Rabu, 08 Februari 2012

SELIBAT PARA IMAM

SELIBAT PARA IMAM
(Sebuah Rangkuman Hasil Wawancara tentang Selibat Para Imam)
Oleh: Vitalis Letsoin

Untuk mengetahui makna selibat bagi para imam, kami mengadakan wawancara dengan tiga pertanyaan sentral: Pertama, apa arti selibat bagi Pastor? Kedua, kapan Pastor mengalami bahwa selibat itu merupakan sesuatu yang istimewa? Ketiga, apa saja tips atau langkah-langkah konkrit yang biasa dibuat agar selibat dihayati secara optimal?
            Ada delapan orang imam yang saya hubungi lewat handpon, diantaranya dua orang imam Projo Ruteng - Flores, dua imam projo Sintang – Kalimantan, tiga imam projo Amboina dan seorang imam projo Manado. Namun, hanya dua imam projo Ruteng, satu Projo Amboina kendati hanya singkat dan pembimbing rohaniku, P. Boni bin OIla, Pr yang bersedia mensheringkan pemahaman serta tips mempertahankan selibat. Muda-mudahan ini mewakili empat orang imamnya lainnya yang belum berhasil diwawancarai.

Selibat: Sebuah Wawancara dengan para Pastor
P. Gusti, Pr [1]
Pertama, Selibat bagi saya adalah Rahmat dan Tanggungjawab. Saya menyadari bahwa selibat merupakan rahmat yang saya terima dari Allah. Ramhat ini menuntut pertangungjawaban yakni pelayanan kepada sesama.
Kedua, dengan Imamat saya dihargai, dan mutu kehidupan imamat ada dalam selibat. Bagi saya setiap kali saya dihargai sebagai seorang imam saya merasa bahagia. Kebahagiaan saya terletak pada selibat yang menjadi hakikat  dan jati diri saya sebagai seorang imam. Selibatlah yang membedakan saya dengan awam atau mereka yang menikah.
Ketiga, tips yang saya buat yakni berpikir positif tentang segala sesuatu termasuk hal-hal yang mengganggu selibat, dan kalau ada gangguan dipositifin saja. Bagi saya berpikir positif merupakan sebuah jalan keluar yang baik ketika berhadapan dengan pelbagai tantangan dan persoalan berkaitan dengan selibat.

P. Bonefasius Boro Bin Ola, Pr[2]
Pertama, Selibat selain pengertian teknis Gereja menurut saya selibat juga sebagai sebuah pengorbanan dari kita yang menerima rahmat imamat untuk satu yang luhur yakni melayani Allah dengan sepenuh hati. Selibat mewakili sekian banyak hal yang bisa kita korbankan untuk karya pelayanan. Tentu selibat bukan hal yang sekedar tidak kawin tetapi lebih dari itu sebuah doa yang harus terus dihidupi demi sebuah hubungan yang dekat dan intim dengan Tuhan sendiri.
Kedua, Dalam tugas dan perutusan yang menuntut kepenuhan dalam pelayanan (totalitas) selibat menjadi rahmat yang bekerja luar biasa. Kita bisa bekerja all out tanpa berpikir hal-hal lain yang pada umumnya dipikirkan seorang yang tidak selibat. Kita tidak terikat, tidak menjadi canggung atau alasan lainnya. Ini secara praktis. Secara rohani, dalam menjalankan tugas imamat, akan terasa berbeda antara lain saat buat misa, melayani tobat, perminyakan dan lain-lain. Kita merasa lebih tenang, lebih yakin pada tindakan kita, walaupun kita termasuk juga orang berdosa, tapi rahmat itu memberi daya pada pelayanan.
Ketiga, bekerja dengan serius dan berusaha total dalam tugas,[3] hidup, doa yang sederhana dan tekun, Ekaristi, doa pribadi, meringankan beban pikiran supaya tidak tergoda dan mencari kompensasi. Kalaupun kompensasi, yang olahraga, berkebun, beternak, pokoknya yang tidak mengancam selibat. Berteman secara positif, membangun persahabatan imamat dan tentu saja berusaha selalu sadar, siapa saya dan martabat apa yang melekat pada saya serta konsekwensinya dengan cara tulis di pintu “bangga sebagai imam

P. Rafael Sambe, Pr[4]
Pertama, dalam arti sempit, bagi saya selibat artinya tidak menikah. Namun demikian, dalam arti yang lebih mendalam, selibat bagi saya merupakan suatu usaha untuk memaknai sakramen imamat yakni memberi diri secara utuh, total dan menyeluruh bagi pelayanan,[5] untuk pergi ke seluruh dunia memberitakan Kabar Gembira Tuhan dengan bebas tanpa ikatan ataupun halangan.
Kedua, Bagi saya selibat sangat bernilai. Selibat adalah pemberian diri yang total, utuh dan menyeluruh. Dengan pemahaman ini, akan memudahkan saya untuk melayani tanpa pamrih dan ini membahagiakan saya. Artinya saya merasa bahagia ketika saya melayani tanpa pamrih. Banyak orang yang melayani dengan memperhitungkan balas jasa. Inilah prinsip umum yang berlaku pada dunia sekarang ini. Namun demikian, sebagai seorang imam, saya melayani dengan hati, dengan kasih tanpa balasan. Dan ketika saya melayani dengan tanpa pamrih, maka saya merasa bahagia dan di sinilah letak perbedaan antara saya yang adalah seorang imam dan yang lain, yang bukan imam.
Ketiga, bagi saya untuk mempertahankan selibat itu berarti mengetahui paham atau konsep selibat. Konsep saya tentang selibat yakni permanen atau tetap, seumur hidup. Konsep ini  harus terus menerus direnungkan dan direfleksikan. Karena pada dasarnya, saya adalah seorang manusia lemah. Saya sudah menjadi imam selama delapan tahun. Konsep selibat sebagai kontrak seumur hidup sangat membantu dan mengingatkan saya ketika berhadapan dengan pelbagai tantangan dan kesulitan di medan pastoral baik dari dalam diri maupun dari umat. Dari dalam diri misalnya kejenuhan berhadapan dengan umat dan medan pastoral yang menantang. Dari luar diri misalnya tantangan dan persoalan dari umat, kritikan atas kebijakan dan persoalan lainnya. Dan bila konsep tentang selibat tidak direfleksikan maka akan dengan mudah mencari hiburan seksual kendati hanya sesaat. Saya merasa bersyukur bahwa sudah delapan tahun dan bila dikalikan 365 hari, maka menjadi akan menjadi ribuan hari, saya masih dapat mempertahankan selibat dan masih selalu merefleksikannya secara kontinyu dan berkesinambungan.

Selibat: Sebuah  hasil diskusi di ruang kuliah
Dalam diskusi tentang Selibat para Imam di ruang kuliah maior II, terungkap hal-hal berikut ini. Berhadapan dengan pertanyaan, pertama “Apa itu selibat? Selibat adalah sebuah panggilan dan Penyerahan diri secara bebas kepada Tuhan untuk hidup murni. Kedua, pengalaman yang menunjukkan bahwa selibat itu merupakan sesuatu yang membahagiakan? Ketika mampu mencintai Tuhan dan sesama dengan bebas tanpa ada ikatan dan belenggu. Ketika menyerahkan diri secara total dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Ketiga, tips untuk mempertahankan selibat yakni Doa (Meditatasi, Kontemplasi dan Ekaristi), Disiplin, Shering dalam kolegialitas,  Olahraga dan Kerja.

Selibat: Sebuah Perbandingan antara Hasil Wawancara dan Diskusi di ruang kuliah
Pertama, Selibat para pastor yang kami wawancarai adalah selibat yang sudah dihidupi dan sementara diperjuangkan. Mereka mengalami bahwa selibat merupakan sebuah rahmat dan tanggungjawab serta  sebuah usaha untuk memaknai pemberian diri mereka yang total kepada rencana dan  kehendak  Allah. Dalam pengertian ini, selibat merupakan sebuah pengorbanan dan sebuah doa berisi ungkapan keintiman relasi dengan Tuhan. Konsep selibat yang mereka miliki adalah juga konsep dan makna selibat yang ditemukan dalam diskusi para frater yang sedang berusaha untuk menggapai imamat dan akan menjalankan selibat. Kedua, pengalaman dihargai dan pelayanan tanpa pamrih merupakan moment yang membahagiakan dan saat yang paling berharga  dalam penghayatan selibat. Inilah barangkali wujud konkrit dari usaha mencintai yang ditemukan dalam diskusi kelompok. Mencintai dengan bebas tanpa ikatan dan belenggu. Ketiga, Konsep tentang selibat harus senantiasa dibaharui dan direfleksikan setiap hari terlebih ketika berhadapan dengan pergumulan dan tantangan baik dari dalam maupun dari luar diri. Tips lain untuk mempertahankan selibat yaitu berpikir positif tentang segala sesuatu termasuk godaan yang datang. Kedua masukan ini sedikit berbeda dengan yang ditemukan dalam diskusi yakni doa, shering dengan sesama kolega, kerja, olaharaga dan hidup displin.

Selibat: Sebuah proposisi dan iklan
Setelah membaca konsep selibat hasil wawancara dan diskusi, ijinkan saya untuk mendefenisikan selibat. “Selibat adalah adalah rahmat dan tanggungjawab yang diberikan Tuhan kepada para imam untuk melayani Dia dan sesama dengan bebas”
“Layanilah Tuhan dengan SelibatmuInilah cuplikan iklan yang saya tawarkan untuk  para imam dan awam yang sedang dan hendak bekerja melayani Tuhan dan sesama.

Selibatku: Sebuah Refleksi dan Usaha Mempertahankannya
Bagiku, selibat merupakan sebuah anugerah dan panggilan yang patut disyukuri dan dijalani dengan penuh kegembiraan.[6] Rasa syukur dan sukacita dengan selibat merupakan modal dasar sehingga tidak putus asa bila berhadapan dengan kesulitan dan tantangan di medan pastoral. Lebih dari itu, sebagai calon imam, selibat merupakan identitas saya. Selibatlah yang membedakan saya dengan kaum awam yang menikah atau berkeluarga. Ada beberapa kiat untuk mempertahankan selibat: pertama, Doa Pribadi dan Ekaristi. Kedua, Relasi yang sehat dengan sesama selibater, umat awam umumnya dan lawan jenis, khususnya.[7] Ketiga: kerja, olahraga, dan rekreasi yang teratur.  Ketiga hal di atas merupakan suatu penjabaran dari sebuah kata yang sarat makna yakni “disiplin”. Disiplin yang kami maksudkan di sini adalah disiplin dalam berpikir, hidup rohani, relasi yang sehat  dengan sesama serta disiplin dalam hidup dan karya.
Penutup
            Dengan memahami arti selibat  secara baik, seseorang dapat dibantu untuk menjaga dan mempertahankannya sebagai sebuah korban bagi Tuhan demi pelayanan kepada sesama. Niat dan semangat untuk senantiasa merefleksikan selibat sebagai sebuah pemberian ini pada gilirannya akan memacuh kaum selibater untuk membiasakan diri berpikir positif tentang selibatnya, berkarya lebih leluasa dan total serta senantiasa berpasrah pada Tuhan dalam doa dan Ekaristi.  










[1] P. Gusti adalah seorang Imam Projo Keuskupan Ruteng dan bertugas di Seminari Menengah Yohanes Paus Paulus II Labuan Bajo-Manggarai Barat- Flores. Beliau adalah imam muda dengan usia imamat satu tahun empat bulan.
[2] P. Boni adalah imam Projo Keuskupan Manado. Beliau sekarang bekerja sebagai Pastor Mahasiswa di Universitas De La Salle Manado.
[3] Hal ini juga diungkapkan oleh P. Hans Krawain (seorang imam Projo Keuskupan Amboina yang sedang bertugas di Puspaskup Keuskupan Amboina)
[4] Imam Projo Keuskupan Ruteng dan bertugas sebagai Pastor Paroki Sok Rutung-Labuan Bajo-Manggarai Barat, Flores. Usia imamat beliu yakni delapan tahun.Wilayah Pastoral beliau cukup luas dengan medan yang cukup menantang. Jalan raya beraspal masih berada dalam mimpi panjang dan yang ada hanya jalan batu untuk sebagian kecil stasi dan selebihnya jalan tanah yang hanya dapat dilewati kendaraan pada musim kemerau. PLN belum ada dan disiasati dengan Genset dan hanya dinyalakan kalau saja bahan bahan tersedia dan batas jam 23.00 malam.
[5] Hal senada diungkapkan oleh P. Hans Krawain dalam SMS singkatnya “Selibat bagi saya adalah suatu penyerahan diri kepada Tuhan melalui hidup bertarak untuk melayani sesama  manusia
[6] Bdk. Paul Suparno, Saat Jubah Bikin Gerah (Jakarta: Kanisius, 2007), hlm.13-22.
[7] Paul Suparno menyebut 7 syarat agar persahabatan jadi murni: Pertama, kematangan psikologis dan spiritual. Kedua,persahabatan manusiawi perlu diintegrasikan dengan cinta Kristiani. Ketiga,  doa dalam persahabatan. Keempat, relasi yang tidak saling ketergantungan. Kelima, menghindari rasa ingin memiliki. Keenam, motivasi persahabatan harus selalu diperbaharui, dan diluruskan. Ketuju, ciri persahabatan yakni kegembiraan dan kebahagiaan sejati. (Paul Suparno, Saat Jubah Bikin Gerah, hlm.29-31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar