Rabu, 08 Februari 2012

ARS CELEBRANDI MENURUT PAUS BENEDIKTUS XVI

ARS CELEBRANDI MENURUT PAUS BENEDIKTUS XVI[1]
Oleh: Vitalis Letsoin
Pendahuluan
Pandangan Paus Benedictus XIV tentang ars celebrandi merupakan sebuah jawaban atas surat yang dilayangkan oleh P.Vittotio Petruzzi, seorang vikaris Paroki di Aprilia. Adapun inti pertanyaannya yakni “ Sebagai imam, kita dipanggil untuk merayakan suatu liturgi yang serius, sederhana, dan indah. Inilah rumusan yang terkandung dalam dokumen “Mewartakan Injil di dunia yang sedang berubah” yang ditulis oleh para Uskup Italia. Bapa Suci, dapatkah Bapak membantu kami untuk memahami bagaimana semuanya ini dapat diungkapkan dalam ars celebrandi?

Ars Celebrandi Menurut Paus Benedictus XVI
Menurutnya ars celebrandi terdapat dimensi-dimensi yang berbeda. Dimensi pertama adalah perayaan yang berarti doa dan suatu percakapan dengan Tuhan: Tuhan dengan kita dan kita dengan Tuhan : jadi syarat pertama agar terciptanya perayaan yang baik adalah imam benar-benar memasuki suatu suasana percakapan ini. Dalam mewartakan sabda Allah, ia merasa dirinya sendiri sedang berbicara dengan Tuhan. Ia adalah seorang pendengar Sabda dan sebagai seorang pewarta sabda. Ia harus menjadikan dirinya sendiri sebagai alat Tuhan dan berusaha memahami sabda Tuhan, yang kemudian harus ia sampaikan kepada umat. Ia bercakap-cakap dengan Tuhan karena teks misa kudus bukanlah naskah drama ataupun sejenisnya, melainkan merupakan doa, yang syukurlah, bersama dengan umat, saya (=imam) berbicara kepada Tuhan.
Karena penting untuk masuk dalam percakapan itu. St. Benediktus mengajarkan kepada para imam dengan mengutip ayat-ayat Mazmur, “Mens concordet voci.” Kata-kata “vox” (voci=suara), mendahului pikiran kita. Ini bukanlah hal yang lazim: seorang harus berpikir dahulu, kemudian pikiran orang menjadi kata-kata. Tetapi dalam hal ini, Sabda itu ada terlebih dahulu. Liturgi suci memberi kita kata-kata. Kita harus masuk ke dalam kata-kata itu, menemukan keselarasan dengan kenyataan yang mendahui kita ini.
Tambahan lagi, kita juga harus belajar memahami stuktur liturgi dan mengapa hal itu dirancang sedemikian rupa. Liturgi berkembang dalam kurun waktu dua milenium bahkan sesudah Reformasi, liturgi bukanlah sesuatu yang digarap oleh para ahli liturgi. Liturgi selalu merupakan suatu kesinambungan dari pertumbuhan peribadatan dan pewartaan terus menerus.
Jadi, supaya tetap sejalan, sangat pentinglah untuk mengerti struktur yang berkembang sepanjang waktu itu. Penting juga kita memasuki ‘suara/kata-kata’(vox) Gereja dengan “pikiran”(mens) kita. Lebih lanjut lagi, setelah memahami struktur itu, memahaminya, mencerna kata-kata dalam liturgi, kita dapat menyelami persatuan batin ini, dan tak hanya berbicara dengan Allah secara pribadi, tetapi dalam kebersamaan Gereja, yang sedang berdoa. Maka dengan cara ini, kita mengubah “aku” dan memasuki “kita” sebagai Gereja. Kita memperkaya dan memperluas “aku” berdoa bersama Gereja, dengan kata-kata Gereja, sungguh-sungguh bercakap-cakap dengan Allah.
Ini adalah syarat pertama. Kita sendiri harus mendalami struktur, kata-kata liturgi, Sabda Allah, sehingga perayaan kita sungguh-sungguh menjadi perayaan bersama dengan Gereja. Hati kita diperluas dan kita bukannya tidak melakukan apa-apa, melainkan kita bersama Gereja, dalam percakapan dengan Tuhan. Bagi saya, umat sungguh merasa bahwa kita menyatu dengan Allah, bersama dengan mereka, sehingga dalam doa ini, kita memikat orang lain. Dalam persaudaraan dengan anak-anak Allah kita memikat orang lain, atau kalau tidak, kita hanya melakukan sesuatu yang pura-pura.
Jadi unsur fundamental dari ars celebrandi yang sejati adalah persesuaian ini, keharmonisan antara apa yang kita ucapkan dengan bibir kita dengan apa yang kita pikir dalam hati kita. “Sursum Corda”, suatu ungkapan liturgi yang sangat kuno, seharusnya ada sebelum prefasi, sebelum liturgi, sebagai “jalan” bagi kita dalam berbicara dan berpikir. Kita harus mengangkat hati kita kepada Tuhan, bukan hanya sebagai tanggapan ritual, melainkan sebagai ekspresi dari apa yang muncul dalam hati yang diangkat ini, dan juga mengangkat orang lain.
Dengan kata lain, maksud ars celebrandi bukanlah sebagai undangan untuk semacam pegelaran atau pertunjukkan, melainkan pada kedalaman yang dapat dirasakan, diterima dan jelas bagi umat yang mengambil bagian. Hanya jika mereka melihat bahwa ini bukanlah ars yang kulitnya belaka atau yang luar biasa-kita bukanlah aktor, melainkan ungkapan perjalanan batin kita yang memikat hati mereka juga, maka liturgi akan menjadi indah, liturgi menjadi kesatuan dengan Tuhan dari semua yang hadir.
            Tentu saja, hal-hal eksternal harus juga dilibatkan dengan syarat fundamental ini, sebagaimana terungkap dalam kata-kata St. Benediktus “Mens concorded voci”- hati sungguh-sungguh disesuaikan, diserahkan kepada Tuhan. Kita harus belajar mengungkapkan kata-kata dengan semestinya.
            Sewajarnya, untuk belajar mengungkapkan kata-kata secara tepat, seseorang harus terlebih dahulu mengerti teks tersebut dengan seluruh karakternya. Sama halnya dengan prefasi dan doa-doa Syukur Agung. Sulit bagi umat berima untuk mengikuti teks sepanjang Doa Syukur Agung kita. Karena alasan inilah “penemuan-penemuan” baru terus menerus digali. Akan tetapi, dengan Doa Syukur Agung yang terus menerus diperbaharui tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menjadi permasalahannya adalah inilah saatnya mengundang orang untuk berdiam bersama Allah dan berdoa bersama Allah. Itulah sebabnya, banyak hal dapat menjadi lebih baik hanya bila Doa Syukur Agung diucapkan secara baik dan dengan waktu hening yang tepat, apabila Doa Syukur Agung diucapkan dengan disertai kedalaman batin dan dengan seni berbicara.
            Selanjutnya pembawaan Doa Syukur Agung, menuntut perhatian khusus apabila diucapkan sedemikian rupa yang melibatkan orang lain. Saya percaya, kita seharusnya juga mendapat kesempatan dalam katekese, dalam homili, dan dalam kesempatan lain untuk menjelaskan dengan baik mengenai Doa Syukur Agung ini kepada umat Allah, sehingga mereka dapat mengikuti saat-saat penting Kisah Institusi, doa untuk orang yang hidup dan mati, dan ucapan syukur kepada Tuhan dan epiklesis—bila umat benar-benar dilibatkan dalam doa ini.
            Jadi, kata-kata harus diucapkan dengan semestinya. Harus ada cukup persiapan yang memadai. Pelayan altar harus mengetahui apa yang dilakukan; lektor harus mengetahui apa yang akan dilakukan; lektor haruslah para pembicara yang sungguh berpengalaman. Lalu koor, lagu-lagu harus dilatih. Dan hiaslah altar dengan dekorasi yang semestinya. Semua ini, meskipun kebanyakan merupakan hal-hal praktis, juga merupakan bagian dari ars celebrandi.
            Namun, untuk menyimpulkannya, unsur mendasar adalah seni untuk memasuki persatuan dengan Tuhan, yang kita lakukan sebagai imam seumur hidup kita.




Komentar dan Refleksi
            Baginya syarat pertama dari perayaan adalah doa dan percakapan dengan Tuhan. Imam dalam hal ini harus benar-benar memasuki suasana percakapan ini. Dalam mewartakan sabda Allah, ia merasa dirinya sendiri sedang berbicara dengan Tuhan. Imam sebagai pendengar sabda dan sekaligus pewarta sabda. Dalam hal ini, Paus mengangkat soal peran imam sebagai pemimpin perayaan. Imam sebagai alat Tuhan yang berusaha memahami sabda Tuhan, yang kemudian harus dia sampaikan kepada umat.[2] Dia bercakap-cakap dengan Tuhan dengan kata-kata dalam buku-buku liturgi. Struktur liturgi juga harus dipelajari dan dipahami.  Sebab dalam setiap perayaan Liturgi para imam secara eksplisit sakramental membawakan pribadi Kristus, dan gembala umat beriman terkasih.[3] Agar menjadi dan membawakan pribadi Kristus, Yohanes Paulus II pernah menganjurkan bahwa:
            “Mereka hendaklah dibantu dengan segala daya upaya dan sarana yang memadai agar semakin memahami apa yang mereka laksanakan dalam perayaan kudus sehari-hari, agar supaya terbina hidup yang berjiwa liturgis, dan mampu meneruskannya kepada umat yang dipercayakan kepada mereka” SC 14 dan 18)

            Sri Paus Benediktus XVI secara ringkas dan padat mengemukakan peran pemimpin dan imam yang menghantar umat Allah kepada percakapan dan perjumpaan dengan Allah.
Hal ini sejalan dengan penegasan yang dibuat oleh Konsili Vatikan II.
            Liturgi sebagai sumber utama yang tak terpisahkan dari hidup Gereja, tak akan pernah terwujud secara  baik apabila para imam dalam seluruh kegiatan pastoralnya kurang diresapi oleh semangat dan kekuatan yang berasal dari liturgi (bdk. SC 14.)
           
            Agar percakapan dan perjumpaan dengan Allah terwujud dalam liturgi maka perlu untuk memahami unsur-unsur liturgi itu. Menurut Gabe Huck, ada empat unsur dalam liturgi yang mewarnai seluruh liturgi Gereja kita  yakni kata, gerak, musik dan suasana.[4] Pertama, kata. Ada kata-kata seperti  salam, aklamasi, doa, litani dan ajakan. Kata-kata dalam memiliki bermacam-macam fungsi karena itu dalam usaha untuk mengupayakan liturgi jemaat yang baik dan kuat, perlu dipahami bagaimana kata-kata itu  digunakan.Ketika mengucapkan kata-kata itu, kita sungguh sedang memainkan suatu peran. Peran inilah yang memberi makna kepada kata-kata itu.[5] Kedua, Gerak seperti berbagai cara untuk membuat tanda salib, berlutut, berdiri, menempuk dada, menundukkan kepala, melipat tangan, menyambut sakramen mahakudus. Lebih dari itu bagi seorang pemimpin; merentangkan tangan, mengangkat tangan, membungkuk, memberkati, mengayunkan pendupaan, mencium buku injil, mengangkat roti dan piala. Tata gerak ini dimaksudkan untuk membantu kita untuk berdoa dengan melibatkan seluruh pribadi kita.[6] Lebih dari itu tata gerak merupakan cara untuk  mengungkapkan bahwa kegiatan ini adalah doa dan tidakan Gereja, Tubuh Kristus yang satu. Perarakan, berjalan dari tempat duduk ke altar atau mimbar sabda merupakan juga bagian dari tata gerak. Ketiga, musik. Bukan bukan hanya berarti melagukan madah, baik modern atau kuno melainkan juga menganalisis bunyi, misalnya bunyi waktu orang berdoa, bunyi orang dalam perjamuan. Gabe Hunck menegaskan bahwa bunyi merupakan bagian yang amat penting dari peristiwa. Kaitan antara situasi dan bunyi menjadi amat penting dalam liturgi. Dalam berdoa misalnya bunyi yang harus kita ciptakan dalam berdoa hendaknya lebih menyatuh dengan doa. Doa bukan sekedar kata-kata tetapi menyatuh dengan bunyi. Juga nyanyian mengungkapkan kehidupan, iman dan Gereja. Dalam pernyataan mengenai musik dalam Liturgi, para Uskup America Serikat berkata, “Musik hendaknya membantu himpunan jemaat beriman untuk mengungkapkan dan membagikan karunia iman yang terkandung di dalamnya. Musik hendaklah memupuk dan menguatkan keyakinan iman jemaat. Musik haruslah menunjang syair sehingga setiap kata berbicara lebih mantap dan lebih menyentuh. Hanya musiklah yang mampu meningkatkan mutu sukacita dan gairah jemaat yang hendak beribadat.[7] Karenanya musik harus dipersiapkan dengan baik.[8] Keempat, suasana. Suasana sangat dipenggaruhi oleh tata ruang dan dan tempat berlangsung suatu perayaan sehingga dapat membantu baik pemimpin maupun jemaat beriman yang berdoa.

            Kedua, Sri Paus mengungkapkan inti dari ars celebrandi yakni keharmonisan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dipikirkan. Antara apa yang kita ucapkan dengan bibir kita dengan apa yang kita pikir dalam hati kita. Kita harus mengangkat hati kita kepada Tuhan, bukan hanya sebagai tanggapan ritual, melainkan sebagai ekspresi dari apa yang muncul dalam hati.
            Bagi kami hal ini penting karena karena terkadang kata-kata yang tertera dalam teks-teks liturgi hanya dibacakan begitu saja tanpa melibatkan penghayatan akan makna ungkapan yang dibacakan. Hal ini dikarenakan beberbagai faktor seperti kemalasan berpikir, kecapaian, banyaknya masalah pribadi yang turut dibawa serta dalam perayaan liturgi baik oleh pemimpin sendiri maupun umat yang terlibat dalam perayaan itu. Sehingga kata-kata menjadi hampa tanpa makna dan pada gilirannya percakapan dan perjumpaan dengan Tuhan dalam kata-kata dan perayaan liturgi tidak terasa. Lebih dari itu, karena Ekaristi merupakan perayaan yang dibuat Kristus, dan dipercayakan kepada Gereja, Bapa-bapa Gereja dalam Konstitusi tentang Liturgi mengingatkan bahwa
Gereja menjalankan usaha dengan prihatin agar umat Kristen tidak menghadiri misteri iman ini sebagai penonton yang bisu, melainkan memahaminya dengan baik, melalui upacara dan doa, lalu berperan serta dalam kegiatan suci dengan sadar, saleh dan aktif; diganjar oleh sabda Allah, disegarkan oleh meja perjamuan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah, belajar mempersembahkan diri mereka sambil membawakan kurban tidak bernoda, bukan saja melalui tangan imam, tetapi juga bersama dengannya, dan hari demi hari disempurnakan oleh Kristus Perantara ke dalam kesatuan dengan Allah dan kesatuan antar mereka, sehingga ahkirnya Allah menjadi semua dalam semua orang.[9]
Konstitusi  mengajak semua anggota Gereja untuk berpartisipasi aktif dan sadar dalam liturgi sehingga liturgi itu sungguh-sungguh merupakan moment keselamatan yang dipersembahkan Kristus bagi segenap umat beriman.
            Ketiga, Sri Paus menganjurkan pentingnya persiapan yang memadai. Baik misdinar, lektor, koor,  dan lagu-lagu harus dilatih. Lebih dari itu altar harus didekorasi yang semestinya. Semua ini, meskipun kebanyakan merupakan hal-hal praktis, juga merupakan bagian dari ars celebrandi.
            Bagi Sri Paus, liturgi yang menarik adalah juga liturgi yang dipersiapkan. Persiapan dilaksanakan oleh semua komponen yang terlibat di dalamnya. Imam/pemimpin, para pelayan dan petugas serta umat. Karena di dalam liturgi tidak semua orang mampu untuk melakukan segala sesuatu secara otomatis, maka persiapan merupakan sesuatu yang mutlak perlu dalam sebuah liturgi.[10]  Hal ini sejalan dengan penegasan Pedoman Umum Misale Romawi tahun 2002 No:111 yang menegaskan bahwa “ setiap Perayaan Liturgi harus disiapkan sungguh-sungguh dengan semangat kerja sama antara semua pihak yang terkait, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan buku liturgis tentang ritus, segi pastoral, dan musik. Persiapan itu dipimpin oleh pastor kepala yang hendaknya mendengarkan juga suara umat beriman mengenai hal-hal yang langsung menyangkut mereka. Tetapi imam yang memimpin perayaan tetap mempunyai hak untuk mengatur hal-hal yang memang merupakan wewenangnya.[11]


Penutup
            Sri Paus menaruh minat yang besar pada keindahan dan seni merayakan liturgi. Perayaan itu dapat menghantar kedalam perjumpaan dengan Allah bila saja imam/pemimpin dapat menciptakan sebuah percakapan yang mesra dengan Allah dan yang terlahir dari sebuah keharmonisan antara apa yang dikatakan dan dipikirkan. Lebih dari itu, ars celebrandi menjadi sebuah kenyataan kalau dipersiapkan secara memadai. SC 11 mengimbau para gembala jiwa-jiwa agar memperlihatkan dengan cermat apa yang menjadi hakikat perayaan serta apa yang menjadi tujuannya. Seorang pemimpin tertabis diharapkan tidak hanya mementingkan soal benar, sah atau tidaknya suatu tindakan ritual, melainkan berusaha menciptakan suasana perayaan yang menyemangati peran serta dan tidak sebaliknya.[12]


Kepustakaan
Paus Benedictus XVI, “Ars Celebrandi: Seni Merayakan Liturgi” diterjemahkan oleh Ina Supangat, dengan judul asli “Pope’s Response to Priest on the Liturgy” dari Zenit.org. dalam Majah Komisi Liturgi KWI Vol.17.No:6. November-Desember 2006.

Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Tentang Liturgi Kudus No.14, 18, 48 dalam Tonggak Sejarah Pedoman Arah  diterjemahkan oleh Dr. J. Riberu. Jakarta: Dokpen MAWI, 1983.

Gabe Huck. Liturgi yang Anggun dan Menawan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Ernest Maryanto, “Musik Suci, Musik Liturgi, Musik Rohani” dalam Majalah Liturgi KWI vol.20.No.2 Maret-April 2009.

Petrus R. Somba, “Memerhatikan Musik Liturgi” dalam Majalah Liturgi KWI Vol.20.No.3, Mei-Juni 2009.

Bernad Boli Ujan, “Sikap Liturgis: hal sederhana tetapi indah”, dalam Majalah Liturgi KWI vol.17.No.6, November – Desember 2006.

Terry Panomban, “Ekaristi, Sumber yang Menghidupkan Sang Gembala dan Kawanan” dalam Imam Jantung Hati Yesus. Jakarta: Obor, 2009.

Bosco da Cuncha, “Imam dan Liturgi: Ikatan Kewajiban Eklesial dan Personal Seumur Hidup” dalam Imam Jantung Hati Yesus. Jakarta: Obor, 2009.

KomLit KWI, Misale Romawi, pedoman umum. Ende: Nusa Indah, 2002.

Komlit KWI, Sacramentum Caritatis No.13. Jakarta: Komlit KWI, 200.





[1] Paus Benedictus XVI, “Ars Celebrandi: Seni Merayakan Liturgi” diterjemahkan oleh Ina Supangat, dengan judul asli “Pope’s Response to Priest on the Liturgy” dari Zenit.org. dalam Majah Komisi Liturgi KWI Vol.17.No:6. November-Desember 2006.

[2] St. Hironimus mengatakan bahwa tidak mengenal Kitab Suci sama dengan tidak mengenal Kristus. Kitab Suci sebagai Sabda Allah, firman Tuhan sendiri, kita dengarkan dengan penuh hormat. Setiap kali kita membaca Kitab Suci, adalah Tuhan yang berfirman, dan kita mendengarkan Tuhan sendiri.  Sedangkan dalam Ensiklik Ecclesia de Eucharistika diingatkan bahwa “setiap imam merayakan Ekaristi, imam dapat menghidupkan kembali pengalaman kedua Murid Emaus: “Bukankah hati kita berkobar-kobar........dan mata kita terbuka dan mengenal Dia”. Bdk. Terry Panomban, “Ekaristi, Sumber yang Menghidupkan Sang Gembala dan Kawanan” dalam Imam Jantung Hati Yesus, (Jakarta: Obor, 2009), hlm.67-68.
[3] Bosco da Cuncha, “Imam dan Liturgi: Ikatan Kewajiban Eklesial dan Personal Seumur Hidup” dalam Imam Jantung Hati Yesus, (Jakarta: Obor, 2009), hlm.42.
[4] Gabe Huck, Liturgi yang Anggun dan Menawan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm.29.
[5] Ibid., hlm.31.
[6]Bernad Boli Ujan membahasakannya dengan sikap liturgis. Sikap liturgis mengungkapkan kepribadiaan seseorang. Kepribadiaan manusia terbentuk  dari jiwa dan badan. Di dalam diri manusia ada unsur batin-hati. Sedangkan pengungkapannya melalui unsur lahiriah-jasmani. Suasana batin akan nampak dalam sikap lahiriah, dan pada sisi lain sikap lahiriah bisa merupakan pengungkapan situasi batin dan sekaligus mempenggaruhinya. Namun yang paling penting ialah kejujuran dan ketulusan. Artinya, kita perlu menilai secara mendalam apakah sikap lahiriah kita merupakan ungkapan atau ekspresi yang murni lahir dari kedalaman batin atau hanya sekedar sebuah topeng. Sikap lahiriah bisa menyembunyikan apa yang sebenarnya ada di dalam batin manusia. Jadi tidak ada kejujuran dan ketulusan tetapi kemunafikan atau penipuan. Hal ini sangat ditentang oleh Tuhan. Bernad Boli Ujan, “Sikap Liturgis: hal sederhana tetapi indah”, dalam Majalah Liturgi KWI vol.17.No.6, November – Desember 2006.

[7]Ernest Maryanto menambahkan bahwa dengan musik itu putera-puteri Gereja dapat melambungkan kepada Allah pujian yang sepantasnya diberikan kepada Allah dengan citra iman yang lebih kuat, harapan yang lebih hidup dan kasih yang lebih berkobar. Ernest Maryanto, “Musik Suci, Musik Liturgi, Musik Rohani” dalam Majalah Liturgi KWI vol.20.No.2 Maret-April 2009.
[8] Petrus R. Somba, “Memerhatikan Musik Liturgi” dalam Majalah Liturgi KWI Vol.20.No.3, Mei-Juni 2009.
[9] Dokumen Konsili Vatikan II,  Kosntitusi Liturgi Kudus No.48  dalam Tonggak Sejarah Pedoman Arah diterjemahkan oleh Dr. J. Riberu. Jakarta: Dokpen MAWI, 1983.


[10] Gabe Huck, Liturgi yang Anggun dan Menawan, hlm.89.
[11] KomLit KWI, Misale Romawi, pedoman umum (Ende: Nusa Indah, 2002)
[12] Komlit KWI, Sacramentum Caritatis No.13 (Jakarta: Komlit KWI, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar