan sebagai seorang pewarta sabda. Ia harus menjadikan dirinya sendiri
sebagai alat Tuhan dan berusaha memahami sabda Tuhan, yang kemudian harus ia
sampaikan kepada umat. Ia bercakap-cakap dengan Tuhan karena teks misa kudus
bukanlah naskah drama ataupun sejenisnya, melainkan merupakan doa, yang
syukurlah, bersama dengan umat, saya (=imam) berbicara kepada Tuhan.
Karena
penting untuk masuk dalam percakapan itu. St. Benediktus mengajarkan kepada
para imam dengan mengutip ayat-ayat Mazmur, “Mens concordet voci.” Kata-kata “vox” (voci=suara), mendahului
pikiran kita. Ini bukanlah hal yang lazim: seorang harus berpikir dahulu,
kemudian pikiran orang menjadi kata-kata. Tetapi dalam hal ini, Sabda itu ada
terlebih dahulu. Liturgi suci memberi kita kata-kata. Kita harus masuk ke dalam
kata-kata itu, menemukan keselarasan dengan kenyataan yang mendahui kita ini.
Tambahan
lagi, kita juga harus belajar memahami stuktur liturgi dan mengapa hal itu
dirancang sedemikian rupa. Liturgi berkembang dalam kurun waktu dua milenium
bahkan sesudah Reformasi, liturgi bukanlah sesuatu yang digarap oleh para ahli
liturgi. Liturgi selalu merupakan suatu kesinambungan dari pertumbuhan
peribadatan dan pewartaan terus menerus.
Jadi,
supaya tetap sejalan, sangat pentinglah untuk mengerti struktur yang berkembang
sepanjang waktu itu. Penting juga kita memasuki ‘suara/kata-kata’(vox) Gereja
dengan “pikiran”(mens) kita. Lebih lanjut lagi, setelah memahami struktur itu,
memahaminya, mencerna kata-kata dalam liturgi, kita dapat menyelami persatuan
batin ini, dan tak hanya berbicara dengan Allah secara pribadi, tetapi dalam
kebersamaan Gereja, yang sedang berdoa. Maka dengan cara ini, kita mengubah “aku” dan memasuki “kita” sebagai Gereja. Kita memperkaya dan memperluas “aku” berdoa
bersama Gereja, dengan kata-kata Gereja, sungguh-sungguh bercakap-cakap dengan
Allah.
Ini
adalah syarat pertama. Kita sendiri harus mendalami struktur, kata-kata
liturgi, Sabda Allah, sehingga perayaan kita sungguh-sungguh menjadi perayaan
bersama dengan Gereja. Hati kita diperluas dan kita bukannya tidak melakukan
apa-apa, melainkan kita bersama Gereja, dalam percakapan dengan Tuhan. Bagi
saya, umat sungguh merasa bahwa kita menyatu dengan Allah, bersama dengan
mereka, sehingga dalam doa ini, kita memikat orang lain. Dalam persaudaraan
dengan anak-anak Allah kita memikat orang lain, atau kalau tidak, kita hanya
melakukan sesuatu yang pura-pura.
Jadi
unsur fundamental dari ars celebrandi yang
sejati adalah persesuaian ini, keharmonisan antara apa yang kita ucapkan dengan
bibir kita dengan apa yang kita pikir dalam hati kita. “Sursum Corda”, suatu ungkapan liturgi yang sangat kuno, seharusnya
ada sebelum prefasi, sebelum liturgi, sebagai “jalan” bagi kita dalam berbicara
dan berpikir. Kita harus mengangkat hati kita kepada Tuhan, bukan hanya sebagai
tanggapan ritual, melainkan sebagai ekspresi dari apa yang muncul dalam hati
yang diangkat ini, dan juga mengangkat orang lain.
Dengan
kata lain, maksud ars celebrandi
bukanlah sebagai undangan untuk semacam pegelaran atau pertunjukkan, melainkan
pada kedalaman yang dapat dirasakan, diterima dan jelas bagi umat yang
mengambil bagian. Hanya jika mereka melihat bahwa ini bukanlah ars yang
kulitnya belaka atau yang luar biasa-kita bukanlah aktor, melainkan ungkapan
perjalanan batin kita yang memikat hati mereka juga, maka liturgi akan menjadi
indah, liturgi menjadi kesatuan dengan Tuhan dari semua yang hadir.
Tentu saja, hal-hal eksternal harus
juga dilibatkan dengan syarat fundamental ini, sebagaimana terungkap dalam
kata-kata St. Benediktus “Mens concorded voci”- hati sungguh-sungguh
disesuaikan, diserahkan kepada Tuhan. Kita harus belajar mengungkapkan
kata-kata dengan semestinya.
Sewajarnya, untuk belajar
mengungkapkan kata-kata secara tepat, seseorang harus terlebih dahulu mengerti
teks tersebut dengan seluruh karakternya. Sama halnya dengan prefasi dan
doa-doa Syukur Agung. Sulit bagi umat berima untuk mengikuti teks sepanjang Doa
Syukur Agung kita. Karena alasan inilah “penemuan-penemuan” baru terus menerus
digali. Akan tetapi, dengan Doa Syukur Agung yang terus menerus diperbaharui
tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menjadi permasalahannya adalah inilah
saatnya mengundang orang untuk berdiam bersama Allah dan berdoa bersama Allah.
Itulah sebabnya, banyak hal dapat menjadi lebih baik hanya bila Doa Syukur
Agung diucapkan secara baik dan dengan waktu hening yang tepat, apabila Doa
Syukur Agung diucapkan dengan disertai kedalaman batin dan dengan seni
berbicara.
Selanjutnya pembawaan Doa Syukur
Agung, menuntut perhatian khusus apabila diucapkan sedemikian rupa yang
melibatkan orang lain. Saya percaya, kita seharusnya juga mendapat kesempatan
dalam katekese, dalam homili, dan dalam kesempatan lain untuk menjelaskan
dengan baik mengenai Doa Syukur Agung ini kepada umat Allah, sehingga mereka
dapat mengikuti saat-saat penting Kisah Institusi, doa untuk orang yang hidup
dan mati, dan ucapan syukur kepada Tuhan dan epiklesis—bila umat benar-benar
dilibatkan dalam doa ini.
Jadi, kata-kata harus diucapkan
dengan semestinya. Harus ada cukup persiapan yang memadai. Pelayan altar harus
mengetahui apa yang dilakukan; lektor harus mengetahui apa yang akan dilakukan;
lektor haruslah para pembicara yang sungguh berpengalaman. Lalu koor, lagu-lagu
harus dilatih. Dan hiaslah altar dengan dekorasi yang semestinya. Semua ini,
meskipun kebanyakan merupakan hal-hal praktis, juga merupakan bagian dari ars celebrandi.
Namun, untuk menyimpulkannya, unsur
mendasar adalah seni untuk memasuki persatuan dengan Tuhan, yang kita lakukan
sebagai imam seumur hidup kita.
Komentar
dan Refleksi
Baginya syarat pertama dari perayaan adalah doa dan percakapan dengan
Tuhan. Imam dalam hal ini harus benar-benar memasuki suasana percakapan ini.
Dalam mewartakan sabda Allah, ia merasa dirinya sendiri sedang berbicara dengan
Tuhan. Imam sebagai pendengar sabda dan sekaligus pewarta sabda. Dalam hal ini,
Paus mengangkat soal peran imam sebagai pemimpin perayaan. Imam sebagai alat
Tuhan yang berusaha memahami sabda Tuhan, yang kemudian harus dia sampaikan
kepada umat.[2]
Dia bercakap-cakap dengan Tuhan dengan kata-kata dalam buku-buku liturgi.
Struktur liturgi juga harus dipelajari dan dipahami. Sebab dalam setiap perayaan Liturgi para imam
secara eksplisit sakramental membawakan pribadi Kristus, dan gembala umat
beriman terkasih.[3]
Agar menjadi dan membawakan pribadi Kristus, Yohanes Paulus II pernah
menganjurkan bahwa:
“Mereka
hendaklah dibantu dengan segala daya upaya dan sarana yang memadai agar semakin
memahami apa yang mereka laksanakan dalam perayaan kudus sehari-hari, agar
supaya terbina hidup yang berjiwa liturgis, dan mampu meneruskannya kepada umat
yang dipercayakan kepada mereka” SC 14 dan 18)
Sri Paus Benediktus XVI secara
ringkas dan padat mengemukakan peran pemimpin dan imam yang menghantar umat
Allah kepada percakapan dan perjumpaan dengan Allah.
Hal
ini sejalan dengan penegasan yang dibuat oleh Konsili Vatikan II.
Liturgi sebagai sumber utama yang
tak terpisahkan dari hidup Gereja, tak akan pernah terwujud secara baik apabila para imam dalam seluruh kegiatan
pastoralnya kurang diresapi oleh semangat dan kekuatan yang berasal dari
liturgi (bdk. SC 14.)
Agar percakapan dan perjumpaan
dengan Allah terwujud dalam liturgi maka perlu untuk memahami unsur-unsur
liturgi itu. Menurut Gabe Huck, ada empat unsur dalam liturgi yang mewarnai
seluruh liturgi Gereja kita yakni kata, gerak, musik dan suasana.[4]
Pertama, kata. Ada kata-kata seperti salam, aklamasi, doa, litani dan
ajakan. Kata-kata dalam memiliki bermacam-macam fungsi karena itu dalam
usaha untuk mengupayakan liturgi jemaat yang baik dan kuat, perlu dipahami
bagaimana kata-kata itu digunakan.Ketika
mengucapkan kata-kata itu, kita sungguh sedang memainkan suatu peran. Peran
inilah yang memberi makna kepada kata-kata itu.[5]
Kedua, Gerak seperti berbagai cara untuk membuat tanda salib, berlutut,
berdiri, menempuk dada, menundukkan kepala, melipat tangan, menyambut sakramen
mahakudus. Lebih dari itu bagi seorang pemimpin; merentangkan tangan,
mengangkat tangan, membungkuk, memberkati, mengayunkan pendupaan, mencium buku
injil, mengangkat roti dan piala. Tata gerak ini dimaksudkan untuk membantu
kita untuk berdoa dengan melibatkan seluruh pribadi kita.[6]
Lebih dari itu tata gerak merupakan cara untuk
mengungkapkan bahwa kegiatan ini adalah doa dan tidakan Gereja, Tubuh
Kristus yang satu. Perarakan, berjalan dari tempat duduk ke altar atau mimbar
sabda merupakan juga bagian dari tata gerak. Ketiga, musik. Bukan bukan hanya
berarti melagukan madah, baik modern atau kuno melainkan juga menganalisis
bunyi, misalnya bunyi waktu orang berdoa, bunyi orang dalam perjamuan. Gabe
Hunck menegaskan bahwa bunyi merupakan bagian yang amat penting dari peristiwa.
Kaitan antara situasi dan bunyi menjadi amat penting dalam liturgi. Dalam
berdoa misalnya bunyi yang harus kita ciptakan dalam berdoa hendaknya lebih
menyatuh dengan doa. Doa bukan sekedar kata-kata tetapi menyatuh dengan bunyi.
Juga nyanyian mengungkapkan kehidupan, iman dan Gereja. Dalam pernyataan
mengenai musik dalam Liturgi, para Uskup America Serikat berkata, “Musik
hendaknya membantu himpunan jemaat beriman untuk mengungkapkan dan membagikan
karunia iman yang terkandung di dalamnya. Musik hendaklah memupuk dan
menguatkan keyakinan iman jemaat. Musik haruslah menunjang syair sehingga
setiap kata berbicara lebih mantap dan lebih menyentuh. Hanya musiklah yang
mampu meningkatkan mutu sukacita dan gairah jemaat yang hendak beribadat.[7]
Karenanya musik harus dipersiapkan dengan baik.[8]
Keempat, suasana. Suasana sangat
dipenggaruhi oleh tata ruang dan dan tempat berlangsung suatu perayaan sehingga
dapat membantu baik pemimpin maupun jemaat beriman yang berdoa.
Kedua, Sri Paus
mengungkapkan inti dari ars celebrandi
yakni keharmonisan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dipikirkan. Antara
apa yang kita ucapkan dengan bibir kita dengan apa yang kita pikir dalam hati
kita. Kita harus mengangkat hati kita kepada Tuhan, bukan hanya sebagai
tanggapan ritual, melainkan sebagai ekspresi dari apa yang muncul dalam hati.
Bagi kami hal ini penting karena
karena terkadang kata-kata yang tertera dalam teks-teks liturgi hanya dibacakan
begitu saja tanpa melibatkan penghayatan akan makna ungkapan yang dibacakan.
Hal ini dikarenakan beberbagai faktor seperti kemalasan berpikir, kecapaian,
banyaknya masalah pribadi yang turut dibawa serta dalam perayaan liturgi baik
oleh pemimpin sendiri maupun umat yang terlibat dalam perayaan itu. Sehingga
kata-kata menjadi hampa tanpa makna dan pada gilirannya percakapan dan
perjumpaan dengan Tuhan dalam kata-kata dan perayaan liturgi tidak terasa.
Lebih dari itu, karena Ekaristi merupakan perayaan yang dibuat Kristus, dan
dipercayakan kepada Gereja, Bapa-bapa Gereja dalam Konstitusi tentang Liturgi
mengingatkan bahwa
Gereja menjalankan usaha dengan prihatin
agar umat Kristen tidak menghadiri misteri iman ini sebagai penonton yang bisu,
melainkan memahaminya dengan baik, melalui upacara dan doa, lalu berperan serta
dalam kegiatan suci dengan sadar, saleh dan aktif; diganjar oleh sabda Allah,
disegarkan oleh meja perjamuan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah, belajar
mempersembahkan diri mereka sambil membawakan kurban tidak bernoda, bukan saja
melalui tangan imam, tetapi juga bersama dengannya, dan hari demi hari
disempurnakan oleh Kristus Perantara ke dalam kesatuan dengan Allah dan
kesatuan antar mereka, sehingga ahkirnya Allah menjadi semua dalam semua orang.[9]
Konstitusi mengajak semua anggota Gereja untuk berpartisipasi
aktif dan sadar dalam liturgi sehingga liturgi itu sungguh-sungguh merupakan
moment keselamatan yang dipersembahkan Kristus bagi segenap umat beriman.
Ketiga,
Sri Paus menganjurkan pentingnya persiapan yang memadai. Baik misdinar, lektor,
koor, dan lagu-lagu harus dilatih. Lebih
dari itu altar harus didekorasi yang semestinya. Semua ini, meskipun kebanyakan
merupakan hal-hal praktis, juga merupakan bagian dari ars celebrandi.
Bagi Sri Paus, liturgi yang menarik
adalah juga liturgi yang dipersiapkan. Persiapan dilaksanakan oleh semua
komponen yang terlibat di dalamnya. Imam/pemimpin, para pelayan dan petugas
serta umat. Karena di dalam liturgi tidak semua orang mampu untuk melakukan
segala sesuatu secara otomatis, maka persiapan merupakan sesuatu yang mutlak
perlu dalam sebuah liturgi.[10] Hal ini sejalan dengan penegasan Pedoman Umum
Misale Romawi tahun 2002 No:111 yang menegaskan bahwa “ setiap Perayaan Liturgi
harus disiapkan sungguh-sungguh dengan semangat kerja sama antara semua pihak
yang terkait, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan buku liturgis tentang
ritus, segi pastoral, dan musik. Persiapan itu dipimpin oleh pastor kepala yang
hendaknya mendengarkan juga suara umat beriman mengenai hal-hal yang langsung
menyangkut mereka. Tetapi imam yang memimpin perayaan tetap mempunyai hak untuk
mengatur hal-hal yang memang merupakan wewenangnya.[11]
Penutup
Sri Paus menaruh minat yang besar
pada keindahan dan seni merayakan liturgi. Perayaan itu dapat menghantar
kedalam perjumpaan dengan Allah bila saja imam/pemimpin dapat menciptakan
sebuah percakapan yang mesra dengan Allah dan yang terlahir dari sebuah
keharmonisan antara apa yang dikatakan dan dipikirkan. Lebih dari itu, ars celebrandi menjadi sebuah kenyataan
kalau dipersiapkan secara memadai. SC 11 mengimbau para gembala jiwa-jiwa agar
memperlihatkan dengan cermat apa yang menjadi hakikat perayaan serta apa yang
menjadi tujuannya. Seorang pemimpin tertabis diharapkan tidak hanya
mementingkan soal benar, sah atau tidaknya suatu tindakan ritual, melainkan
berusaha menciptakan suasana perayaan yang menyemangati peran serta dan tidak
sebaliknya.[12]
Kepustakaan
Paus
Benedictus XVI, “Ars Celebrandi: Seni
Merayakan Liturgi” diterjemahkan oleh Ina Supangat, dengan judul asli
“Pope’s Response to Priest on the Liturgy” dari Zenit.org. dalam Majah Komisi
Liturgi KWI Vol.17.No:6. November-Desember 2006.
Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi
Tentang Liturgi Kudus No.14, 18, 48 dalam Tonggak
Sejarah Pedoman Arah diterjemahkan
oleh Dr. J. Riberu. Jakarta: Dokpen MAWI, 1983.
Gabe Huck. Liturgi yang Anggun dan Menawan.
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Ernest Maryanto, “Musik Suci, Musik Liturgi, Musik Rohani” dalam Majalah Liturgi KWI
vol.20.No.2 Maret-April 2009.
Petrus R. Somba, “Memerhatikan Musik Liturgi” dalam Majalah Liturgi KWI Vol.20.No.3,
Mei-Juni 2009.
Bernad Boli Ujan, “Sikap
Liturgis: hal sederhana tetapi indah”, dalam Majalah Liturgi KWI
vol.17.No.6, November – Desember 2006.
Terry Panomban, “Ekaristi, Sumber yang
Menghidupkan Sang Gembala dan Kawanan” dalam Imam Jantung Hati Yesus. Jakarta: Obor, 2009.
Bosco da
Cuncha, “Imam dan Liturgi: Ikatan Kewajiban Eklesial dan Personal Seumur Hidup”
dalam Imam Jantung Hati Yesus. Jakarta:
Obor, 2009.
KomLit KWI, Misale Romawi, pedoman umum. Ende: Nusa
Indah, 2002.
Komlit KWI, Sacramentum Caritatis No.13. Jakarta: Komlit KWI, 200.
[1] Paus
Benedictus XVI, “Ars Celebrandi: Seni
Merayakan Liturgi” diterjemahkan oleh Ina Supangat, dengan judul asli
“Pope’s Response to Priest on the Liturgy” dari Zenit.org. dalam Majah Komisi
Liturgi KWI Vol.17.No:6. November-Desember 2006.
[2] St.
Hironimus mengatakan bahwa tidak mengenal Kitab Suci sama dengan tidak mengenal
Kristus. Kitab Suci sebagai Sabda Allah, firman Tuhan sendiri, kita dengarkan
dengan penuh hormat. Setiap kali kita membaca Kitab Suci, adalah Tuhan yang
berfirman, dan kita mendengarkan Tuhan sendiri.
Sedangkan dalam Ensiklik Ecclesia de Eucharistika diingatkan bahwa “setiap
imam merayakan Ekaristi, imam dapat menghidupkan kembali pengalaman kedua Murid
Emaus: “Bukankah hati kita berkobar-kobar........dan mata kita terbuka dan
mengenal Dia”. Bdk. Terry Panomban, “Ekaristi, Sumber yang Menghidupkan Sang
Gembala dan Kawanan” dalam Imam Jantung
Hati Yesus, (Jakarta: Obor, 2009), hlm.67-68.
[3]
Bosco da Cuncha, “Imam dan Liturgi: Ikatan Kewajiban Eklesial dan Personal
Seumur Hidup” dalam Imam Jantung Hati
Yesus, (Jakarta: Obor, 2009), hlm.42.
[4] Gabe
Huck, Liturgi yang Anggun dan Menawan
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm.29.
[6]Bernad
Boli Ujan membahasakannya dengan sikap liturgis. Sikap liturgis mengungkapkan
kepribadiaan seseorang. Kepribadiaan manusia terbentuk dari jiwa dan badan. Di dalam diri manusia
ada unsur batin-hati. Sedangkan pengungkapannya melalui unsur lahiriah-jasmani.
Suasana batin akan nampak dalam sikap lahiriah, dan pada sisi lain sikap
lahiriah bisa merupakan pengungkapan situasi batin dan sekaligus
mempenggaruhinya. Namun yang paling penting ialah kejujuran dan ketulusan.
Artinya, kita perlu menilai secara mendalam apakah sikap lahiriah kita
merupakan ungkapan atau ekspresi yang murni lahir dari kedalaman batin atau
hanya sekedar sebuah topeng. Sikap lahiriah bisa menyembunyikan apa yang
sebenarnya ada di dalam batin manusia. Jadi tidak ada kejujuran dan ketulusan
tetapi kemunafikan atau penipuan. Hal ini sangat ditentang oleh Tuhan. Bernad
Boli Ujan, “Sikap Liturgis: hal sederhana
tetapi indah”, dalam Majalah Liturgi KWI vol.17.No.6, November – Desember
2006.
[7]Ernest
Maryanto menambahkan bahwa dengan musik itu putera-puteri Gereja dapat
melambungkan kepada Allah pujian yang sepantasnya diberikan kepada Allah dengan
citra iman yang lebih kuat, harapan yang lebih hidup dan kasih yang lebih
berkobar. Ernest Maryanto, “Musik Suci,
Musik Liturgi, Musik Rohani” dalam Majalah Liturgi KWI vol.20.No.2
Maret-April 2009.
[8]
Petrus R. Somba, “Memerhatikan Musik
Liturgi” dalam Majalah Liturgi KWI Vol.20.No.3, Mei-Juni 2009.
[9]
Dokumen Konsili Vatikan II, Kosntitusi
Liturgi Kudus No.48 dalam Tonggak Sejarah Pedoman Arah diterjemahkan
oleh Dr. J. Riberu. Jakarta: Dokpen MAWI, 1983.
[10] Gabe
Huck, Liturgi yang Anggun dan Menawan, hlm.89.
[11]
KomLit KWI, Misale Romawi, pedoman umum (Ende: Nusa Indah, 2002)
[12]
Komlit KWI, Sacramentum Caritatis No.13 (Jakarta: Komlit KWI, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar