Rabu, 08 Februari 2012

BERKENALAN DENGAN SENI RUPA SEBAGAI SENI SUCI DALAM GEEREJA

BAB I
BERKENALAN DENGAN SENI RUPA
SEBAGAI SENI SUCI DALAM GEEREJA
(Oleh: Vitalis Letsoin)

Keindahan dalam dirinya sendiri bersifat universal, seperti kebijaksanaan Konfusius bahwa segala sesuatu itu indah. Pernyataan ini selaras dengan filosofi mazhab Skolastik, “omne ens est pulcharum”. Namun keindahan sesuatu hanya dapat ditangkap oleh manusia bila sesuatu itu memancarkan semacam energi kepada indra manusia. Energi dari keteraturan ini memancar kepada indra dan pancaran ini oleh St. Agustinus disebut “Splendor ordinis” :semarak dari harmoni. Dengan ini dapat dimengerti bahwa alam semesta ini sungguh indah, menampilkan keindahan natural, yang menurut Plotinos bersumber pada LOGOS, Sang Maha Pengatur[1].
Pada kenyataannya, kehidupan manusia pasti mendambahkan estetika atau keindahan dan keteraturan, sebab itulah yang menghantar manusia untuk merasahkan sebuah kegembiraan yang mengalir dari jiwa dan raga setiap insan. Hal ini menggambarkan dua unsur hakiki yang terkandung dalam pribadi setiap orang yaitu unsur jasmani dan rohani sebagai hakikatnya. Dari unsur jasmani atau fisik seni dirasa sebagai satu kepuasan badaniah yakni untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari demi kesejahteraan badaniah (ekonomi). Sementara dari perspektif psikis atau rohani manusia merasahkan kebutuhan seni sebagai satu kepuasan mental, esteti, arsitik yang diukur melalui rasa senang, gembira dan anggun demi keseimbangan kesejahteraan badaniah dan rohaniah. Seni sebagai karya ekspresif, manusia mulai mengkonkritkan jiwanya atau imannya melalui karya seni yakni keagungan Tuhan yang dapat dilihat dan dirasahkan dalam pengalaman iman. Maka dengan seni, manusia dapat menggambarkan sifat-sifat Tuhan yang baik, agung, indah dan teratur dalam setiap karya seni. Tujuannya tentu untuk mengagumi dan memuliakan Tuhan sendiri dalam hidup sebagai orang beriman.
Dari berbagai cabang seni, seni rupa merupakan salah satu cabang seni yang dapat memberikan keindahan dari rupa atau bentuk yang tampak pada karya seni.[2] Setiap cabang seni mempunyai ciri khas dan memiliki keunikan tersendiri. Oleh karena itu, untuk menciptakan sebuah karya seni diperlukan kemampuan, keahlian, kelebiahn dan ciri khas serta keunikan tersendiri pada penciptanya. Setiap seni mempunyai unsur keindahan yang berbeda. Beberapa keindahan yang dapat dinikmati dari karya seni dapat berbentuk Rupa, Gerak dan Bunyi. Pada umumnya semua hal yang berkaitan dengan seni menunjuk pada arti kata bahasa Latin ars[3], artinya keahlian dalam mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan imajunasi penciptaan benda, suasana yang dapat menimbulkan rasa indah. Unsur keindahan, karena dikerjakan dengan keahlian estetika yang unik dan menarik.
Dalam skripsi ini saya hanya membahas bagian seni yang dapat ditampilkan dengan bentuk dan rupa yang memiliki tiga dimensi (karya seni yang didasarkan atas ukuran panjang, lebar dan tinggi atau dalam) maupun dua dimensi (karya seni yang didasarkan atas panjang dan lebar), itulah yang disebut Seni Rupa. Penulis sendiri membagi pembahasan seni rupa ke dalam beberapa bagian, di antaranya yaitu pengertian Seni Rupa, Sejarah Munculnya Seni Rupa, Perkembangan Seni Rupa Kalsik Barat (Yunani dan Romawi), Sejarah Seni Rupa di Indonesia, Cabang-Cabang Seni Rupa, Unsur-Unsur Seni Rupa, Cabang dan Fungsi Seni Rupa, Media Seni Rupa, Seni dan Agama dan diakhiri dengan sebuah Kesimpulan.

I. APA ITU SENI RUPA
I.1. Pengertian Seni Rupa
Seni Rupa terdiri dari dua kata yang memiliki arti dan makna tersendiri. Pertama, arti kata seni:[4] Secara populer kata seni sering diidentik dengan keindahan, mengandung nilai estetis (indah, permai. menawan, mempesona), yang disukai oleh manusia dan mengandung ide-ide yang dinyatakan dalam bentuk aktivitas atau rupa sebagai lambang. Indah merupakan nilai yang berkaitan dengan perasaan sehingga sangat subjektif sifatnya. Seni sebagai bagian dari estetika (tentang keindahan, berada di luar lingkup logika ataupun etika). Menurut Imanuel Kant keindahan seharusnya  ditinjau dari dua sisi yang berbeda, oleh karena itu ia menegaskan:
Keindahan dapat ditinjau dari dua sisi: secara objektif keindahan adalah keserasian suatu objek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi fungsi. Secara subjektif, keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dengan logika dan konsep dan tanpa disangkut-pautkan dengan kegunaan praktis dapat mendatangkan rasa senang pada si penghayat.[5]

Tentang hal yang sama Thomas Aquinas menekankan:
 keindahan akan terbentuk jika memenuhi tiga syarat, yaitu adanya integritas (kesatuan) atau kesempurnaan, proporsi yang tepat dan harmonis dan kalaritas (kejelasan). Unsur-unsur inilah yang akan membentuk sesuatu menjadi indah sehingga orang mengerti bahwa itu adalah karya dari suatu seni.[6]

Kedua, arti kata rupa:[7] rupa adalah sebuah kata yang menunjuk pada satu keadaan yang terlihat dari luar saja. Atau secara nyata segala sesuatu (benda) yang  nampak pada  panca indra penglihatan sehingga memberikan satu gambaran tertentu  pada bentuk dan wujud yang tertangkap. Dalam arti itu, seni rupa adalah segala hal yang dapat dibuat menjadi indah (sebuah karya manusia) dan dapat memberikan ketertarikan tertentu bagi subyek yang menikmati. Oleh karena itu, seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan, atau satu karya seni yang bisa dinikmati dan dihayati dengan indra penglihatan. Karena itu setiap karya seni rupa dapat memberikan keleluasaan di dalam memvisualisasikan atau mewujudkan ekspresi ke dalam bentuk karya fisik secara dwimatra (dua dimensi) dan trimatra (tiga dimensi) yang memuat unsur estetik dan artistik. Dilihat dari konsep pembuatan seni rupa, setiap karya seni rupa dimgerti dari mengubah materi atau benda berdasarkan hasil renungan atau pemikiran hingga membentuk sebuah karya benda yang menyenangkan, baik untuk dinikmati maupun dimanfaatkan sesuai kegunaannya tanpa mengesampingkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dilihat dari bentuknya, karya seni rupa dapat diwujudkan atau ditampilkan melalui beberapa unsur: Pertama unsur fisikoplastis (wujud fisik) yang di dalamnya terdapat unsur garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika. Kedua,  unsur ideoplastis (psikis atau jiwa) yang di dalamnya memuat unsur ekpresivitas, kreativitas, dan keindahan.
            Pada saat ini para pelaku seni rupa berusaha mengembangkan dan menemukan cara-cara baru dalam berkarya baik di dalam mempergunakan teknik tradisional, modern, atau membuat kolaborasi teknik dalam berkarya seni rupa sehingga dapat menghasilkan karya seni yang unik dan kreatif. Beberapa karya seni rupa yang menggunakan teknik tradisional di antaranya adalah teknik menganyam, mengukir, memahat, dan membatik tanpa memakai alat bantu mesin. Adapun cara membuat karya seni rupa dengan teknik modern adalah mengubah kebiasaan, aturan, atau adat istiadat orang terdahulu menjadi cara yang baru, mengubah dan memperbaiki, serta mengembangkannya sesuai dengan kemajuan teknologi dalam menciptakan sebuah karya seni secara ekspresif, kreatif, dan estetik. Contohnya, terdapat karya gambar dalam media kaca, ukiran dari besi, membuat patung dengan bantuan mesin dan komputer, membuat karya reklame dengan bantuan komputer dan mesin cetak, dan lain sebagainya.
I.2. Sejarah Munculnya Seni Rupa
            Perkembangan seni rupa merupakan bagian dari perkembangan budaya manusia maka, pada bagian di bawah ini dijejaki sejarah munculnya seni rupa di Barat (Yunani dan Romawi) dan di Asia (Mesir dan Indonesia).  Adapun perkembangan karya seni rupa itu dapat dibahas sebagai berkut:
I.2.1. Di Mesir
Pengenalan karya seni rupa dapat melalui sejarah, asal-usul bentuk-bentuk dari benda seni atau melalui hasil karya seni rupa yang ada pada saat sekarang. Di Mesir, bentuk hasil karya seni rupa yang ditemukan seperti, seni bendungan irigasi, seni bangunan, dan seni pematungan.
            Seni bendungan: jika ditinjau dari zaman 4000 SM dalam pengenalan karya seni rupa melalui sejarah dunia bahwa di lemba Sungai Nil di Mesir telah terdapat hasil karya seni rupa seperti: bendungan Sungai Nil yang merupakan pengairan irigasi bagi pertanian sepanjang Sungai Nil yang berguna bagi kesuburan rakyat Mesir pada zaman itu. Bendungan tersebut dikerjakan dengan satu kemahiran gaya seni sehingga terlihat indah dan teratur.
            Seni bangunan arsitektur: bentuk seni rupa lain ditemukan dalam bentuk Pyramida yang dibangun dari bahan-bahan batu dan sebagainya merupakan bentuk yang megah kebesaran bangsa Mesir. Hasil karya seni rupa tersebut mau memperlihatkan betapa besar pengaruh serta wibawa seorang kaisar. Hasil karya seni Pyramida itu terdapat pemakaman bagi kaisar-kaisar Mesir seperti; kaisar Ramses II, Cleopatra dan pembesar lainnya. Selain itu, bentuk karya seni dalam rupa Spinks yaitu suatu bentuk bangunan dari bahan batu dan lain-lain yang oleh para seniman arsitektur pada zaman itu dibentuk menyerupai badan singa (harimau besar atau lodaya) dengan berkepala manusia terhormat atau kepala seorang tokoh. Makna yang mau ditekankan pada bangunan itu adalah menggambarkan besarnya kekuasaan seorang Kaisar yang sedang memimpin. Ada juga bentuk karya seni rupa bangunan Oblinsk, merupakan bangunan kubustis (bentuk bangunan raksasa). Di atas bangunan Oblinsk berbentuk bujur sangkar yang lebar. Bangunan tersebut digunakan sebagai tempat ibadat atau pemujaan terhadap Dewaning Ra seperti orang Jepang menyemba Shinto atau dewa Matahari.[8]
Seni patung: bentuk seni patung Mesir kuno dikembangkan untuk merepresentasikan dewa-dewa Mesir kuno, juga para Fir'aun, dalam bentuk fisik. Aturan-aturan yang sangat ketat diikuti ketika menciptakan karya patung; patung laki-laki dibuat lebih gelap daripada patung perempuan; dalam patung berposisi duduk , tangan harus diletakkan pada lutut dan aturan-aturan tertentu dalam menggambarkan para dewa. Peringkat artistik didasari atas kesesuaian dengan aturan, dan aturan tersebut diikuti secara ketat selama ribuan tahun, sehingga penampilan patung tidak banyak berubah kecuali selama periode singkat semasa pemerintahan Akhenaten dan Nefertiti, diperbolehkan penggambaran secara naturalistik.[9]


I.2.2. Di Yunani
Bangsa Yunani adalah bangsa yang sangat mengutamakan keindahan dalam segala hal. Oleh karen itu, bangsa Yunani banyak menghasilkan karya-karya seni yang bermutu tinggi terutama pada seni bangunan dan seni patungannya. Secara garis besar, perkembangan sejarah seni rupa Yunani dapat dibagi menjadi tiga zaman, yaitu zaman Pra Sejarah Yunani, zaman tengah Yunani, dan zaman gemilang Yunani. Perkembangan yang sangat menonjol dalam bidang seni adalah dalam bidang seni bangunan dan seni patung yang meninggalkan karya-karya yang indah dan bermutu tinggi.

I.2.2.1. Seni Bangunan Yunani

Seni bangunan Yunani memakai teknik arsitrap, yaitu bangunan yang disangga oleh tiang. Bentuk bangunan khas Yunani ini terdapat di bukit Acropolis berupa kuil parthenon yang didirikan untuk menghormati Dewi Pallas Athena dan kuil Erechtheum yang mempunyai jenis tiang caryatids, yaitu tiang dengan bentuk patung wanita.
            Selain kuil, didirikan juga bangunan profan (bangunan yang bersifat keduniawian), di atantaranya stadion tempat penyelenggaraan Olympiade, seperti yang terdapat di bukit Olympus untuk menghormati Dewa Zeus dan theatron (tempat pertunjukan teater dengan berbentuk kepala kuda).

I.2.2.2. Seni Patung Yunani

            Seni patung Yunani terdiri atas tiga zaman, yaitu zaman Achaea, zaman Klasik, dan zaman Helenisme. Awal seni patung Yunani dimulai pada zaman Achaea. Pada zaman ini, karya seni patung merupakan peniruan karya seni dari Mesir. Karya-karya pada zaman ini masih terlihat kaku, karena pengusungan tekni belum begitu mahir.
            Pada zaman Klasik, pengusungan teknik telah begitu mahir. Zaman ini diwakili dengan hadirnya seniman mazhab Athis Lama (490 SM-430 SM), yaitu Phidias, Myron, dan Polyclitus. Kemudian lahirnya mazhab Athis Baru (390 SM-330 SM) ditandai dengan lahirnya tiga seniman yaitu, Praxiteles, scopas dan Lysippus. Kedua mazhab ini mempunyai perbedaan-perbedaan: ciri khas mazhab Athis Lama adalah patung yang dibuat kepalanya lebih kecil dari pada badan yang tinggi dan besar, sedangkan ciri khas mazhab Baru bersifat realistis, dan selalu menampilkan patung para tokoh-tokoh terkemuka. Pada zaman Helenisme, tidak ada lagi kesulitan dalam menguasai batu. Para seniman mulai mempertunjukkan kebolohannya dalam berkarya sampai akhir gaya yang aneh-aneh, yaitu gaya sandiwara atau pathetis[10].
I.2.2.3. Seni Lukis Yunani
Seni lukis Yunani yang ada, sebagian besar hanya dapat ditemukan pada benda-benda yang keras, seperti vas bunga, gerabah dan keramik.[11] Banyak peninggalan ini terlihat lukisan-lukisan seperti manusia yang sedang berdi atau kerja lebih dari satu, binatang buas seperti harimau dan singa dan juga hewan peliharaan seperti domba dan lembu. Dari jenis lukisan ini dapat mengetahui ketinggian mutu lukisan yang menampilkan cara hidup dan berelasi dengan lingkungan hidup pada zamannya.
I.2.3. Di Romawi
Bangsa Romawi mempunyai kepribadian yang baik dalam perkembagan karya seni rupa karena mereka memang menyenangi keindahan dan kemegahan yang berdasar dari falsafah hidupnya yang mengautamakan keduniawian sehingga melahirkan seni bangunan profan (seni bangunan keduniawian). Sehubungan dengan itu maka lahirlah anti vandalisme (perilaku rusak yang sudah ada), sehingga karya seni bangsa Yunani yang dikalahkannya tetap lestari bahkan kemudian dikembangkannya sehingga menemukan gayanya sendiri, yaitu gaya bangsa Romawi.
I.2.3.1. Seni Bangunan Romawi
            Banyak bangunan yang didirikan oleh bangsa Romawi, di antaranya adalah:
  • Bangunan Phantheon; bangunan ini memiliki atap kubah 43 m di tempat penyimpanan patung dewa. Atap kubah itu dibuat oleh kaisar Handrianus, sedangkan bagian depan ditambah oleh kaisar Agrifa.
  • Bangunan Triumphal Aches (gapura kemenangan), yaitu suatu momen yang khusus dibangun untuk mengabadikan suatu kemenangan. Bentuk gapura ini ada beberapa variasi tergantung pada kebutuhannya (bentuk kemenangan).
  • Bangunan Theater Romawi-Amphi Theater (Colosseum), bangunan ini didirikan di lapangan terbuka dan menjadi bangunan untuk memanjakkan kesenangan raja (kaisar) sekaligus sebagai sarana hiburan rakyat Romawi dalam pertunjukan kesatriaan, yang di sebut gladiator (pendekar). Ketika awal perkembangan agama Kristen, colosseum ini pulalah yang menjadi tempat para penganut Kristen dihidangkan pada singa-singa yang buas dan kelaparan untuk menakuti dan mencegah berkembangnya ajran Kristen.
  • Bangunan Basilika, yaitu bangunan paling sederhana karena hanya menggunakan kontruksi kayu. Bangunan ini merupakan jenis awal bangunan gereja di Romawi yang kemudian sangat berpengaruh untuk pembuatan bangunan gereja pada masa berikutnya.
  • Bangunan Thermae, adalah bangunan profan berupa tempat pemandian umum yang dilengkapi dengan fasilitas tempat pemandian air panas (caldarium), bak pemandian air hangat (tepidarium) dan dingin ( frigidarium).
  • Bangunan Aquaduct, yaitu bangunan terowongan air (gorong-gorong saluran air) berawal dari sumber mata air yang sangat jauh melewati bukit, lembah bahkan menerobos pegunungan dan berakhir di istanah kaisar.

I.2.3.2. Seni Patung Romawi
            Seni patung bangsa Romawi, cenderung melanjutkan seni patung bangsa Yunani, bahkan banyak patung hasil seniman Yunani yang direproduksi (dibuat ulang) dengan bahan dari pualam, sedangkan originalnya dari seniman Yunani terbuat dari perunggu. Karya seni rupa Romawi yang paling menonjol adalah dalam seni patung potret dengan gaya realistis Yunani yang khas Romawi. Patung-patung yang bergaya realistis itu terungkap dalam patung model para tokoh seperti kaisar Agustus dari Prima Porta dan kaisar Constantine dari Bizantium.
I.2.3.3. Seni Lukis Romawi
            Seni lukis bangsa Romawi ditemukan pada bekas sisa-sisa reruntuhan istana atau rumah bangsawan yang terbatas jumlahnya. Bentuk lukisannya berupa fresco yaitu lukisan dinding atau langit-langit dengan cat air atas kapur yang masih basah, yang pada wujudnya lebih menyerupai pemandangan alam secara realistis daripada lukisan hiasan yang merupakan dasar fresco.[12] Salah satu bentuk lukisan fresco ditemukan pada Villa Al-Bani, yaitu berupa lukisan dinding gaya Romawi dilengkapi dengan pemandangan alam yang realistis. [13]




I.2.4. Perkembangan Seni Rupa Kalsik Barat (Yunani dan Romawi)

            Seni rupa Yunani dan Romawi disebut sebagai seni rupa kalsik barat karena pada zamannya telah mencapai puncak keemasannya.[14] Kelahiran Seni Rupa Klasik Barat, berawal di Yunani. Dewa-dewa Yunani dibuat patung dalam wujud manusia yang sempurna dalam ukuran yang lebih besar. Proporsi bentuk manusia dan anatominya dijadikan titik tolak perwujudan. Selain itu, mereka juga membuat patung tokoh-tokoh sejarah, pahlawan, filsuf, dan olah ragawan. Adapun lukisan-lukisan Yunani banyak ditemukan dalam benda-benda pakai yang keras, seperti vas bunga, gerabah dan keramik.
            Ketika Iskandar Zulkarnain menguasai Yunani, maka diciptakannya perpaduan seni timur dan barat dan kemudian diberi nama seni Hellenisme yang menyeber ke seluruh daerah taklukannya, di antaranya ke India. Dari tanah India inilah gaya seni hellenisme kemudian sampai ke Indonesia.
I.2.5. Sejarah Seni Rupa di Indonesia
            Pada zaman Animisme tahun 100-san Masehi, terdapat banyak benda-benda karya seni rupa dari batu-batu kasar, tulang hewan dan kayu seperti tombak, pentung, landasan, sanggurdi dan lain-lain. Lain dengan hasil karya pada zaman Dynamisme tahun 200 Masehi, hasil karya seni rupa sudah meningkat. Pada zaman itu hasil karya seni rupa seperti: keris, tombak, tameng, bokor, pentung dan lain-lain.
            Pada tahun 400 Masehi di kerajaan Tarumanagara, Jawa Barat, pada waktu raja Prabu Purnawarman, agamanya Budah Mahayana-Hinayana, ajaran dari seorang Biksu Tiongkok, Fa Hien. Terdapat karya seni rupa di antaranya “ Batu tulis” dengan huruf Pallawa yng menerangkan bahwa:
Pada tahun 400 terdapat di situ arah Bogor-Cisadane Gn. Salak-Gn. Gade-Gn. Pangrango-Ciaruteun ada kerajaan besar yng menjadi rajanya ialah Maha Prabu Purnawaman. Terdapat pahatan skral yang merupakan bentuk telapak kedua kaki raja dan kedua kaki gajah putih, kendaraan raja pada zaman itu (zaman kerajaan Taruma).[15]

                Perkembangan selanjutnya bentuk seni rupa sangat besar sehingga pada  tahun 800 (abad ke-8), terdapat peninggalan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti: Candi Brobudur, dan Mendut. Pala candi-candi lainnya seperti; candi Kalasan, Sewu, Jago, Prambanan, Jangrang, Seloka. Selain itu terdapat Candi di Dieng, candi Harjuna, candi Bima, candi Nakula, candi Sadewa dan candi dilengkapi dengan perkakas, keraton, benda-benda hiasan, pakaian kerajaan, pakaian kerajaan pakaian keprajuritan, payung Agung keprabonan, dan lain sebagainya. Semua benda seni rupa dalam candi dibuat dalam konteks ritus keagamaan Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia.
I.3. Cabang-Cabang Seni Rupa

Charles batteaux (1731-1780) seorang ahli estetika dapat mengelompokan karya seni rupa ke dalam dua kelompok atau cabang seni;[16] pertama, seni murni/Fine Art atau beaux-arts, atau Pure art yaitu karya seni yang menghasilkan estetis belaka atau karya seni yang tidak memperhatikan unsur praktis. Karya seni rupa murni diciptakan khusus berdasarkan kreativitas dan ekspresi pribadi pembuatnya. Kedua, seni berguna atau Usefel Art atau disebut juga seni terapan atau applied art yaitu cabang seni rupa yang mengkhususkan penciptaannya pada nilai praktis karya yang dihasilkan. Salah satu cabang seni rupa terapan yaitu desain. Desain merupakan aktivitas seni rupa yang mengutamakan unsur, guna, ekonomi, promosi dan kebutuhan masyarakat.
I.3.1. Seni Rupa Murni
Sesuai dengan fungsi dan pemanfaatannya, hasil karya seni rupa yang digolongkan dalam seni rupa murni yaitu, seni lukis, seni grafis, seni patung dan seni keramik. Fungsi seni yang dimaksudkan adalah sebagai pemuas unsur estetik, humanis, dan kebutuhan ekonomis[17].
I.3.1.1. Seni Lukis
Seni lukis adalah salah satu cabang dari seni rupa dengan dasar pengertian yang sama, yaitu sebuah pengembangan yang lebih utuh dari menggambar. Sedangkan kegiatan melukis biasanya dilihat dari mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti kanvas, kertas, papan, dan bahkan film di dalam fotografi bisa dianggap sebagai media lukisan. Alat atau sarana yang digunakan juga bisa bermacam-macam, dengan syarat bisa memberikan imaji tertentu kepada media yang digunakan[18].
I.3.1.2. Seni Grafis
Seni grafis merupakan cabang seni rupa murni yang karyanya berwujud dua dimensi. Proses pembuatan karyanya menggunakan teknik cetak, biasanya di atas kertas[19]. Poster atau plakat adalah karya seni atau desain grafis yang memuat komposisi gambar dan huruf di atas kertas berukuran besar. Pengaplikasiannya dengan ditempel di dinding atau permukaan datar lainnya dengan sifat mencari perhatian mata sekuat mungkin. Karena itu Poster biasanya dibuat dengan warna-warna kontras dan kuat.

I.3.1.3. Seni Patung
Seni patung merupakan cabang seni rupa murni yang karyanya berbentuk tiga dimensi (panjang, lebat dan tinggi/dalam). Bahan yang di gunakan untuk membuat patung diantaranya; kayu, batu, atau logam, besi, emas pasir semen dan lain sebagainya, . Biasanya diciptakan dengan cara memahat, modeling (misalnya dengan bahan tanah liat) atau kasting (dengan cetakan). Karya patung yang besar biasa disebut seni monumental. Bentuk karya patung seringkalai dibuat dengan menyerupai gambar aslinya (naturalistik) dan bentuk abstrak sesuai dengan apa yang dipikirkan pematung (patung dewa-dewa).

I.3.1.4. Seni Keramik

            Seni keramik berwujud tiga dimensi. Seni keramik digolongkan dalam cabang seni rupa yang mengolah material keramik untuk membuat karya seni dari yang bersifat tradisional sampai kontemporer. Keramik dari awal sangat populer dengan fungsinya sebagai benda dekoratif, sehingga mendefinisikan keramik sebagai suatu hasil seni dan teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar, seperti gerabah, genteng, porselin, dan sebagainya. Selain itu dibedakan pula kegiatan kriya keramik berdasarkan prinsip fungsionalitas dan produksinya.[20]
I.3.2. Seni Rupa Terapan
Hasil karya seni rupa yang termasuk dalam jenis seni rupa terapan ini dibedakan atas beberapa bagian yaitu:
I.3.2.1. Desain Produk
            Desain produk merupakan suatu kegiatan yang berusaha memecahkan masalah kebutuhan manusia untuk memperoleh peralatan dan benda yang menunjang kegiatan sehari-hari. Karya desain produk, di antaranya alat transportasi, alat rumah tangga, mebel, alat makan, perhiasan, pakaian, sepatu, cindera mata, mainan, dan kerajinan.  
I.3.2.2. Desain Grafis atau Desain Komunikasi Visual

            Desain grafis merupakan kegiatan yang berusaha untuk memecahkan kebutuhan media komunikasi masyarakat yang dicetak. Karya desain grafis, di antaranya: buku, brosur, undangan, majalah, surat kabar, dan logo perusahan.
I.3.2.3. Desain Arsitek

            Desain arsitek merupakan kegiatan yang berusaha memecahkan kebutuhan dalam masalah hunian masyarakat yang indah dan nyaman. Karya desain arsitektur di antaranya: rumah tempat tinggal, perkantoran, sarana rekreasi, dan rumah sakit
I.3.2.4. Desain Interior

            Desain interior merupakan suatu kegiatan yang berusaha memecahkan kebutuhan manusia untuk mempunyai ruangan yang nyaman dan indah. Karya desain interior di antaranya: ruangan museum, restoran, hotel, kafe, mesjid gereja dan pusat hiburan.[21]

I.4. Unsur-Unsur Seni Rupa

Sebuah karya seni rupa tersusun dari paduan berbagai unsur fisik yang rerlihat, terabah, sekaligus memberi kesan tertentu kepada penikmatnya. Oleh karena itu karya seni rupa dapat dinikmati karena adanya unsur-unsur yang membentuknya menjadi satu karya yang berguna[22].
I.5. Media Seni Rupa
Yang dimaksud dengan media seni adalah materi atau bahan dan peralatan yang digunakan dalam membentuk atau menggubah suatu karya seni.
I.5.1. Media Dasar

Yang dimaksud dengan media dasar adalah materi atau bahan yang menjadi wujud atau bentuk karya seni, yang tampak atau terdengar. Media yang sering digunakan dalam membuat karya seni rupa antara lain; kertas, kanvas, kain, benang, kulit, kayu, tripleks, bambu, tanah liat, gibs, semen, lilin, plastik, batu, logam, gading, dan lain sebagainya.
I.5.2. Media Peralatan

Peralatan adalah benda khusus yang digunakan dalam proses pembuatan karya seni, baik yang tidak habis terpakai maupun yang habis terpakai karena menjadi bagian dari karya seni. Antara lain: pensil, konte, krayon, cat air, cat minyak, cat poster, akrilik, mata pena, kuas, semprotan, pisau dan piring palet, kamera foto, klise, gunting, pahat, pisau, gergaji, obeng, kunci pas tang, bor, serut, martil, peralatan tata rias dan busana, dan lain sebagainya.[23]


I.6. Fungsi Seni Rupa dalam agama
  • Fungsi  seni ialah  membawa penikmat  mencapai keadaan jiwa yang damai dan menyatu  dengan keabadian dari Yang Abadi.
  • Fungsi  seni  sebagai pembebasan  jiwa dari alam benda melalui sesuatu  yang  berasal dari  alam benda  itu  sendiri.  Misalnya  suara,  bunyi-bunyian, gambar, lukisan dan kata-kata.
  • Fungsi   seni  yang  lain   ialah, untuk menyampaikan  hikmah, yaitu kearifan yang dapat membantu  kita bersikap  adil  dan  benar  terhadap  Tuhan,  sesama  manusia, lingkungan sosial,  alam  tempat kita  hidup  dan  diri  kita sendiri.
  • Seni  juga  berfungsi  sebagai   sarana  efektif untuk menyebarkan gagasan, pengetahuan, informasi yang berguna  bagi kehidupan beragama, pengetahuan dan informasi, sejarah peradaban, geografi, hukum, politik, ekonomi.
  • Karya seni juga dicipta untuk  menyampaikan  puji-pujian kepada Yang Satu, Sang Pencipta. Dari fungsi seni ini, agama merupakan medan yang tepat untuk kedudukan karya seni rupa sebagai ekspresi iman manusia kepada Tuhan. Manusia sadar bahwa hubungan insani dan rohani harus dijembatani dan dihadirkan melalui peran seni, maka fungsi dan peran seni adalah menyatakan dan menghadirkan yang transenden kedalam tingkat pemahaman indra manusia. Tuhan digambarkan dan melaluinya segala puji-pujian di panjatkan kepada kehadiran-Nya.



I.7. Jejak-Jejak Seni Rupa Dalam Agama Purba Dan Agama Wahyu
I.7.1. Keyakinan keagamaan masyarakat purba dilihat sebagai dasar asal-usul  seni
            Bentuk kepercayaan agama purba adalah tentang animisme dan dinamisme. Suatu keyakinan dasar tentang adanya yang rohani selain insani dalam alam semesta, dan yang rohani itu memiliki kekuatan yang lebih tinggi. Binatang buas, pohon besar, batu, sungai, gunung dan hal-hal yang besar dan kuat itu tidak lain suatu manisfestasi dari yang rohani itu. Dengan demikian saat itu mereka mulai menciptakan karya seni rupa seperti melukis/menggambar binatang yang bertanduk, pohon, batu air dan lain-lain untuk menunjukkan adanya kekuatan itu[24]. Ada tiga sifat mendasar yang diyakini masyarakat purba dalam berelasi dengan makhluk yang rohani: pertama dalam diri yang rohani, ada satu kekuatan yang bersifat baik dan menghidupkan. Kedua, sebaliknya ada satu kekuatan yang bersifat jahat dan bisa mematikan/membinasakan. Ketiga, ada  kekuatan yang baik tetapi bisa menjadi jahat, atau sebaliknya yang jahat bisa menjadi baik tergantung relasi manusia terhadapnya.
Dari ketiga kekuatan supra natural ini dipahami bahwa makhluk yang bersifat baik dan menghidupkan itu diberi tempat dan disembah/dihormati. Sementara makhluk yang bersifat jahat, harus dihindari atau diatasi dengan menggunakan kekuatan yang baik itu. Unsur yang ketiga ini merupakan bentuk aturannya dalam menjaga keseimbangan berelasi dengan hal-hal rohani[25]. Keseimbangan perlu dijaga melalui aturan atas hal-hal yang dianggap, tabuh, tempat pemali, keramat, kudus atau sakral. Hal-hal yang digambarkan dalam istilah ini perlu dimasuki/dihubungi dengan satu ritus keagamaan karena memiliki kekuatan magis. Karya seni rupa seperti patung, lukisan/gambar yang dibuat dalam bentuk apapun dilihat sebagai simbol-simbol yang merepresentasikan roh-roh yang ada. Oleh karena itu simbol-simbol itu sendiri terkandung unsur-unsur magis. Misalnya, lukisan-lukisan di tempat yang gelap/goa, rupanya dibuat sebagi penangkal dan pengusir roh jahat. Dan memang seni rupa memegang peranan penting dalam membangun kepercayaan magis manusia purba[26].
Salah satu contoh bentuk lukisan hewan (kuda) yang terdapat dalam gua, menjadi bahan penelitian para arkeolog dan ilmuan.






I.7.1.1. Pemahaman Seni sakral dalam agama purba
Filsafat memandang seni bukan hanya sekadar pada segi keterampilan, teknik atau bagaimana permainan emosi itu menjadi serba mungkin dalam penciptaan estetik. Lebih tepat seni dilihat sebagai sebuah pola atau “modus pemikiran/hayalan,” tentang sesuatu yang meta inderawi. Seni adalah azas perwujudan dalam bentuk yang dapat dipahami oleh indera terkait dengan ketepatan pemahaman, karena itu seni tradisional memiliki kaidah yang menerapkan hukum kosmis dan universal. Dibalik aspek lahiriahnya yang umum, tersingkaplah pola peradaban tentang aspek batinia atau rohani
Seni sakral adalah, satu bentuk pengejawantahan seni yang berkorelasi dengan alam rohani sehingga disebut sakral/kudus. Tentang alam roh telah diberikan penjelasan filosofi dalam kaitannya dengan alam insani, “kehidupan di alam dunia ini merupakan bayangan dari kehidupan yang sesungguhnya yang ada di alam atas (dunia ide-ide =Plato). Kehidupan di alam semesta ini terdiri dari tiga tatanan wujud: (1) Alam roh, yang terdiri dari dua lapis yaitu alam ketuhanan dan alam kalbu/alam roh dari makhluk-makhluk. (2) alam khayal (alam imajinasi) manusia dan (3) alam jasmani atau disebut penampakan lahiria. Alam khayal merupakan perantara atau penghubung  antara alam roh dan alam jasmani. Pemahaman makna seni dalam arti ini merupakan karya imajinatif yang berperan sebagai penghubung antara rohani dan insani. Maka, seni yang digunakan dalam ritus penyembahan agama purba atas roh-roh/dewa-dewi sifatnya sakral. Sebab seni tradisional yang sakral, dapat memberi adanya hubungan simbolis yang memadai antara tatanan Ilahi dan tatanan kosmik di satu pihak, dan tatanan manusiawi dan artistik di pihak lain. Seni sakral tradisional dalam arti yang luas mencakup segala sesuatu yang termasuk dalam bidang ritual. Karena itu, seniman tradisional tidak membatasi dirinya hanya pada meniru alam, melainkan “meniru alam dalam konteks penghayatan terhadap yang ilahi.
I.7.2. Perkembangan Seni rupa dari agama purba/tradisional ke dalam Agama Wahyu
Agama Yahudi, Kristen dan Islam, adalah tiga agama monoteisme atas dasar Wahyu Allah yang berkembang di Timur Tengah. Ketiga agama ini sangat menekankan Keluhuran Allah Yang Maha Esa, Sang Pencipta langit dan Bumi. Konsekuensinya, segalah bentuk penyembahan atas dewa-dewi dan roh-roh alam harus disingkirkan. Semua hasil karya seni rupa dalam bentuk patung dan lukisan apapun bentuknya dilenyapkan sebagai bentuk penolakan atas adanya dewa/dewi disamping Allah (Kel. 20:3-6). Maka, perkembangan seni rupa dalam kebudayaan Yahudi mulai menurun, walaupun masih ada perhiasan tempat-tempat ibadat suci, kaligrafi dan keindahan pakaian sehari-hari, pakaian kenegaraan, pakaian peribadatan dan alat-alat ibadat suci[27].
            Perkembangan selanjutnya, keberadaan karya seni rupa dalam kebudayan Yahudi muncul kembali dengan pemahaman yang baru melalui peristiwa pembuangan Babilonia. Peristiwa pembuangan menjadi masa pencerahan, bangsa Yahudi merefleksikan karya seni yang profan dan bernuansa agama tradisional bangsa asing (Helenis) ke dalam pemahaman agama Wahyu. Kesadaran baru ini menunjukkan bahwa keterlibatan Allah tidak terlepas dalam sejarah manusia. Maka, hal ini membuka peluang bagi pengharapan terhadap karya seni rupa sebagai sarana pemujaan kepada Allah[28]. Bait Allah menjadi pusat perhatian karya seni rupa untuk menampilkan takhta dan kehadiran Allah. Raja Salomo menjadi tokoh kepercayaan Allah untuk mendirikan Bait Allah dengan segala perabotnya [29].
            Iman kepercayaan akan Allah yang dihayati dalam agama Yahudi mendapat dimensi baru di dalam Kekristenan yang berpangkap pada peristiwa Yesus Kristus. Karya seni rupa dalam lingkungan Kekristenan mulai mendapat tempat sebagai bentuk pengekspresian iman akan Yesus Kristus.  Bentuk-bentuk seni Kekristenana awal nampak seperti; seni patung, lukisan pada dinding goa, pahatan pada tempat pemakaman dan sarkofag (batu cekung tempat jenazah). Semuanya itu dipahami sebagai simbol pengungkapan iman, harap dan kasih kepada Kristus dan sesama.
Setelah melewati masa penganiayaan kaisar Romawi, para seniman Kristen dengan tekun mengembangkan seni rupa yang semakin gemilang, dalam bentuk arsitektur bangunan gereja, lukisan, mosaik, ukiran, patung yang bernuansa agama Kristen[30]. Kegemilangan seni Kekristenan kemudian berujung pada persoalan tentang ikon-ikon (gambar-gambar kudus), dikenal dengan istilah ikonoklasme (aliran anti seni kudus). Peristiwa ini tidak membuat Gereja membuang peran seni rupa, tetapi tetap mempertahankannya sebagai ungkapan iman, dan hormat terhadap Tokoh yang digambarkan dalam bentuk seni rupa.
Dalam peraktek penggunaan karya seni rupa, terdapat perbedaan besar antara agama Kristen dengan agama tradisional/purba. Agama purba benar-benar melihat karya seni rupa itu dalam dirinya terdapat kekuatan gaib sehingga, mereka melakukan praktek penyembahan. Akan tetapi, dalam agama Kristen (Katolik), tidak menyembah karya seni itu dalam dirinya, tetapi diberi hormat karya itu sebagai seni kudus dan mengarahkan hati pikiran dan iman yang besar kepada kehadiran Sang Ilahi dibalik seni kudus itu sendiri.

Seni Suci dalam Ungkapan Iman Gereja
Perkembangan seni suci terlihat sebagai tiga lingkaran konsentris yaitu: pertama, ada lingkaran terluar, yang memiliki lingkar terbesar yang mengelilingi  dua lingkaran dalam, yang dikenal dengan seni Kristen. Kedua, lingkaran berikutnya atau lingkaran tengah, dikenal dengan seni Agama. Dan lingkaran paling terdalam atau peran inti dalam penghayatan iman liturgi dari agama adalah seni Gereja atau seni suci/kudus[31].
II.5.2.1.1. Lingkaran Luar: Seni Kristen

Lingkaran luar adalah seni Kristen, yang timbul dari akar budaya setempat menjadi seni Kristen oleh mereka yang dibaptis dalam agama Kristen. Dengan kata lain, semua bentuk karya seni itu berasal dari budaya yang bersifat profan yang diberi bobot dan pemaknaan baru sesuai iman Kristen. Pada saat inilah seni berperan untuk melukiskan keyakinan agama Kristen sehingga terbentuk karakter seni Kristen.
Proses pemaknaan seni rupa atas iman Kristen mulai saat ini. Dengan demikian kita mengenal apa yang disebut inkulturasi yaitu unsur-unsur budaya diberi makna / simbol ungkapan iman Kekristenan. Dalam seni rupa dikenal pada awal Kekristenan terutama dalam Gereja di bawah tanah (katakombe), mereka berkumpul berdoa dan memecahkan roti untuk mengenangkan wafat Kristus. Pada saat itu orang Kristen awal mulai menggambar dan melukis/memahat simbol-simbol iman Kristen[32]. Karya seni suci dalam bentuk gambar dan lukisan itu masih bersifat pengungkapan iman dan harapan iman. Perkembangan selanjutnya sebutan seni Kristen otentik baru muncul pada akhir abad ke-3, sesuai dengan inspirasi pada iman yang benar, yaitu seni yang sungguh-sungguh mengekspresikan ajaran iman  dan moral Kristen.[33]
II.5.2.1.2. Lingkaran Tengah: Seni Agama

Seni agama merupakan kekhususan dari seni Kristen atau bersentuhan dengan ajaran dan moral agama. Seni agama dapat dipengaruhi oleh wahyu, sehingga para seniman sendiri mengekpresikan karya seninya sesuai iman dan moral Kristen yang benar. Para seniman diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengekpresikan karya seni yang sesuai dengan peristiwa cerita Kitab Suci tentang pewahyuan diri Allah. Semua karya-karya visual yang dibuat sebagai usaha untuk menggambarkan, menunjang dan melukiskan dalam bentuk yang bisa dicerna oleh indera manusia. Hal ini termasuk karya ukir, lukisan, mosaik, karya logam, jahitan dan bahkan karya arsitektur yang istimewa. Peran seni terletak pada penemuan bentuk baru dan inklusif penggambaran karakteristik seni agama. Karakteristik seni agama itu adalah semua karya seni yang menampilkan peristiwa-peristiwa suci dari agama tersebut. Dalam agama Kristen Kitab Suci dan Tradisi Gereja adalah penceritaan tentang peristiwa suci antara Sang Ilhai dengan manusia [34]
Perkembangan seni Agama akhirnya menemukan bentuk kekhususannya pada saat Gereja mengeluarkan larangan pada tahun 1530-an dan berujung pada Konsili Trente tahun 1563, yaitu tekanan Gereja untuk membatasi seni suci. Alasan dasar pembatasan itu karena seni suci mulai kehilangan maknanya, mengarah pada profanisasi seni suci. Pembatasan ini menunjukkan bahwa Gereja mulai menentukan seni yang layak digunakan dalam liturgi sebagai seni kudus/suci.
II.5.2.1.3. Lingkaran Pusat: Seni Gereja atau Seni Suci

Seni ini lebih khusus pada pelayanan resmi ajaran Gereja dan dipandang sebagai kudus dan suci dalam liturgi. Kekudusan itu terletak pada perannya dalam menghiasi rumah Allah dan mezba Kurban Ekaristi. Yang dapat memperindah ruangan interior gereja, kapel, tabernakel serta perancangan langit-langit yang mensimbolkan kemuliaan Allah dari tempat tinggi.[35] Lebih tepatnya seni suci berperan untuk melengkapi dan memenuhi misteri suci Ekaristi, pengajaran iman, dan pengembangan iman umat. Menurut Kardinal Faulhaber dalam khotbanya pada malam tahun baru 1929:
Seni ini bekerja pada dan di tempat kudus dan mengungkapkan pikiran keagamaan. Seni Gereja tumbuh subur di dalam rumah Allah dan memelihara diri pada semangat dan kehidupan aturan Gereja. [36]

Penegasan ini menunjukkan bahwa seni kudus layak dan pantas ditempatkan dalam Gereja untuk menghiasai rumah Allah serta menjadi inti pengungkapan keyakinan iman. Jadi, seni suci adalah atribut Gereja yang tepat untuk memenuhi tuntutan iman dan pelayanan misteri ilahi, oleh karena itu dilindungi aturan Gereja.[37]

Kesimpulan
Arti kata seni yang sesuai dengan asal katanya art (Ingris) yang semula dari perkataan ars (latin), dapat diartikan sebagai kemahiran dalam membuat barang-barang atau mengerjakan sesuatu. William Flemming pernah menegaskan bahwa seni dalam arti yang paling mendasar berarti suatu kemahiran atau kemampuan dalam mengerjakan sesuatu menjadi indah sehingga menghasilkan nilai guna yang tinggi. 
Sementara seni rupa merupakan cabang seni yang keindahan karyanya dapat dirasakan dengan pengamatan. Wujud dari seni rupa dibagi atas dua yaitu karya seni yang memiliki tiga dimensi dan dua dimensi. Berdasarkan tujuan penciptaannya, seni rupa dapat dibagi menjadi dua cabang yaitu seni rupa murni (fine art/pure art) dan seni rupa terapan (applied art).[38] Dari kedua cabang ini seni rupa memiliki beberapa fungsinya yaitu fungsi sosial, fisik, estetis, dan ekonomi. Sementara unsur pembentuk hasil karya seni rupa terdiri atas: gatis, raut warna, tekstur, ruang, dan unsur gelap-terang. Selain itu, berbagai peralatan yang digunakan untuk membentuk karya seni rupa disebut media/medium seni rupa, yang terdiri atas media dasar dan media peralatan.
Dalam sejarah perkembagan karya seni rupa di Mesir, Yunani, Romawi dan di Indonesia, dilihat bahwa bentuk seni rupa yang dikerjakan memiliki makna religius dan antropologis. Dalam arti bahwa penciptaan seni rupa dalam bentuk gedung, patung dan lukisan ditujukkan untuk menghadirkan dan menyembah hal yang adikodrati/yang ilahi (makna religius). Selain itu, karya seni dibuat semata-mata untuk menggambarkan satu kekuasaan dan kewibahwaan sang pemimpin atau tokoh tertentu, serta menunjukkan kejayaan kerajaan tersebut.
Dalam jejak-jejak perkembangan agama purba dan wahyu terlihat, bagaimana seni itu berkaitan dengan keyakinan agama. Seni muncul sebagai akibat dari keyakinan agama purba yang giat/mematung melukisa binatang/benda-benda sebagai manisfestasi dari roh. Melalui pewahyuan diri Allah mengakibatkan semua seni yang berkembang dalam agama purba dihancurkan dalam kebudayaan Yahudi. Akan tetapi kini muncul kemabali benih timbulnya seni dalam liturgi yaitu sebagai sarana kehadiran kemuliaan dan berbakti manusia kepada Allah. Agama  Kristen adalah pewaris dan pengembang seni agama yang kuat, dalam melukiskan agama dan identitas orang Kristen dan keyakinannya kepada Allah melalui Kristus Putra-Nya, menghormati Bunda Maria, dan semua orang kudus. Agama Kristen menerapkan sistem seni yang akurat dalam peradaban manusia dan keagamaan Kristen. Oleh karena itu, peran seni dalam kegiatan liturgi Kekristenan menjadi penting, sehingga dalam bab II penulis akan menjelaskannya  secara khusus.


Bagian Bab I

I.2.1.1. Di Mesir
Di Mesir jika ditinjau dari zaman 4000 SM, bentuk hasil karya seni rupa yang ditemukan seperti, seni bendungan irigasi, seni bangunan, dan seni pematungan[39]. Khususnya seni pematungan Mesir kuno dikembangkan untuk merepresentasikan dewa-dewa Mesir kuno, juga para Fir'aun, dalam bentuk fisik. Aturan-aturan yang sangat ketat diikuti ketika menciptakan karya patung; patung laki-laki dibuat lebih gelap daripada patung perempuan; dalam patung berposisi duduk , tangan harus diletakkan pada lutut dan aturan-aturan agama dalam menggambarkan para dewa. Peringkat artistik didasari atas kesesuaian dengan aturan agama, dan aturan tersebut diikuti secara ketat selama ribuan tahun, sehingga penampilan patung tidak banyak berubah kecuali selama periode singkat semasa pemerintahan Akhenaten dan Nefertiti, diperbolehkan penggambaran secara naturalistik.[40]
I.2.1.2. Di Yunani
Seni bangunan Yunani memakai teknik arsitrap, yaitu bangunan yang disangga oleh tiang. Bentuk bangunan khas Yunani ini terdapat di bukit Acropolis berupa kuil parthenon yang didirikan untuk menghormati Dewi Pallas Athena dan kuil Erechtheum yang mempunyai jenis tiang caryatids, yaitu tiang dengan bentuk patung wanita.
                        Pada zaman Klasik, pengusungan teknik telah begitu mahir. Zaman ini diwakili dengan hadirnya seniman mazhab Athis Lama (490 SM-430 SM), yaitu Phidias, Myron, dan Polyclitus. Kemudian lahirnya mazhab Athis Baru (390 SM-330 SM) ditandai dengan lahirnya tiga seniman yaitu, Praxiteles, scopas dan Lysippus. Kedua mazhab ini mempunyai perbedaan-perbedaan: ciri khas mazhab Athis Lama adalah patung yang dibuat kepalanya lebih kecil dari pada badan yang tinggi dan besar, sedangkan ciri khas mazhab Baru bersifat realistis, dan selalu menampilkan patung para tokoh-tokoh terkemuka.    Pada zaman Helenisme, tidak ada lagi kesulitan dalam menguasai batu. Para seniman mulai mempertunjukkan kebolohannya dalam berkarya sampai akhir gaya yang aneh-aneh, yaitu gaya sandiwara atau pathetis[41].
Seni lukis Yunani yang ada, sebagian besar hanya dapat ditemukan pada benda-benda yang keras, seperti vas bunga, gerabah dan keramik.[42] Banyak peninggalan ini terlihat lukisan-lukisan seperti manusia yang sedang berdi atau kerja lebih dari satu, binatang buas seperti harimau dan singa dan juga hewan peliharaan seperti domba dan lembu. Dari jenis lukisan ini dapat mengetahui ketinggian mutu lukisan yang menampilkan cara hidup dan berelasi dengan lingkungan hidup pada zamannya.
I.2.1.3. Di Romawi
            Seni patung bangsa Romawi, cenderung melanjutkan seni patung bangsa Yunani, bahkan banyak patung hasil seniman Yunani yang direproduksi (dibuat ulang) dengan bahan dari pualam, sedangkan originalnya dari seniman Yunani terbuat dari perunggu. Karya seni rupa Romawi yang paling menonjol adalah dalam seni patung potret dengan gaya realistis Yunani yang khas Romawi. Patung-patung yang bergaya realistis itu terungkap dalam patung model para tokoh seperti kaisar Agustus dari Prima Porta dan kaisar Constantine dari Bizantium.
            Seni lukis bangsa Romawi ditemukan pada bekas sisa-sisa reruntuhan istana atau rumah bangsawan yang terbatas jumlahnya. Bentuk lukisannya berupa fresco yaitu lukisan dinding atau langit-langit dengan cat air atas kapur yang masih basah, yang pada wujudnya lebih menyerupai pemandangan alam secara realistis daripada lukisan hiasan yang merupakan dasar fresco.[43] Salah satu bentuk lukisan fresco ditemukan pada Villa Al-Bani, yaitu berupa lukisan dinding gaya Romawi dilengkapi dengan pemandangan alam yang realistis. [44]
I.2.1.4. Di Indonesia
            Pada zaman Animisme tahun 100-san Masehi, terdapat banyak benda-benda karya seni rupa dari batu-batu kasar, tulang hewan dan kayu seperti tombak, pentung, landasan, sanggurdi dan lain-lain. Lain dengan hasil karya pada zaman Dynamisme tahun 200 Masehi, hasil karya seni rupa sudah meningkat. Pada zaman itu hasil karya seni rupa seperti: keris, tombak, tameng, bokor, pentung dan lain-lain dilihat sebagai benda-benda sakti, sakral dan gaib.
            Pada tahun 400 Masehi di kerajaan Tarumanagara, Jawa Barat, pada waktu raja Prabu Purnawarman, agamanya Budah Mahayana-Hinayana, ajaran dari seorang Biksu Tiongkok, Fa Hien. Terdapat karya seni rupa di antaranya “ Batu tulis” dengan huruf Pallawa yng menerangkan bahwa:
Pada tahun 400 terdapat di situ arah Bogor-Cisadane Gn. Salak-Gn. Gade-Gn. Pangrango-Ciaruteun ada kerajaan besar yng menjadi rajanya ialah Maha Prabu Purnawaman. Terdapat pahatan skral yang merupakan bentuk telapak kedua kaki raja dan kedua kaki gajah putih, kendaraan raja pada zaman itu (zaman kerajaan Taruma).[45]

                Perkembangan selanjutnya bentuk seni rupa sangat besar sehingga pada  tahun 800 (abad ke-8), terdapat peninggalan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti: Candi Brobudur, dan Mendut. Pala candi-candi lainnya seperti; candi Kalasan, Sewu, Jago, Prambanan, Jangrang, Seloka. Selain itu terdapat Candi di Dieng, candi Harjuna, candi Bima, candi Nakula, candi Sadewa dan candi dilengkapi dengan perkakas, keraton, benda-benda hiasan, pakaian kerajaan, pakaian kerajaan pakaian keprajuritan, payung Agung keprabonan, dan lain sebagainya. Semua benda seni rupa dalam candi dibuat dalam konteks ritus keagamaan Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia.





[1]Vince Adi Gunawan, Kebebasan Seni, (Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1998), hlm. 11-12.
[2]Berdasarkan media penyampaiannya, seni dapat dibagi menjadi lima macam:
Seni Rupa adalah karya seni yang dapat disampaikan dengan media visual, misalnya lukisan, patung seni ukir, bangunan dan lain-lain. Seni Musik adalah karya seni yang disampaikan dengan media suara. Seni Tari adalah karya seni yang disampaikan dengan gerak Seni Teater adalah bentuk seni pertunjukan yang berhubungan dengan kisah kehidupan manusia. Seni Sastra adalah karya seni yang disampaikan dengan media bahasa/tulisan; puisi, prosa dan lain-lain. Bdk., Tim Widya Gamma, Seni Budaya dan Keterampilan untuk SMA/MA Kelas X, (Bandung: Yrama Widya, 2010), hlm. 4. Bdk. pula dengan Drs. Yayat Nursantara, Seni Budaya Untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 21.
[3]Thomas B. Ataladjar, “Seni”, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 14 QRS-SE (Jakarta; PT. Delta Pamungkas, 2004).
[4]Secara etimologi kata Seni berasal dari bahasa Sanskerta yaitu cilpa. Cilpa merupakan kata sifat yang berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda cilpa berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekriaan yang artistik. Dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, terdapat istilah-istilah ars, artes, dan artista. Ars adalah teknik atau craftsmanship, yaitu ketangkasan dan kemahiran dalam mengerjakan sesuatu; adapun artes berarti kelompok orang-orang yang memiliki ketangkasan atau kemahiran; dan artista adalah anggota yang ada di dalam kelompok-kelompok itu. Pengertian seni menunjuk pada arti kata art yang berarti “ketrampilan, cara, atau metode untuk mengekspresikan berbagai pengalaman hidup manusia ke dalam bentuk yang material. Sementara para seniman adalah pendongeng, yang memanfaatkan kebenaran sekaligus fiksi, melalui sarana cat, perunggu, film fotografis dan material lain untuk menafsirkan dan mengilustrasikan perasaan serta gagasannya. Jadi seni adalah satu ekspresi jiwa manusia (si seniman) atas kenyataan hidupnya dalam bentuk/rupa yang indah dan haromonis agar dapat mempengaruhi perasaan orang lain untuk menikmati keindahannya. Di samping seni sebagai yang mengandung unsur keindahan, seni juga dapat memiliki tujuannya yaitu menjelaskan sesuatu objek, ide, gagasan atau perasaan tertentu kepada orang lain secara menarik. Bdk., Heuken A. SJ. Ensiklopedi Gereja Jilid VII, (Cipta Loka Caraka: Jakarta, 2005). Bdk. juga, “Seni” dalam, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 14, (Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 2004).



[5] Drs. Yayat Nursantara, Seni Budaya Untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 1.
[6] Ibid.
[7] Drs  Peter Salim & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991).
[8]Dana Marjono dan Drs. Suyatno, Pendidikan Seni Rupa untuk SMP Kelas II Semester 3 dan 4 (Bandung: Ganeca Exact, 1986), hlm. 11-12.

[9]Prasejarah http://id.wikipedia.org/wiki/Seni Patung Mesir (disadur, Kamis, 12 Agustus, 2010).


[10]Yuyus Suherman, dkk, Seni Budaya Untuk Sekolah Menengah Kejuruan. Jlid 1, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), hlm. 49-50.
[11]Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan dedaunan atau batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan  seni keramik. Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan objek-objek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari objek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap objeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam objek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya. Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan yang mengesankan.

[12]Ibid, hlm. 51-54.

[13] Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:

Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama) dan Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota  Pompeii). Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal. http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_lukis. I Zaman prasejarah, (Disadur, Kamis, 12 Agustus, 2010).

[14]Perkembangan karya seni rupa pada zaman Renaissance, berawal dari kota Firence. Setelah kekalahan dari Turki, banyak sekali ilmuwan dan budayawan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari Binzantium menuju daerah semenanjung Italia sekarang. Dukungan dari keluarga  deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru Eropa. Seni rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki. Pada akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga Eropa Timur.

Tokoh yang banyak dikenal dari masa ini adalah: Tomassi, Donatello, Leonardo da Vinci, Michaelangelo dan Raphael.


[15]Bdk. Dana Marjono dan Drs. Suyatno, Pendidikan Seni Rupa untuk SMP Kelas II Semester 3 dan 4 (Bandung: Ganeca Exact, 1986), hlm. 13.
[16]Bdk, Jacobus Renjaan, Tata Ruang Ibadat Yang Ekspresif, Skripsi (Pineleng: STF-SP, 1995), hlm. 4-5.
[17] Setiap karya seni diciptakan dengan fungsinya masing-masing, secara khusus dalam seni rupa juga memiliki fungsinya tersendiri. Ada beberapa fungsi yang dapat disebutkan sebagai berikut: Fungsi Sossial, diciptakan untuk para pengamat, jadi seniman dalam penciptaannya mengharapkan jawaban sosial (social respon) dari masyarakat/pengamat. Fungsi Fisik, hasil karya dan kreasi seni rupa berupa obyek-obyek yang berfungsi sebagai pengisi ,alat pemuas’ dalam kehidupan manusia. Fungsi Estetis, hasil seni rupa merupakan bentuk-bentuk yang estetis/indah dan dibuat secara sadar untuk memuaskan kebutuhan rohani (non fisik), karena tidak puas hanya dengan bentuk fisik yang fungsional saja. Fungsi ekonomi, akibat perkembangan aspek ekonomi yang telah memasuki dunia seni rupa, maka perkembangan seni rupa juga ada yang menitik beratkan pada keuntungan.


[18]Ada beberapa aliran dalam karya seni lukis yaitu:

Pertama, Surrealisme,lukisan dengan aliran ini kebanyakan menyerupai bentuk-bentuk yang sering ditemui di dalam mimpi. Kedua, Kubisme, Adalah aliran yang cenderung melakukan usaha abstraksi terhadap objek ke dalam bentuk-bentuk geometri untuk mendapatkan sensasi tertentu. Ketiga, Romantisme, aliran ini berusaha membangkitkan kenangan romantis dan keindahan di setiap objeknya. Keempat, Ekspresionisme, adalah kecenderungan seorang seniman untuk mendistorsi kenyataan dengan efek-efek emosional. Ekspresionisme bisa ditemukan di dalam karya lukisan, sastra, film, arsitektur, dan musik. Kelima, Impresionisme, karakteristiknya terdapat dalam goresan kuas, warna-warna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan Keenam, Fauvisme adalah aliran yang menghargai ekspresi dalam menangkap suasana yang hendak dilukis. Ketuju, Realisme aliran ini berusaha menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa tambahan embel-embel atau interpretasi tertentu. Kedelapan, Naturalisme adalah usaha menampilkan objek realistis dengan penekanan seting alam. http: //www.arsiteka.com/2008/11/tinjauan-tentang-seni-seni-rupa-1.html (Disadur Kamis, 12 Agustus, 2010).
[19]Bdk. Harry Sulastianto, dkk Seni Budaya untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas. Jilid 1, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2006), hlm. 15.

[20] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, seni kriya/seni Keramik, disadur Rabu, 19 Agustus, 2010.




[21] Ibid, hlm. 16-18.
[22] Unsur-unsur seni rupa al: 1. Garis:Garis merupakan unsur yang paling elementer di bidang seni rupa. Dengan hanya meletakkan posisi mata pensil di atas kertas dan selanjutnya digerakkan, maka jejak mata pensil itu akan menghasilkan garis. Oleh karenanya ada yang menyatakan bahwa garis adalah hubungan dua buah titik atau jejak titik-titik yang bersambungan atau berdempetan. Oleh karena itu garis dapat muncul secara rapi atau dapat juga muncul bergigi,  bintik-bintik dan sebagainya, arah garis dapat menimbulkan garis lurus, garis lengkung, garis zig-zag dan garis dapat berposisi tegak, datar, dan melintang. 2. Raut: Raut adalah tampang, potongan, bentuk suatu objek. Raut dapat terbentuk dari unsur garis yang melingkup dengan keluasan tertentu sehingga membentuk bidang. Raut juga berarti perwujudan atau perawakan dari suatu objek, dalam hal ini raut berarti bangun, atau dalam pengertian lain raut sering dipahami atau dikenal sebagai bentuk atau bidang. Penampilan raut dapat berujud sebagai (1) Raut Geometris, seperti segi tiga, segi empat, lingkaran. (2) Raut Organik atau Biomorfis seperti raut yang terbentuk dari lengkungan-lengkungan bebas. (3) Raut Bersudut berarti raut yang terbentuk dengan banyak sudut atau berkontur. (4) Raut Tak Beraturan, adalah jenis raut yang terbentuk secara kebetulan seperti tumpahan cat atau semburan cat dan sebagainya. 3. Warna: Warna merupakan unsur rupa yang memberikan nusansa bagi terciptanya karya seni, dengan warna dapat ditampilkan karya seni rupa yang menarik dan menyenangkan. Melalui berbagai kajian dan eksperimen, jenis warna diklasifikasi ke dalam jenis Warna Primer, Warna Sekunder, Warna Tersier.Warna Primer adalah warna yang tidak diperoleh dari pencampuran warna lain, warna pokok atau dengan kata lain warna yang terbebas dari unsur warna-warna lain. seperti ( merah, kuning, biru ).Warna Sekunder adalah merupakan pencampuran dari dua warna Primer. misalnya warna biru campur warna kuning jadi warna hijau, warna biru campur warna merah jadi warna ungu atau violet, warna merah campur warna kuning jadi warna orange, dan Warna Tersier Adalah pencampuran dari dua warna sekunder. 4. Teksture: Tekstur adalah sifat atau kualitas nilai raba dari suatu permukaan, oleh karena itu tekstur bisa halus, licin, kasar, berkerut, dan sebagainya. Dalam tekstur visual boleh jadi kesan yang di tangkap oleh mata itu kasar akan tetapi sesungguhnya halus atau sebaliknya. Kita dapat menentukan halus kasarnya suatu permukaan juga dapat merasakan kualitas permukaan antara kertas, kain, kaca, batu, kayu. Sedangkan pada tekstur semu kesan yang di tangkap oleh mata tidak sama dengan kesan yang di tangkap oleh perabaan. 5. Ruang: Dalam bidang seni rupa, unsur ruang adalah unsur yang menunjukkan kesan keluasan, kedalaman, cekungan, jauh dan dekat. Dua bidang yang sama jenisnya misalnya lingkaran, akan memberikan kesan yang berbeda jika ukuran ke dua lingkaran itu berbeda. Lingkaran besar akan memberi kesan luas sedangkan lingkaran kecil akan memberi kesan sempit. Jika ke dua lingkaran itu berimpit akan memberi kesan dekat akan tetapi jika diatur berjarak akan memberi kesan ruang yang jauh. 6. Gelap Terang: Gelap terang berkaitan dengan cahaya, artinya bidang gelap berarti tidak kena cahaya dan yang terang adalah yang kena cahaya. Goresan pensil yang keras dan tebal akan memberi kesan gelap sementara goresan pensil yang ringan-ringan akan memberi kesan lebih terang. Gelap terang dalam gambar dapat dicapai melalui teknik arsir yaitu teknik mengatur jarak atau tingkat kerapatan suatu garis atau titik, semakin rapat akan menghasilkan kesan semakin gelap demikian sebaliknya. Bdk. Harry Sulastianto, dkk Seni Budaya untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas. Jilid 1,(Bandung: Grafindo Media Pratama, 2006), hlm. 9-14.


[23]Bdk. Drs. Yayat Nursantara, Seni Budaya Untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 8.
[24] Selama bertahun-tahun, antropolog, arkeolog dan sejarawan seni artistik memahami bahwa seni palaeolithic (masyarakat primitif) didasarkan pada keyakinan agama yang dimanifestasikan dalam bentuk artistik, estetika dan motif dekoratif. Eduardo Palacio-PĂ©rez, peneliti di Universitas Cantabria (UC), mengungkapkan teori tentang hal ini; masyarakat primitif mengungkapkan keyakinannya dalam bentuk simbolis-religius dari unsur alam. Ide ini muncul pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Sampai saat itu, seni Paleolithic telah ditafsirkan semata-mata sebagai ekspresi estetis dan dekoratif yang sederhana. Pada awalnya para ilmuwan melihat seni sebagai cara orang-orang dari era Palaeolithic menghabiskan waktu senggang mereka untuk memahat patung-patung atau alat-alat dekorasi mereka. Seni Palaeolithic mulai mengembangkan karya seni dalam batu, tanduk dan tulang dipahat atau diukir. Penemuan-penemuan tentang seni masyarakat primitif ini mulai menyebar melalui komunitasilmiahdari1864. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:tw8kDyFdLLEJ:ahmadsamantho.wordpress.com/2008/01/16/seni-profan-atau-sakral/+SENI+

[25]Dahlewr franz, Asal dan Tujuan Manusia, (yogyakarta: Kanisius,1987), hlm. 100.
[26] Hartoko dick, Manusia Purba dan Seni, Varia Budaya, dalam Basis, 63-64, XXXII,1983, hlm. 122.
[27] Sutrisno, FX. Mudji SJ, Estetika Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 36. Bdk, Jakobus Renyaan,……………….
[28] Adanya bentuk perkembangan seni rupa ini dapa dilihat dari perkembangan senirupa dalam peninggalam sinagoga Duro Eropos di tepi Sungai Efrat, di daerah Siria sekarang. Di situ dapat terlihat bermacam-macam lukisanberdasarkan inspirasi cerita Kitab Suci Perjanjian Lama. Ibid.
[29] Dalam bait Allah segala kemegaan mendapat tempat; dengan menghiasi bermacam-macam gambar dan karya seni rupa yang dimaksudkan untuk memperindah Bait Allah. Salomo tidak bekerja atas kemauannya, tetapi ia bekerja sesuai firman Allah, agar Salomo mengikuti perintah-perintah-Nya sehingga Allah dapat mendi Bait Suci itu sesuai dengan janji-Nya kepada Daud ayahnya (I Raj. 5:1-6. 38; 1 Taw. 22:1-19; 2 Taw. 2:1-4.22).
[30] Ibid.
[31] Dr. Frank Karl Borromaeus, Fundamental Question On Ecclesiastical Art, English Translation of Kernfragen Kirchlicher Kunst (Verlag Herder Wien: The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1953), hlm. 14. 
[32] Beberapa bentuk symbol berperan dalam pengembangan iman  Kekristenan: jangkar yaitu symbol dari keteguhan bagi jiwa, dan pengharapan Kristen (Ibr. 6:19). Ikan, yaitu simbol Kristus, pohon anggur yaitu symbol para pengikut Kristus dan Kristus sebagai pokoknya, Anak domba yaitu Kristus yang mengorbankan diriNya. Perahu (layar) yaitu symbol /agama Kristen atau disebut Gereja Kristus oleh St. Ambrosius. Lih, George Ferguson, Sygns and Symbols In Christian Art (New York: Oxford University), hlm. 169-181. Bdk. Jacobus Renjaan, Skripsi: Tata Ruang Ibadat Yang Ekspresif: disoroti dari Bidang Seni Rupa,Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, 1995, hlm. 45.
[33]A. Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid VIII Sel-To, (Jakarta: Cipta Loca Caraka, 2005), hlm. 26.
[34] Bdk. Dr. Frank Karl Borromaeus, Fundamental Question On Ecclesiastical Art, English Translation of Kernfragen Kirchlicher Kunst (Verlag Herder Wien: The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1953), hlm. 14. 
[35] F.X. Rudiyanto Subagio, OSC, Seni: Langit-langit Gereja, dalam Majalah Liturgi, Vol. 21 No. 3 (Jakarta: Komisi Liturgi KWI, Edisi Mei-Juni, 2010), hlm. 25-27.
[36] Ibid, hlm. 16-17.
[37] Adapun peraturan-peraturan itu terutama menyangkut pembangunan rumah-rumah ibadat yang pantas dan cocok,  mengenai bentuk dan pembuatan altar, mengenai keanggunan, penempatan serta keamanan tabernakel untuk Ekaristi suci, mengenai letak panti Baptis yang baik dan kelayakannya, begitu pula mengenai cara memperlakukan dengan tepat gambar-gambar atau patung-patung kudus, hiasan maupun pajangan. SC No. 128.
[38]Bdk. Harry Sulastianto, dkk Seni Budaya untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas. Jilid 1,(Bndung: Grafindo Media Pratama, 2006), hlm. 22.
[39]Dana Marjono dan Drs. Suyatno, Pendidikan Seni Rupa untuk SMP Kelas II Semester 3 dan 4 (Bandung: Ganeca Exact, 1986), hlm. 11-12.

[40]Prasejarah http://id.wikipedia.org/wiki/Seni Patung Mesir (disadur, Kamis, 12 Agustus, 2010).


[41]Yuyus Suherman, dkk, Seni Budaya Untuk Sekolah Menengah Kejuruan. Jlid 1, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), hlm. 49-50.
[42]Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan keagamaan. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan dedaunan atau batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan  seni keramik. Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan objek-objek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari objek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap objeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan (artistik) ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng (keramat, gaib dan suci). Karena itu, citra mengenai satu macam objek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman agama masyarakat di daerahnya. Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggambar daripada mencari makanan. Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah seniman-seniman yang pertama di muka bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan keagamaan.

[43]Ibid, hlm. 51-54.

[44] Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:

Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama) dan Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota  Pompeii). Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal. http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_lukis. I Zaman prasejarah, (Disadur, Kamis, 12 Agustus, 2010).

[45]Bdk. Dana Marjono dan Drs. Suyatno, Pendidikan Seni Rupa untuk SMP Kelas II Semester 3 dan 4 (Bandung: Ganeca Exact, 1986), hlm. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar