BAB III
REFLEKSI KRITIS DAN
SUMBANGAN PEMIKIRAN
ATAS SENI SUCI LITURGI
ZAMAN KINI
(Oleh
Sandro Letsoin)
III.1. Perkembangan Seni Suci Dan Pengaruhnya Dalam Kreativitas Seni
Suci Liturgi Zaman Sekarang
Untuk menilai persoalan seni suci liturgi zaman
sekarang, kita harus menjejaki dari persoalan yang terjadi masa lalu. Perkembangan
seni suci abad pertengahan adalah penting untuk dianalisis, karena memiliki
pengaruh yang kuat dalam seni suci liturgi sampai sekarang. Lebih khusus lagi
kita melihat perkembangan seni suci liturgi zaman Ghotik, Renaissance dan
zaman Barokh. Ketiga zaman ini memberikan kontribusi penting bagi Gereja untuk
menentukan jalur ekpresi dan penggunaan seni suci dalam liturgi yang sesuai dengan
iman.
Menurut pemikiran penulis, ada tiga persoalan penting
yang dihadapi oleh Gereja masa kini berkaitan dengan peran seni suci liturgi
yaitu menyangkut teosentrisme, antroposentrisme dan ikonoklasme. Ketiga
persoalan ini sama-sama berkaitan dengan penghayatan iman Gereja.
III.1.1.Teosentrisme/Vertikalisme
Teosentrisme adalah suatu pandangan manusia yang sangat
menekankan kemuliaan, misteri atau transendensi Tuhan. Segala sesuatu mengalir
dari Tuhan, maka pusat hidup manusia bertitik tolak pada eksistensi-Nya. Dalam
seni suci, aliran yang berpengaruh untuk memberi warna pada pola rasa manusia dalam
konteks Teosentrisme adalah aliran impresionisme dan ekspresionisme.[1] Dalam konteks Teosentrisme juga, Zaman Gotik amat berpengaruh kuat dalam ekspresi iman Gereja. Dalam zaman dimaksud, perancangan karya seni suci
liturgi menampilkan simbol kemuliaan dan keagungan Tuhan, misteri dan
transendensi Allah yang tak terselami mendorong
perasaan terpukau pada rahmat Allah.[2]
III.1.2.
Antroposentrisme/Horisontalisme
Antroposentrisme adalah
suatu komposisi yang melebar pada peran sentral manusia. Manusia dan dunianya
menjadi medan refleksi dan penekanan penting untuk berkorelasi dengan yang
transenden. Zaman ini, perlahan-lahan berujung pada profanisasi karya seni suci yang berawal dari zaman Renaissance dan berpuncak pada zaman Barok/zaman
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan (filsafat). Dalam karya seni, aliran ini memainkan perannya dalam memberi warna terhadap realisme dan naturalisme[3]. Perkembangannya disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, peran agama dicampuradukan
dengan duniawi oleh saudagar dan hartawan/raja.[4] Kedua, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan filsafat
khususnya ilmu positivisme yang menekankan tentang kebenaran ilmiah yang masuk akal. Konsekuensinya, meta inderawi tidak dapat diverifikasi dan dianggap non sence (tidak bermakna/bernilai). Sejalan dengan konteks
dimaksud, Gereja senantiasa aktif menghiasi tempat-tempat ibadat (gedung gereja/Basilika dan kapel-kapel) dengan
gaya seni ini. Seiring dengan sikap gereja demikian,
muncullah ikonoklasme (sebuah paham/aliran baru) dengan sebuah reaksi iman untuk menentang serta mengkritisi sikap gereja yang anti ikon-ikon/gambar dan
patung-patung kudus.
III.1.3.
Persoalan Ikonoklasme
Persoalan
ikonoklasme, timbul sebagai reaksi menentang tradisi Gereja, yang dianggap telah menonjolkan karya manusia dan
serentak bertentangan dengan pokok iman. Tentang persoalan ini, Santo Yohanes Damaskus memberi
komentar kepada kaisar Leo Iconoclastic III "Anda
tidak berjuang melawan ikon", "tetapi melawan orang-orang kudus." Sikap St. Yohanes Damaskus menunjukkan satu pandangan
iman yang mendalam, bahwa pemahaman ikon/gambar pada saat itu benar-benar
sebagai simbol yang menghadirkan apa yang ditandakan. Maka melawan, menentang,
salah dipergunakan, dan tidak diberi hormat atas ikon/gambar suci sama
perlakuannya bagi apa yang sebenarnya disimbolkan.
Persoalan ini
sempat menyadarkan Gereja untuk membenahi semua karya seni suci yang
berkembang. Dampaknya tentu membatasi semua ekspresi seniman terhadap kreativitasnya dalam kegiatan seni. Ketiga persoalan ini memiliki
pengaruh yang kuat dalam kreativitas seni suci liturgi pada zaman selanjutnya.
III.1.4.
Suatu Penilaian
Persoalan tentang ikonoklasme (penghancuran
gambar-gambar kudus) memiliki dampak yang serius sampai saat ini. Pada saat
maraknya peran gambar dan patung kudus zaman lampau harus dilihat dari beberapa
segi positif dan negatifnya. Dari segi
positif, penciptaan karya seni suci dalam liturgi atau diluar liturgi
dilihat sebagai bentuk pertumbuhan dan pembentukan iman Gereja. Gambar dan
patung kudus memberikan satu catatan sejarah perkembangan iman dan surutnya
penghayatan iman. Di zaman Gothik, iman umat boleh dikatakan kuat dan berakar.
Hal ini dapat dinilai dari ekspresi iman yang diabadikan dalam bentuk
perancangan interior gereja yang dipenuhi dengan banyak gambar dan patung
kudus. Yang mau ditekankan di sini adalah penghayatan iman Gereja pada saat itu
sungguh murni teosentris (berpusat pada Tuhan)[5].
Maka, semua bentuk ekspresi iman lewat karya seni suci bukan lagi dipikirkan
sebagai penyembahan berhala, tetapi simbol akurat manusia dalam mengabdi kepada
Allah melalui Yesus Kristus, dan para kudus sebagai petunjuk jalan yang
terpercaya.
Segi negatifnya bahwa dalam perkembangan
seni suci, Gereja memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada para seniman untuk mengekspersikan imannya berdasarkan cerita Kitab
Suci. Kebebasan ini mengakibatkan terjadi ketimpangan ekpresi seni suci ke
dalam seni profan. Para seniman kini
dikendalikan oleh para bangsawan dengan berbagai bisnis dan kepentingannya sehingga
menghasut seniman untuk melukiskan riwayat istana dan tokoh-tokoh yang berpengaruh.
Konsekwensinya bahwa seni suci mengalami bentuk yang tidak murni suci. Dalam situasi
seperti ini, hendak diperlihatkan bagaimana pola pemikiran tentang peran
manusia/antroposentrisme mulai berkembang seiring perkembangan ilmu
pengetahuan. Inilah zaman yang dikenal dengan renaisance, suatu pencerahan baru yang mendorong iman menjadi
semacam ghetto intelektual dan bahkan sosial[6]. Sebuah model ikonoklasme
baru muncul dalam budaya kontemporer yang memungkinkan iman
berpaling
ke jalan lain. Bahkan iman berusaha kompromi atau
malah hilang sendiri. Kardinal Yosef Razinger
menegaskan tentang situasi ini:
Pada zaman ini kita tidak
hanya mengalami krisis seni sakral, tapi krisis seni secara umum, suatu bentuk yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Krisis seni ini merupakan gejala dari krisis keberadaan manusia. Pertumbuhan
besar dalam penguasaan manusia tentang dunia materi telah meninggalkan dia buta
terhadap pertanyaan makna hidup yang melampaui dunia materi. Kita hampir bisa
menyebutnya sebagai kebutaan roh. Pertanyaan tentang bagaimana kita harus
hidup, bagaimana kita bisa mengatasi kematian, apakah keberadaan memiliki
tujuan dan apa itu - untuk semua pertanyaan ini tidak ada lagi jawaban yang
umum.[7]
Satu zaman yang bertentangan dengan
iman. Pola berpikir mengikuti pandangan ilmu Positivisme
yang mempersempit cakrawala iman dengan apa yang diverifikasi (sesuatu yang
dapat dibuktikan dengan percobaan). Iman dianggap tidak bisa
diverifikasi/dibuktikan karena itu arah yang tepat adalah realitas dunia yang
bisa ditangkap dengan panca indera.
III.2. Pengaruh ketiga
persoalan di atas pada zaman sekarang
III.2.1. Seniman
III.2.1.1. Daya Ekspresi Seniman
Bersama Komisi Liturgi Keuskupan
III.2.1.2. Pola pembinaan
Seniman liturgi
III.2.2. Bentuk seni suci
liturgi dalam Interior Gereja
III.2.2.1. Gambaran Umum
III.3. Beberapa masukan dan saran yang perlu diperhatikan dalam
menata Interior Gereja
Dalam Documents
on the Liturgy, 1963-1979: Conciliar, Papal, and Curial Texts DOL 547, dikatakan bahwa: " Gereja
perdana memahami, gedung gereja sebagai tempat untuk mendengarkan Firaman
Tuhan, berdoa bersama-sama, menerima sakramen, dan untuk merayakan ekaristi (RDCA, No. 1)[8]. Oleh karena itu, bangunan
rumah Allah (Domus Dei) itu harus menjadi ekspresif kehadiran Allah dan cocok
untuk perayaan pengorbanan Kristus, serta mencerminkan anggota Gereja (Domus
Ecclesiae) yang berdoa. Dari penegasan ini, penulis memberikan usulan dan saran
sebagai satu masukan untuk diperhatikan bersama.
III.3.1. Kreativitas Seni Rupa dalam Gereja
III.3.1.1. Altar
Altar merupakan tempat untuk mengadakan dan
mempersembahkan kurban Anak Domba Allah, meja kurban keselamatan. Karena itu,
altar perlu ditata dan dirancang dari kreatifitas seniman agar sungguh anggun,
menarik, berwibawa dan bermutu dari bahan (materi) dan ukiran/lukisan kudus
yang mensimbolkan kegunaan tempat tersebut. Altar setidak-tidaknya harus ada
ukiran/gambar tentang peristiwa perjamuan malam terakhir Yesus, dengan
lambang-lambang yang mendukungnya. Penempatan seni kudus itu dimaksudkan agar
kondisi altar menampilkan dan menciptakan suasana kesakralan.
III.3.1.2. Mimbar
Mimbar menjadi tempat untuk mewartakan Sabda Allah
kepada umat beriman. Karena itu, tempat tersebut harus dirancang dengan anggun,
bermutu, sehingga menjadi tempat pemakluman Sabda Allah. Gambar/simbol yang
dipadukan dengan bentuk perancangan yang dapat memantulkan kemuliaan Allah
melalui SabdaNya. Oleh karena itu, mimbar perlu diukir dengan seni relief
berupa simbol-simbol kudus yang dapat membawa pesan Sabda Allah ke kedalaman
hati umatNya.
III.3.1.3. Tabernakel
Tabernakel merupakan tempat penyimpanan Sakramen Maha
Kudus. Karena itu, hendaknya dibuat dari logam, besi, emas, atau lebih
sederhana biasanya dari kayu. Tempat kudus tersebut dirancang secara artistik,
dengan ukiran-ukiran, yang mempunyai motif, gambar dan simbol yang dapat
menggambarkan kekudusan dan keindahan Tuhan. Dalam kreatifitasnya, berbagai
motif atau ukiran disesuaikan dengan budaya setempat agar dapat dimengerti dan
bermanfaat bagi orang awam.
III.3.1.4. Penataan
Gambar, Lukisan dan Patung kudus
Penataan gambar, lukisan dan patung kudus dibuat dengan
kerja sama seniman dan petugas gereja (imam/uskup). Tujuannya mendukung
devosional umat, dan sebagai pengungkapan satu kesatuan yang mengarah pada inti
liturgi keselamatan. Seni kudus tersebut dipajang dalam jumlah yang terbatas,
agar tidak mengalihkan perhatian umat dari inti liturgi yang dirayakan. Diatur
dengan serasi dan baik agar menghantar suasana hati yang penuh hormat kepada
Allah[9].
Satu kenyataan yang dihadapi dalam interior gereja bahwa
terkesan terlalu minimalistis dan tidak lengkap. Misalnya, penempatan patung
dan gambar Yesus, Maria, St. Yosep atau Santo dan santa sebagai pelindung
gereja tersebut jarang lengkap. Khusunya, santo/santa pelindung dari gereja
tersebut tidak dibuat patung atau gambar untuk ditempatkan di luar atau di dalam
gereja. Kenyataan seperti ini ditemukan di stasi yang diteliti, yakni stasi Poniki.
III.3.1.5. Sikap Iman yang
tepat dalam Devosi
Sesuai dengan anjuran Gereja, kegiatan devosi atau corak
penghormatan atau doa dihadapan gambar dan patung kudus, harus dengan
batas-batas kewajaran (KHK can. 1188). Sebab, sikap berdoa yang berlebihan
dapat menimbulkan satu kecurigaan dan pertanyaan dari golongan agama lain. Penegasan
Gereja di sini memiliki kaitannya dengan persoalan yang pernah dialami oleh
Gereja, yaitu suatu tuduhan bahwa Gereja Katolik menyembah gambar dan patung
yang merupakan bentuk penyembahan berhala.
Selain menghindari sanggahan dari luar, Gereja juga menjaga agar dengan
sikap berlebihan, perayaan liturgi diabaikan.
III.3.1.6. Busana Liturgis
Busana liturgi dirancang sesuai dengan warna dan tahun
liturgi. Motif busana disesuaikan dengan budaya setempat, dengan tetap
mempertimbangkan mutu dan kelayakan dalam perayaan liturgis; serta fungsi dan
maknanya sesuai dengan keyakinan iman (sebagai ungkapan kebesaran dan
kehormatan pakaian Kristus).
III.3.1.7. Hiasan Tahun
Liturgis
Hiasan-hiasan tahun liturgi, seperti: krans adven,
lukisan/kandang natal dan pohon natal, lilin paskah dan lain-lain, hendaknya
dihias dengan memperhatikan fungsinya dan unsur keindahan yang wajar. Bentuk
dan posisi hiasan-hiasan tersebut tetap menjunjung tinggi arti dan makna serta
ekspresi unsur estetis. Mengenai bahan, pemanfaatan seni dan dekorasi dari
kebudyaan setempat, dengan menggunakan simbol-simbol suku, bangsa, kelompok
yang bersangkutan, belum banyak mendapat perhatian.
III.3.1.8. Dekorasi
Dekorasi ditujukan untuk menghiasi unsur-unsur perabot
utama dalam gereja, khususnya untuk perayaan Ekaristi adalah altar, ambo/mimbar,
kursi imam. Unsur-unsur lain yang berkaitan, misalnya: tabernakel, kredes, kursi pelayan altar, tempat
lilin, salib, dan sebagainya. Unsur-unsur itu ditata sesuai dengan norma
liturgi. Rangkaian bunga dibuat dan ditempatkan di sekitar unsur-unsur itu,
tetapi bunga yang dituntut zaman ini seharusnya bunga hidup. Hiasan sering
ditumpuk di sekitar altar, menunjukkan bahwa belum memperhatikan kaidah dasar
mengenai keutuhan tata ruang ibadat dan partisipasi aktif seluruh umat yang
berhimpun[10]. Prinsipnya,
rangkaian bunga dan unsur dekoratif lainnya jangan sampai mengaburkan liturgi, apalagi
unsur yang mengandung nilai simbolis penting, seperti: altar, ambo, kursi imam
dan tabernakel.[11]
Kain-kain dari toko, tidak boleh berlebihan karena terkesan kegiatan liturgi
seperti tempat dan kegiatan pertunjukkan karya seni.
III.3.1.9. Langit-Langit
Gereja
Desain gereja, melibatkan segala aspek interior ruang
untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan suasana sakral. Salah satunya adalah
langit-langit yang menjadi bagian yang cukup fundamental, karena langit-langit
adalah simbol langit. Lokasinya di atas sehingga membuat orang harus menengadah
kepala, seperti kalau melihat langit. Maka langit adalah simbol takhta Allah;
ada awan, ada malaikat, ada cahaya matahari, bulan dan bintang. Karennya,
langit-langit adalah aspek interior gereja yang memang strategis untuk
mendukung suasana sakralitas ruang liturgi. Pada masa kini, Gereja mengalami
banyak kesulitan dalam merancang langit-langit. Persoalanya karena mau mencari
gampang dan murah. Langit-langit sering hanya menjadi tempat fungsional untuk
menggantung lampu dan mengatur tata cahaya.
III.3.1.10. Tata Warna dan
Cahaya
Warna dan cahaya yang digunakan dalam menata sebuah
ruangan dapat memberi pengaruh fisik bagi penampilan sebuah ruangan. Warna yang
terang dan tegas dapat memantulkan cahaya yang jelas dalam ruangan, sebaliknya
suram/tidak bercahaya menampilkan cahaya lembut. Mutu cahaya yang terpantul
dari suatu permukaan tergantung dari tekstur permukaannya. Warna dan cahaya
dapat mempengaruhi secara fisik dan psikologis. Misalnya: panas atau sejuk
secara fisik dan krasan/tenang dan kurang tenang secara psikologis. Oleh karena
itu, warna harus sejalan dengan cahaya lampu dan matahari yang sedapat mungkin
bisa memberi perhatian pada kegiatan liturgis. Penataan warna dan cahaya
disesuaikan dengan lukisan, gambar yang ada sehingga orang dapat merasakan
ketenangan jiwa, dan kehadiran kemuliaan Allah.[12]
III.3.1.11. Pintu dan Dinding
Gereja
Pintu dan dinding gereja memiliki makna simbolis. Kedua
bagian ini, adalah simbol perlindungan dari Kristus. Yesus sendiri mengatakan bahwa
Diri-Nya sebagai Gembala yang Baik dan pintu masuk Kerajaan Surga bagi setiap orang
yang mengikuti Dia (GIRM. No. 97.[13] Maka, Kristus berperan sebagai
jalan yang mengarah kepada Bapa. Tampilan dan ketinggian pintu gereja
mencerminkan martabat manusia yang berharga di mata Tuhan.
Dalam pemahaman ini, dapat dikatakan
bahwa dinding dan pintu yang kosong sebenarnya tidak wajar atau bahkan
meniadakan simbol perlindungan Kristus bagi umat. Selain itu, tidak juga
menampilkan martabat manusia yang berharga di mata Tuhan (lih. Lampiran gambar,
hlm…). Jadi, setiap gereja harus dilengkapi dengan dinding dan pintu untuk
melindungi kesucian rumah Allah.
III.3.2. Kreatifitas Seni
Rupa bagian Luar Gereja
III.3.2.1. Halaman Gereja
Halaman gereja dibuat dengan luas agar kebutuhan prosesi
umat, atau kegiatan dan perayaan liturgis lain yang diadakan sewaktu-waktu
boleh berjalan dengan anggun. Selain itu, kegunaan halaman gereja dimaksudkan
untuk melakukan devosional umat dihadapan Patung Maria. Setiap halaman gereja
dianjurkan agar dibuatnya patung atau gambar dan poster pelindung gereja
tersebut, guna mendukung kekudusan halaman gereja serta kemuliaan rumah Allah.
III.3.2.2. Taman
Keindahan taman dapat menyirami setiap orang yang
menikmatinya sambil mengarahkan hatinya ke hadapan Sakramen Maha Kudus yang ada
dalam gereja. Oleh karena itu, hendaknya taman ditata dengan baik dan dijaga
agar tidak mengalami kegersangan dalam halaman gereja. Taman
dapat memperindah gedung gereja dan patung Yesus, Maria dan santo/santa yang
ada di muka gereja. Keindahan taman dapat membawa kesejukan dalam ruangan
gereja, dalam hati dan menghantar hati umat mengalami keindahan cinta kasih
Ilahi yang terpantul dari taman tersebut.
III.3.3. Suasana
Kesakralan Liturgis
Semua kreativitas seniman di atas dimaksudkan untuk
menciptakan suasana liturgi menjadi sakral. Benda dan atau hal sakral
sebenarnya ada pada dirinya, peran seni seperti: ukiran, lukisan, dan hiasan. Benda
tersebut dibuat untuk menciptakan suasana yang benar-benar dialami sebagai yang
sakral. Oleh karena itu, seni berperan untuk mendukung dan menciptakan unsur
kesakralan itu menjadi lebih disentuh ke dalam jiwa sekaligus menghadirkan
unsur transenden.
Seni juga membuat suasana semakin teratur dan serasi. Oleh
karena itu, dalam penataan ruang gereja atau ruang ibadat, ada dua hal penting yang
perlu untuk dapat diperhatikan. Pertama, menyangkut
pengaturan fisik dari tata bangunan dan tata ruang tersebut. Tata ruang berdaya
guna bila di dalamnya orang merasakan kenyamanan, ketenangan, krasan,
kesejukan, dan komunikatif. Kedua, lebih
menunjuk pada suatu gambaran atau kesan yang dihadirkan melalui penataan yang
sesuai dengan kaidah seni. Citra bangunan dan citra tata ruang lebih menyentuh
tingkat spiritual, derajat dan martabat manusia yang ada di dalam ruang itu.
Tata ruang itu menjadi pantulan jiwa dan cita-cita kita yang sedang beribadat.
Tata ruang mampu membahasakan segala yang indah, segala yang agung, serta
mengekspresikan semangat kaum beriman yang sedang merayakan korban penebusan.
Dengan makna ini, maka para seniman didorong agar dapat menciptakan ruangan,
peralatan, dan suasana liturgis menjadi sakral dan kudus.
Untuk itu, si seniman harus memperhatikan tempat-tempat
yang perlu dirancang dengan satu kreatifitas yang tinggi, agar umat beriman
yang hadir dapat terpukau dengan ukiran, lukisan, patung, dan sebagainya yang
menghiasi semua perlengkapan dan tempat-tempat menjadi suci, sehingga kemuliaan
di surga dan kemuliaan di dalam perayaan serta ruangan liturgis sungguh-sungguh
dialami dan dirasakan. Jadi, peran seni rupa dalam liturgi sangat penting
karena bermakna imanen dan transenden. Artinya unsur transendensi dapat
dihadirkan melalui aktifitas seni rupa dan unsur imanensi dapat diungkapkan
sebagai simbol kehadiran dari yang transenden. Jalur perkembangan seni Kristen
sekarang tidak terlepas dari apa yang diwariskan Gereja masa lampau, hanya saja
kreatifitas seni Kristen sekarang dikembangkan dalam porsinya yang praktis
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahaun dan teknologi.
III.3.4. Kaidah-Kaidah
Seni: Indah dan anggun, serasi dan padu,
mutu dan selaras
Kaidah seni yang dimaksudkan adalah keindahan,
keserasian dan mutu sebagai unsur hakiki yang dipadukan dalam suatu karya seni.
Ketiga unsur ini berkaitan dengan daya tangkap jiwa/spiritual manusia atas
objek yang diamati. Ketika kaidah seni ini dibuat dalam konteks liturgi suci
maka objek yang dirasakan adalah simbol kehadiran Sang Ilahi.
III.3.4.1. Indah dan
Anggun
Liturgi merupakan perayaan keselamatan yang dilakukan oleh
Tuhan dengan indah dan anggun. Penebusan itu merupakan karya penciptaan baru,
dari manusia lama yang penuh dengan dosa, citra Allah yang telah rusak, kini
kembali diciptakan menjadi baru dalam Roh dan Kebenaran. Liturgi dapat
menghadirkan proses penebusan itu, merasakan betapa indah dan anggun karya
Tuhan bagi manusia. Kaidah seni rupa yang indah dan anggun merupakan satu
simbol yang melukiskan karya ciptaan tersebut. Oleh karena itu, tata seni harus
sepadan dengan karya penciptaan Tuhan yang indah itu. Secara nyata kaidah seni
keindahan dapat nyata melalui hasil kreatifitas berbagai peralatan liturgi
secara baik.
Kesulitan dapat terjadi dengan keberadaan seorang
seniman. Penataan itu merupakan kerja seorang seniman yang mahir dalam menata
ruang liturgi menjadi indah dan anggun. Dua kriteria artistik menjadi indah
dapat diperhatikan dalam hal menata ruang liturgi: pertama, harus merupakan karya seorang seniman. Kalau terpaksa
dipilih barang-barang buatan pabrik yang diproduksi secara massal, maka barang
tersebut harus sesuai warna liturgi, anggun dan indah dari segi bahan baku, rancangan dan
bentuk, warna dan motif. Kedua, harus
serasi satu sama lain, dan harus serasi dengan tata bangunan dan tata ruang
gereja.[14]
Ruangan yang ditata dengan indah dan anggun akan menampakkan suasana yang lebih
sakral yang dapat mengajak dan menuntun umat beriman masuk dalam suasana
kontemplasi yang saleh dan dapat mengarahkan hati dan jiwa mereka kepada Tuhan.
III.3.4.2. Serasi dan Padu
Tata ruang yang serasi dan padu merupakan tuntutan dari
tata ruang yang artistik. Tata ruang yang artistik sebenarnya tidak hanya
menyangkut hal yang indah dan anggun semata, melainkan menuntut suatu
keserasian dalam penataannya. Tata ruang tersebut akan membentuk suatu kesatuan
yang dapat mengekspresikan suasana yang harmonis antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya. Hal ini mengekspresikan kesatuan umat Allah yang berkumpul
di dalam ruang ibadat. Bentuk keserasian dan padu terungkap melalui kebersamaan
melagukan kidung pujian ke hadirat Allah yang maha kudus. Dengan demikian, umat
akan merasa dihantar dan dituntun dalam pujian meriah menuju ke gerbang
keselamatan yang kekal.[15]
III.3.4.3. Mutu dan Selaras
Karya seni yang baik adalah karya seni yang memiliki
mutu yang baik dan selaras/sesuai. Disadari bahwa keindahan sebuah karya seni
belum tentu memiliki mutu yang baik serta keselarasan menurut kaidah seni yang indah.
Oleh karena itu, para seniman harus
benar-benar mendalami dan menekuni bakat dan minat yang telah ditaburkan oleh
Tuhan. Khususnya para seniman Gereja perlu ada pembinaan dan pendampingan agar
penataan peralatan seni rupa dalam liturgi menampilkan yang bermutu dan berkesesuaian.
Berkaitan dengan itu, Gereja melalui Dokumen Konsili Vatikan II menegaskan
bahwa:
“Henedaknya para Uskup-entah mereka sendiri, atau melalui para imam
yang cocok untuk tugas itu, mahir dan mempunyai minat besar terhadap kesenian,
-memberi perhatian kepada para seniman, supaya mereka diresapi semangat
kesenian ibadat dan liturgi suci.
Selain itu dianjurkan, supaya di daerah-daerah yang kurang
memerlukannya didirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat
untuk membina para seniman.
Semua seniman, terdorong oleh bakat mereka bermaksud mengabdikan
diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci, hendaknya selalu ingat, bahwa
mereka dipanggil untuk dengan cara tertentu meneladan Allah Pencipta, dan
menghadapi karya-karya yang dikhususkan bagi ibadat Katolik, bagi pembinaan
serta ketaqwaan umat beriman, dan bagi pendidikan keagamaan mereka.[16]”
Dari pernyataan di atas, dua hal yang harus diperhatikan
yaitu, pertama, dibutuhkan
pembelajaran yang baik tentang seni Gereja di sekolah/lembaga-lembaga, agar
karya seni selalu bermutu dan sesuai dengan seni tradisi Gereja yang
dipertahankan sampai sekarang. Tradisi Gereja itu tidak lain dari pokok iman
yang dihayati turun-temurun sebagai satu kekayaan rohani. Kedua, para seniman sendiri adalah orang-orang yang ada dalam jalur
panggilan Tuhan, agar mereka bisa meneladani Sang Pencipta sendiri. Dengan
demikian, mereka sungguh-sungguh menampilkan karya kudus yang bermutu dan
sesuai dengan peninggalan-peninggalan gereja yang terhormat (SC No. 129).[17]
III.5. Makna seni suci
liturgis bagi penulis: Sebuah Refleksi
Teologis
III.5.1. Allah
adalah Seorang Seniman
Dari keterangan di atas, penulis
dapat merefleksikan lebih mundur ke proses penciptaan dalam Perjanjian Lama
(Kej. 1:1-26). Dari ketiadaan, Allah membuat menjadi ada, nampak dan terbentuk
segala yang ada di bumi dan di langit. Proses ini dengan istilah lain disebut
sebagai karya seni rupa, seni yang
dapat dilihat ketika dibentuk, bisa diraba, dan bisa disentuh oleh panca indra.
Allah menjadikan (segala sesuatu), selain diciptakan dengan FirmanNya, Allah
menciptakan juga dengan “menjadikan” ialah sebuah perbuatan. Berkaitan dengan
suatu tindakan atau perbuatan itu, secara jelas dilihat dalam peristiwa Allah
menjadikan binatang-binatang (ayat 16) dan manusia (ayat 26). Akhir dari semua
proses penciptaan disimpulkan dengan bahasa yang sering ditujukan bagi setiap
karya seni; (sungguh) baik adanya.
Dari semua karya penciptaan Allah
itu, penulis melihat dan dapat menyimpulkan bahwa Allah itu sungguh seorang seniman
sejati. Sebagai seorang pelukis Ia telah melukiskan alam semesta dan
segala isinya dan juga sebagai seorang pematung Ia telah membentuk manusia menjadi hidup. Semua hasil karya
tanganNya itu indah, permai, hidup dan agung; seakan-akan jiwaku ini tenteram ke dalam jiwa seni Allah (bdk. Mzm. 8:4-6). Maka, hakekat dari
keindahan alam dan kesempurnaan manusia adalah berasal dari jiwa dan nafas
Allah sendiri, karena dalam melukiskan alam raya, Allah telah menuangkan
jiwa-Nya dan ketika membentuk manusia Ia sendiri mengembuskan nafas-Nya
sehingga manusia menjadi sempurna dari segala keindahan yang ada.
Tidak hanya karena hasil karya
tanganNya membuat Ia dikenal sebagai seorang seniman, tetapi lebih dari itu
penampakan diriNya menjadi meterai keindahan yang tak terkatakan. Peristiwa
transfigurasi (perubahan rupa) Yesus di atas gunung tabor memberi arti yang mendalam
bagi segala keindahan yang ada. Wajah dan pakaian yang dikenakan Yesus
berkilau-kilauan, membuat tiga saksi: Petrus Yohanes dan Yakobut tenggelam
dalam keindahan dan semarak tersebut. Ungkapan verbal, Petrus “ Guru betapa
bahagianya kami berada di tempat ini,” menunjukkan satu ungkapan perasaan
mendalam atas sumber segala seni yang menyatakan diriNya (bdk. Luk. 9:28-36).
Gunung (tempat tinggi kediaman Allah, Awan (lambang Roh Kudus), dan dua orang
Elia dan Musa menjadi latar belakang pelukisan keindahan dan kemuliaan Yesus
Anak Allah. Demikianlah semua pekerjaan Yesus harus dilihat dalam konteks karya
sang seniman. Maka, penderitaan dan wafat Yesus di kayu salib merupakan suatu
penciptaan baru atas karya seni Allah yang telah rusak (manusia berdosa). Untuk
memperbaiki karya seni Allah, St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa penderitaan
Yesus sudah ada dalam kehendak Bapa. Putra bertindak sebagai Hamba Allah, awan
adalah tanda kehadiran Roh Kudus; maka seluruh Tritunggal tampak: Bapa dalam
surga, Putra sebagai manusia, dan Roh Kudus dalam awan yang bersinar.[18]
Peran Tritunggal ini, mengingatkan proses penciptaan karya seni pertama Allah:
terdapat peran Roh Kudus yang melayang-layang di permukaan samudra,
Firman/Sabda Allah (yang dimengerti sebagai Yesus sang Logos), dalam kesatuan
dengan Bapa. Hasil dari penciptaan karya seni itu dilihat baik adanya. Kini
dalam penciptaan baru karya seni yang sudah rusak dalam Perjanjian Lama
diperbaiki kembali oleh Yesus dalam kerja sama Bapa dan Roh Kudus. Maka,
transfigurasi Yesus merupakan penampakan kemuliaan dan semarak Allah, Sang
seniman yang mau mengerjakan karyaNya menjadi berguna dihadapan kemuliaanNya.
II.5.2. Manusia sebagai
simbol dan Pantulan dari Keindahan Allah[19]
Manusia itu sungguh indah, bahkan
menjadi pantulan dari Keindahan Allah. Maka tidaklah megherankan, jika manusia
mudah tersentuh oleh berbagai bentuk keindahan. Setiap orang mempu menangkap
keindahan dalam kapasitasnya masing-masing, baik yang dialami maupun yang
diciptakan manusia dalam bentuk karya seni, karena dalam dirinya ada keindahan
yang sempurna. Dalam diri setiap orang bersemayam sumber Keindahan, yakni Allah
sendiri. Manusia adalah sosok yang menjadi simbol Allah. Kalau ingin mengenal
Allah, sebagai Sumber Keindahan, kenalilah manusia secara mendalam. Sikap
memusuhi sesama maupun diri sendiri merupakan bentuk ungkapan memusuhi Allah.
Sikap mencintai sesama maupun diri sendiri merupakan bentuk ungkapan cinta
kepada Allah. Sikap membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan
agama, ras, suku, status ekonomi, dan sejenisnya merupakan penghalang serius
untuk mengenal Allah secara mendalam.
Oleh karena itu, disadari bahwa alam dan
manusia merupakan tanda kehadiran Allah sendiri di tengah-tengah dunia ini.
Kita (manusia) dapat menjumpai Allah, sesungguhnya melalui alam semesta dan
sesama manusia. Karena dalam hidup manusia ada nafas dan jiwa Allah dan dalam
keindahan alam semesta ada jiwa Allah. Manusia seniman adalah seorang yang
hanya dapat meniru/representator Karya Sang seniman sendiri yaitu Allah. Kreativitas
seorang seniman untuk menciptakan hal-hal yang kudus dan indah memiliki kaitan
dengan kreativitas Allah dalam menciptakan alam semesta dan manusia. Segala
kreativitas seorang seniman akan selalu mengarah pada kebaikan bersama dan
kemuliaan bagi Allah. Karena hidup manusia dan alam semesta itu telah
dikuduskan oleh Allah dengan memberkatinya sehingga menjadi baik adanya.
Manusia sebagai pantulan Allah bertanggung jawab dan berkewajiban untuk
memelihara dan menggunakan alam semesta ini dengan bijaksana.
III.5.3. Liturgi sebagai
tanda yang menunjukkan suatu Jalan perjumpaan manusia dengan Sang Seniman
Liturgi
merupakan jalan menuju pertemuan antara Allah dan manusia, dan sekaligus
menjadi sarana yang memungkinkan manusia menyampaikan hormat dan rasa syukur
kepada Allah, Sang seniman sejati jagat raya serta menemukan keselamatan-Nya.
Melalui perayaan liturgi akan ada jalan bagi kita bahwa Allah yang tidak nampak
bagi pancaindera kita, diekpresikan dalam berbagai kreasi seni suci. Liturgi
sebagai perayaan simbol, manusia menggunakan berbagai lambang yang dapat
dilihat dengan mata (seni rupa suci), didengar dengan telinga, dipegang dengan
tangan dan dialami dengan seluruh kepribadiannya.
Melalui
sarana lukisan, kita merasakan kehadiran dan kemuliaan Sang Seniman, sebagai
sumber hidup, yang menawarkan kehidupan yang baru. Melalui kurban Ekaristi
dalam rupa roti dan anggur kita bersatu dengan Yesus Kristus sebagai makanan
dan minuman-Nya, yang menjamin kehidupan ilahi. Dalam salib, kita bertemu
dengan Kristus sebagai penyelamat, yang menderita, wafat dan bangkit. Altar
melambangkan Kristus sebagai jantung dan dasar hidup kita. Dalam asap kemenyaan
kita melihat butir-butir doa kita naik menyongsong Sang Seniman yaitu Allah
Tritunggal.[20]
III.6. Kesimpulan
Dalam bab tiga ini ada dua pembahasan
penting yaitu relevansi dari peran seni rupa dalam liturgi zaman sekarang dan
refleksi penulis. Pertama, diketahui
bahwa keberadaan seni rupa zaman sekarang merupakan warisan tradisi Gereja yang
dipertahankan dalam liturgi suci. Tidak ada seni Kristen yang baru diciptakan,
karena keberadaan seni rupa dalam liturgi sekarang merupakan warisan tradisi
Gereja yang telah mengalami proses inkulturasi sesuasi dengan budaya setempat.
Dengan proses inkulturasi memungkinkan agama Kristen dapat berakar dan bertahan
sampai sekarang. Ada
dua perubahan yang perlu diketahui dalam perkembangan seni Kristen. Pertama, Seni Kristen ala Budaya barat
yang masuk dalam budaya lain mendapatkan bentuk yang baru sesuai budaya
setempat (inkulturasi). Kebudayaan-kebudayaan lain mulai mengadopsi seni
Kristen ala Barat dan mengembangkannya dalam konteks dan cita rasa budaya
mereka, tanpa merubah makna iman yang diyakini Gereja dan otoritas Gereja. Kedua, perubahan terjadi dalam tradisi
budaya masing-masing; sambil menjaga seni yang tidak bertentangan dengan iman,
mulai mendapatkan bentuk yang sederhana dan praktis dengan bantuan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Khususnya dalam menghiasi dan memperindah
peralatan liturgi suci secara baik.
Tidak
dipungkiri bahwa ada persoalan yang muncul dalam kaitannya dengan kegiatan
devosional umat. Hal ini menjadi perhatian dan pemahaman yang baik dan perlu
untuk diberikan kepada umat agar tidak lagi terjadi praktek tahyul dan
magi. Persoalan ini semestinya disikapi
oleh pemerintah dan Gereja yang berwenang.
Kedua, dari semua penjelasan tentang
peran seni rupa dalam liturgi disimpulkan dalam refleksi pribadi penulis secara
teologis. Penulis yakin dan percaya bahwa semua aktivitas kesenian secara umum
dan seni rupa dalam liturgi merupakan suatu peniruan seorang seniman mengikuti
jejak Sang Pencipa. Proses penciptaan itu sendiri dinilai sebagai karya seorang
seniman, maka Allah merupakan Seniman sejati. Dalam pemahaman yang sama manusia
diciptakan sebagai makhluk yang mulia dan indah. Oleh karena itu, manusia
merupakan pantulan Gambar Allah yang sejati, persoalan benci dan pertentangan
merupakan bentuk penolakan terhadap Sang Pencipta sendiri. Melalui karya
ciptaan-Nya Allah dapat dijumpai dan hadir untuk berbicara dengan manusia
melalui manusia dan alam ciptaan-Nya.
Manusia
dapat menjumpai Allah melalui satu jalan. Jalan itu tidak lain dari kegiatan
liturgi umat beriman. Melalui liturgi kita manusia menjalani hidup ini menjadi
bermakna karena dapat mengenal dan berjumpa dengan Sang Seniman yang memberi
hidup dan kegembiraan. Hidup menjadi bermakna karena ada dan berjalan bersama
Tuhan, sambil memuji dan meluhurkan Tuhan. Umat beriman percaya bahwa
keberadaan manusia di dunia ini adalah proses ziarah yang panjang, dan proses
ziarah ini merupakan suatu perjalanan yang ditempuh menuju Allah. Peran seni
rupa hanya sebagai simbol yang menghadirkan yang transenden menjadi dikenal dan
dilihat oleh panca indra manusia. Maka liturgi merupakan jalan kehidupan umat
yang diselamatkan menuju kehadirat Sang Seniman, melalui tanda dan simbol karya
seni rupa.
LAMPIRAN
Bagian interior gereja menampilkan kekayaan seni suci liturgi yang
diabadikan melalui pelbagai simbol suci. Dalam gereja St. Mary’s, terlihat di bawah altar yang
tinggi, tulang seorang martir wanita tahun 1844.
Model
interior gereja abad pertengahan
Salah satu Gereja St
Mary's tertua di Amerika Serikat dan kedua interior model seni Ghotik di Gereja Timur (Ortodoks).
2. Model Interior gereja di keuskupan
Manado
- Gereja Sta. Agata di desa Poniki
BB Kitab Berkah
CCC Katekismus Gereja Katolik
CIC Codex Iuris Canonici: Kode Hukum Kanonik
CT Catechesi Tradendae: Pada katekese di Our Time
DD Dies Domini: Mengamati dan Merayakan Hari Tuhan
DOL Dokumen tentang Liturgi, 1963-1979: Teks Konsiliar, kepausan, dan Curial
EACW Lingkungan dan Seni di Ibadah Katolik (Konferensi Nasional Uskup Katolik , 1977).
EM Eucharisticum Mysterium: Pada Ibadah Ekaristi
Umum GILM Pengantar Lectionary untuk Misa
GIRM Petunjuk Umum Misa Romawi
HCWEOM Komuni Kudus dan Ibadah Ekaristi di Luar Misa
IRL Inkulturasi dan Liturgi Romawi
Surat LA Artis
LG Lumen Gentium: Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
MCW Musik di Ibadah Katolik
MF Mysterium Fidei: Pada Ajaran dan Ibadah Ekaristi
OA Opera Artis: Pada Perawatan Warisan Sejarah Gereja dan Artistik
OCF Orde Pemakaman Kristen
OP Ordo Paenitentiae: Ritus Tobat
PCEF [Surat Edaran Tentang] Penyajian dan Perayaan Hari-hari Raya Paskah
Ordinis Presbyterorum PO: Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam
PW Tempat Ibadah: Direktori Pastoral pada Bangunan dan Pengubahan urutan Gereja
RCIA Ritus Inisiasi Kristen Orang Dewasa
RDCA Ritus Dedikasi Gereja dan Altar sebuah
SC Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci
CCC Katekismus Gereja Katolik
CIC Codex Iuris Canonici: Kode Hukum Kanonik
CT Catechesi Tradendae: Pada katekese di Our Time
DD Dies Domini: Mengamati dan Merayakan Hari Tuhan
DOL Dokumen tentang Liturgi, 1963-1979: Teks Konsiliar, kepausan, dan Curial
EACW Lingkungan dan Seni di Ibadah Katolik (Konferensi Nasional Uskup Katolik , 1977).
EM Eucharisticum Mysterium: Pada Ibadah Ekaristi
Umum GILM Pengantar Lectionary untuk Misa
GIRM Petunjuk Umum Misa Romawi
HCWEOM Komuni Kudus dan Ibadah Ekaristi di Luar Misa
IRL Inkulturasi dan Liturgi Romawi
Surat LA Artis
LG Lumen Gentium: Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
MCW Musik di Ibadah Katolik
MF Mysterium Fidei: Pada Ajaran dan Ibadah Ekaristi
OA Opera Artis: Pada Perawatan Warisan Sejarah Gereja dan Artistik
OCF Orde Pemakaman Kristen
OP Ordo Paenitentiae: Ritus Tobat
PCEF [Surat Edaran Tentang] Penyajian dan Perayaan Hari-hari Raya Paskah
Ordinis Presbyterorum PO: Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam
PW Tempat Ibadah: Direktori Pastoral pada Bangunan dan Pengubahan urutan Gereja
RCIA Ritus Inisiasi Kristen Orang Dewasa
RDCA Ritus Dedikasi Gereja dan Altar sebuah
SC Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci
Konferensi Waligereja Katolik Pada tahun 2000, dan Konferensi Uskup
Katolik Amerika Serikat 2001
[1]Impresionisme/Impression, karakteristik utama lukisan impresionisme adalah kuatnya goresan
kuas, warna-warna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang
mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi
terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, subjek-subjek lukisan yang tidak
terlalu menonjol, dan sudut pandang yang tidak biasa.
Ekspresionisme
adalah kecenderungan seorang seniman untuk
mendistorsi kenyataan dengan efek-efek emosional. Ekspresionisme bisa
ditemukan di dalam karya lukisan, sastra, film, arsitektur, dan musik. Istilah emosi
ini biasanya lebih menuju kepada jenis emosi kemarahan dan depresi daripada
emosi bahagia.
[2]Bdk. New Catholic Enciclopedia, Church Architectur (America: The
Catholik Univercity, 1986), page. 1775.
[3]Realisme/Realisme di dalam seni rupa
berarti usaha menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam
kehidupan sehari-hari tanpa tambahan embel-embel atau interpretasi tertentu.
Maknanya bisa pula mengacu kepada usaha dalam seni rupa untuk memperlihatkan
kebenaran, bahkan tanpa menyembunyikan hal yang buruk sekalipun. Perupa realis
selalu berusaha menampilkan kehidupan sehari-hari dari karakter, suasana,
dilema, dan objek, untuk mencapai tujuan Verisimilitude (sangat
hidup). Perupa realis cenderung mengabaikan drama-drama teatrikal,
subjek-subjek yang tampil dalam ruang yang terlalu luas, dan bentuk-bentuk
klasik lainnya yang telah lebih dahulu populer saat itu.
Naturalisme/Naturalisme di dalam seni rupa adalah
usaha menampilkan objek realistis dengan penekanan pada setting alam. Hal ini
merupakan pendalaman lebih lanjut dari gerakan realisme pada abad 19 sebagai
reaksi atas kemapanan romantisme
(keindahan/kecantikan).
[4]Jek rens?,,,,,,,,,,,,,,
[5]Skripsi Jack Renyaan?………
[6]Ratzinger
Kardinal Joseph, waktu menjabat sebagai prefek Konggregasi untuk
Ajaran Iman. Online Edition - Vol. VIII, No 1: Maret 2002, tentang Seni, Gambar
dan Seniman.
[8]RDCA, Rite of
Dedication of a Church and an Altar n Sebuah Ritus Pelayanan terhadap Gereja dan Altar.
[9]Komisi Liturgi KWI, Tata Ruang Ibadat, Bina Liturgia 7, PD, (Jakarta:Obor, 1990), hlm.
52. Bdk, Peater, Tom, Church Art and Architecture: Sclptor,
Medium and Vision, dalam The Clergy Review, no, 4, Vol. LXX, April 1998.
[10] Ernes Maryanto, Praktek Liturgi Pasca-Vatikan II, dalam Gereja Indonesia
Pasca-Vatikan II, Refleksi dan tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm.
297.
[11] Romo A.Susilo Wijoyo, Pr, dalam, http:
//2.bp.blogspot.com/_Naf0fbnhynM/Spj0xpepVJI/AnB-fN339GQ/s1600-h/Bunga_liturgis2.png
[12]Bdk, Jacobus Renjaan, Skripsi: Tata Ruang Ibadat Yang Ekspresif: disoroti
dari Bidang Seni Rupa,Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, 1995, hlm.
85-86.
[13]GIRM, General Instructioan Of
The Roman Missal, Petunjuk
Umum Misa Romawi (USCCB) United States Conference Of Catholic
Bishops
[14]Bdk. SC. No. 122.
[15]Bdk.
Jacobus Renjaan, Skripsi: Tata Ruang Ibadat Yang Ekspresif: disoroti
dari Bidang Seni Rupa,Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, 1995, hlm.
66.
[16]Komisi Liturgi KWI. Dalam SC. No. 127, hlm.
48-49.
[19]St. Gregorius dari Nyssa (335), telah
merefleksikan terlebih dahulu; “sesungguhnya, manusia merupakan pantulan dari
keindahan asli, yaitu Allah. Segala sesuatu yang diciptakan Allah itu, sungguh
amat baik. Kisah penciptaan memberi kesaksian tentang itu. Di antara
barang-barang baik itu terdapat manusia, yang dihias dengan keindahan yang jauh
melebihi keindahan semua barang indah yang lain. Barang lain manakah yang dalam
menyataannya dapat seindah ciptaan yang serupa dengan keindahan murni yang tak
dapat sirna? Sebagai pantulan dan gambar kehidupan kekal, manusia sungguh baik,
malah amat baik, karena adanya tanda yang memancarkan kehidupan pada wajah-Nya. Paus Benedictus XVI, Bapa-bapa Gereja, Hidup, Ajaran, dan Relevansi
Bagi Manusia di Zaman Kini (Malang: Dioma, 2009), hlm. 126.
[20]Bdk. Nikolaus
Hayon, Ekaristi Perayaan Keselamatan
dalam Bentuk Tanda, (Ende-Flores: Nusa Indah, 1986), hlm. 55-56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar