SELIBAT PARA
IMAM
(Sebuah Rangkuman Hasil Wawancara tentang
Selibat Para Imam)
Oleh: Vitalis Letsoin
Untuk mengetahui makna selibat
bagi para imam, kami mengadakan wawancara dengan tiga pertanyaan sentral:
Pertama, apa arti selibat bagi Pastor? Kedua, kapan Pastor mengalami bahwa
selibat itu merupakan sesuatu yang istimewa? Ketiga, apa saja tips atau
langkah-langkah konkrit yang biasa dibuat agar selibat dihayati secara optimal?
Ada
delapan orang imam yang saya hubungi lewat handpon, diantaranya dua orang imam
Projo Ruteng - Flores, dua imam projo Sintang – Kalimantan, tiga imam projo
Amboina dan seorang imam projo Manado. Namun, hanya dua imam projo Ruteng, satu
Projo Amboina kendati hanya singkat dan pembimbing rohaniku, P. Boni bin OIla,
Pr yang bersedia mensheringkan pemahaman serta tips mempertahankan selibat. Muda-mudahan
ini mewakili empat orang imamnya lainnya yang belum berhasil diwawancarai.
Selibat:
Sebuah Wawancara dengan para Pastor
P. Gusti, Pr [1]
Pertama, Selibat bagi
saya adalah Rahmat dan Tanggungjawab. Saya menyadari bahwa selibat merupakan
rahmat yang saya terima dari Allah. Ramhat ini menuntut pertangungjawaban yakni
pelayanan kepada sesama.
Kedua, dengan Imamat
saya dihargai, dan mutu kehidupan imamat ada dalam selibat. Bagi saya setiap
kali saya dihargai sebagai seorang imam saya merasa bahagia. Kebahagiaan saya
terletak pada selibat yang menjadi hakikat dan jati diri saya sebagai seorang imam. Selibatlah
yang membedakan saya dengan awam atau mereka yang menikah.
Ketiga, tips yang saya
buat yakni berpikir positif tentang segala sesuatu termasuk hal-hal yang mengganggu
selibat, dan kalau ada gangguan dipositifin saja. Bagi saya berpikir positif
merupakan sebuah jalan keluar yang baik ketika berhadapan dengan pelbagai
tantangan dan persoalan berkaitan dengan selibat.
P.
Bonefasius Boro Bin Ola, Pr[2]
Pertama, Selibat selain
pengertian teknis Gereja menurut saya selibat juga sebagai sebuah pengorbanan
dari kita yang menerima rahmat imamat untuk satu yang luhur yakni melayani
Allah dengan sepenuh hati. Selibat mewakili sekian banyak hal yang bisa kita
korbankan untuk karya pelayanan. Tentu selibat bukan hal yang sekedar tidak
kawin tetapi lebih dari itu sebuah doa yang harus terus dihidupi demi sebuah
hubungan yang dekat dan intim dengan Tuhan sendiri.
Kedua, Dalam tugas
dan perutusan yang menuntut kepenuhan dalam pelayanan (totalitas) selibat
menjadi rahmat yang bekerja luar biasa. Kita bisa bekerja all out tanpa berpikir hal-hal lain yang pada umumnya dipikirkan
seorang yang tidak selibat. Kita tidak terikat, tidak menjadi canggung atau alasan
lainnya. Ini secara praktis. Secara rohani, dalam menjalankan tugas imamat,
akan terasa berbeda antara lain saat buat misa, melayani tobat, perminyakan dan
lain-lain. Kita merasa lebih tenang, lebih yakin pada tindakan kita, walaupun
kita termasuk juga orang berdosa, tapi rahmat itu memberi daya pada pelayanan.
Ketiga, bekerja dengan
serius dan berusaha total dalam tugas,[3]
hidup, doa yang sederhana dan tekun, Ekaristi, doa pribadi, meringankan beban
pikiran supaya tidak tergoda dan mencari kompensasi. Kalaupun kompensasi, yang
olahraga, berkebun, beternak, pokoknya yang tidak mengancam selibat. Berteman
secara positif, membangun persahabatan imamat dan tentu saja berusaha selalu
sadar, siapa saya dan martabat apa yang melekat pada saya serta konsekwensinya
dengan cara tulis di pintu “bangga
sebagai imam”
P.
Rafael Sambe, Pr[4]
Pertama, dalam arti
sempit, bagi saya selibat artinya tidak menikah. Namun demikian, dalam arti
yang lebih mendalam, selibat bagi saya merupakan suatu usaha untuk memaknai
sakramen imamat yakni memberi diri secara utuh, total dan menyeluruh bagi
pelayanan,[5]
untuk pergi ke seluruh dunia memberitakan Kabar Gembira Tuhan dengan bebas
tanpa ikatan ataupun halangan.
Kedua, Bagi saya
selibat sangat bernilai. Selibat adalah pemberian diri yang total, utuh dan menyeluruh.
Dengan pemahaman ini, akan memudahkan saya untuk melayani tanpa pamrih dan ini
membahagiakan saya. Artinya saya merasa bahagia ketika saya melayani tanpa
pamrih. Banyak orang yang melayani dengan memperhitungkan balas jasa. Inilah
prinsip umum yang berlaku pada dunia sekarang ini. Namun demikian, sebagai
seorang imam, saya melayani dengan hati, dengan kasih tanpa balasan. Dan ketika
saya melayani dengan tanpa pamrih, maka saya merasa bahagia dan di sinilah
letak perbedaan antara saya yang adalah seorang imam dan yang lain, yang bukan
imam.
Ketiga, bagi saya
untuk mempertahankan selibat itu berarti mengetahui paham atau konsep selibat.
Konsep saya tentang selibat yakni permanen atau tetap, seumur hidup. Konsep
ini harus terus menerus direnungkan dan
direfleksikan. Karena pada dasarnya, saya adalah seorang manusia lemah. Saya
sudah menjadi imam selama delapan tahun. Konsep selibat sebagai kontrak seumur
hidup sangat membantu dan mengingatkan saya ketika berhadapan dengan pelbagai
tantangan dan kesulitan di medan pastoral baik dari dalam diri maupun dari
umat. Dari dalam diri misalnya kejenuhan berhadapan dengan umat dan medan
pastoral yang menantang. Dari luar diri misalnya tantangan dan persoalan dari
umat, kritikan atas kebijakan dan persoalan lainnya. Dan bila konsep tentang
selibat tidak direfleksikan maka akan dengan mudah mencari hiburan seksual
kendati hanya sesaat. Saya merasa bersyukur bahwa sudah delapan tahun dan bila
dikalikan 365 hari, maka menjadi akan menjadi ribuan hari, saya masih dapat
mempertahankan selibat dan masih selalu merefleksikannya secara kontinyu dan
berkesinambungan.
Selibat:
Sebuah hasil diskusi di ruang kuliah
Dalam diskusi tentang Selibat
para Imam di ruang kuliah maior II, terungkap hal-hal berikut ini. Berhadapan
dengan pertanyaan, pertama “Apa itu
selibat? Selibat adalah sebuah
panggilan dan Penyerahan diri secara bebas kepada Tuhan untuk hidup murni. Kedua, pengalaman yang menunjukkan
bahwa selibat itu merupakan sesuatu yang membahagiakan? Ketika mampu mencintai
Tuhan dan sesama dengan bebas tanpa ada ikatan dan belenggu. Ketika menyerahkan
diri secara total dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Ketiga, tips untuk
mempertahankan selibat yakni Doa (Meditatasi,
Kontemplasi dan Ekaristi), Disiplin, Shering dalam kolegialitas, Olahraga dan Kerja.
Selibat:
Sebuah Perbandingan antara Hasil Wawancara dan Diskusi di ruang kuliah
Pertama, Selibat para
pastor yang kami wawancarai adalah selibat yang sudah dihidupi dan sementara
diperjuangkan. Mereka mengalami bahwa selibat merupakan sebuah rahmat dan
tanggungjawab serta sebuah usaha untuk
memaknai pemberian diri mereka yang total kepada rencana dan kehendak Allah. Dalam pengertian ini, selibat merupakan
sebuah pengorbanan dan sebuah doa berisi ungkapan keintiman relasi dengan
Tuhan. Konsep selibat yang mereka miliki adalah juga konsep dan makna selibat
yang ditemukan dalam diskusi para frater yang sedang berusaha untuk menggapai
imamat dan akan menjalankan selibat. Kedua,
pengalaman dihargai dan pelayanan tanpa pamrih merupakan moment yang
membahagiakan dan saat yang paling berharga
dalam penghayatan selibat. Inilah barangkali wujud konkrit dari usaha
mencintai yang ditemukan dalam diskusi kelompok. Mencintai dengan bebas tanpa
ikatan dan belenggu. Ketiga, Konsep
tentang selibat harus senantiasa dibaharui dan direfleksikan setiap hari
terlebih ketika berhadapan dengan pergumulan dan tantangan baik dari dalam
maupun dari luar diri. Tips lain untuk mempertahankan selibat yaitu berpikir
positif tentang segala sesuatu termasuk godaan yang datang. Kedua masukan ini
sedikit berbeda dengan yang ditemukan dalam diskusi yakni doa, shering dengan
sesama kolega, kerja, olaharaga dan hidup displin.
Selibat:
Sebuah proposisi dan iklan
Setelah membaca konsep selibat
hasil wawancara dan diskusi, ijinkan saya untuk mendefenisikan selibat.
“Selibat adalah adalah rahmat dan tanggungjawab yang diberikan Tuhan kepada
para imam untuk melayani Dia dan sesama dengan bebas”
“Layanilah Tuhan dengan Selibatmu” Inilah cuplikan iklan yang saya tawarkan untuk para imam dan awam yang sedang dan hendak
bekerja melayani Tuhan dan sesama.
Selibatku:
Sebuah Refleksi dan Usaha Mempertahankannya
Bagiku, selibat
merupakan sebuah anugerah dan panggilan yang patut disyukuri dan dijalani
dengan penuh kegembiraan.[6]
Rasa syukur dan sukacita dengan selibat merupakan modal dasar sehingga tidak
putus asa bila berhadapan dengan kesulitan dan tantangan di medan pastoral. Lebih
dari itu, sebagai calon imam, selibat merupakan identitas saya. Selibatlah yang
membedakan saya dengan kaum awam yang menikah atau berkeluarga. Ada beberapa
kiat untuk mempertahankan selibat: pertama,
Doa Pribadi dan Ekaristi. Kedua,
Relasi yang sehat dengan sesama selibater, umat awam umumnya dan lawan jenis,
khususnya.[7]
Ketiga: kerja, olahraga, dan rekreasi
yang teratur. Ketiga hal di atas
merupakan suatu penjabaran dari sebuah kata yang sarat makna yakni “disiplin”. Disiplin yang kami maksudkan
di sini adalah disiplin dalam berpikir, hidup rohani, relasi yang sehat dengan sesama serta disiplin dalam hidup dan
karya.
Penutup
Dengan memahami arti selibat secara baik, seseorang dapat dibantu untuk
menjaga dan mempertahankannya sebagai sebuah korban bagi Tuhan demi pelayanan
kepada sesama. Niat dan semangat untuk senantiasa merefleksikan selibat sebagai
sebuah pemberian ini pada gilirannya akan memacuh kaum selibater untuk
membiasakan diri berpikir positif tentang selibatnya, berkarya lebih leluasa dan total serta
senantiasa berpasrah pada Tuhan dalam doa dan Ekaristi.
[1] P. Gusti adalah seorang Imam
Projo Keuskupan Ruteng dan bertugas di Seminari Menengah Yohanes Paus Paulus II
Labuan Bajo-Manggarai Barat- Flores. Beliau adalah imam muda dengan usia imamat
satu tahun empat bulan.
[2] P. Boni adalah imam Projo
Keuskupan Manado. Beliau sekarang bekerja sebagai Pastor Mahasiswa di
Universitas De La Salle Manado.
[3] Hal ini juga diungkapkan oleh P.
Hans Krawain (seorang imam Projo Keuskupan Amboina yang sedang bertugas di
Puspaskup Keuskupan Amboina)
[4] Imam Projo Keuskupan Ruteng dan
bertugas sebagai Pastor Paroki Sok Rutung-Labuan Bajo-Manggarai Barat, Flores.
Usia imamat beliu yakni delapan tahun.Wilayah Pastoral beliau cukup luas dengan
medan yang cukup menantang. Jalan raya beraspal masih berada dalam mimpi
panjang dan yang ada hanya jalan batu untuk sebagian kecil stasi dan selebihnya
jalan tanah yang hanya dapat dilewati kendaraan pada musim kemerau. PLN belum
ada dan disiasati dengan Genset dan hanya dinyalakan kalau saja bahan bahan
tersedia dan batas jam 23.00 malam.
[5] Hal senada diungkapkan oleh P.
Hans Krawain dalam SMS singkatnya “Selibat bagi saya adalah suatu penyerahan
diri kepada Tuhan melalui hidup bertarak untuk melayani sesama manusia”
[6] Bdk. Paul Suparno, Saat Jubah Bikin Gerah (Jakarta:
Kanisius, 2007), hlm.13-22.
[7] Paul Suparno menyebut 7 syarat
agar persahabatan jadi murni: Pertama,
kematangan psikologis dan spiritual. Kedua,persahabatan
manusiawi perlu diintegrasikan dengan cinta Kristiani. Ketiga, doa dalam
persahabatan. Keempat, relasi yang tidak saling ketergantungan. Kelima,
menghindari rasa ingin memiliki. Keenam, motivasi persahabatan harus selalu
diperbaharui, dan diluruskan. Ketuju, ciri persahabatan yakni kegembiraan dan
kebahagiaan sejati. (Paul Suparno, Saat
Jubah Bikin Gerah, hlm.29-31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar