Rabu, 08 Februari 2012

SENI SUCI LITURGI

BAB II
SENI SUCI LITURGI
Oleh: Sandro Letsoin
II.1. Memahami Liturgi Sebagai Karya Keselamatan Dalam Bentuk Simbol/Tanda
II.1.1. Pemahaman Liturgi Sebagai Karya Keselamatan
            Kata karya secara etimologis berarti kerja, pekerjaan, buatan (hasil perbuatan), ciptaan (lebih pada hasil karangan).[1] Berdasarkan pada arti etimologis, kata karya secara eksplisi hendak merujuk pada perbuatan manusia. Dalam konteks kata karya dengan perbuatan manusia, kemudian digabungkan menjadi kata karyawan/ti. Akan tetapi, secara implisit, dalam konteks karya keselamatan, kata karya sebenarnya merujuk pada perbuatan Allah sendiri sebagai Pencipta. Dengan kata lain, kata kerja dimaksudkan sebagai kerja, pekerjaan, hasil perbuatan/ciptaan Allah sendiri.
Sedangkan kata keselamatan secara etimologis berarti terhindar dari bencana, bahaya, aman sentosa, sejahtera tidak kurang sesuatu pun, sehat, tidak mendapat gangguan, kerusakan, tercapai maksudnya, tidak gagal dan sebagainya.[2] Dalam konteks teologi Kristen, keselamatan bukan hanya dipahami secara profan melainkan dari sudut pandang religius kekristenan. Maksudnya bahwa keselamatan bukan hanya dimengerti sebagai keselamatan duniawi semata, tetapi lebih dimengerti sebagai keselamatan surgawi (keselamatan eskatologis).[3] Dalam konteks ini, keselamatan mendapat maknanya bagi manusia beriman sebagai sebuah kebutuhan dasar dalam ziarah hidupnya di dunia (keselamatan duniawi) menuju pada Allah sendiri (keselamatan surgawi/eskatologis). Sehingga perlu ditegaskan bahwa manusia amat perlu mengejar dan mengusahakan keselamatan duaniawi sejalan dengan keselamatan surgawi/eskatologis kelak dalam kesatuan dan kerja sama dengan Allah (bdk. Kej 49:18; Ezr 8:22; Mzm 9:15). Hal ini ditegaskan karena keselamatan itu bersumber dari Allah sendiri.
Kenyataan teologis dimaksud hendak mengungkapkan bahwa Allah memulai karya keselamatan-Nya yang kemudian berlangsung dalam diri Putra-Nya dan diteruskan di dalam gereja-Nya. Dengan demikian, nyata bahwa tugas gereja sangat jelas untuk meneruskan karya keselamatan Allah yang berpuncak pada diri Yesus Putera-Nya melalui liturgi pun tradisi gereja. Sehubungan dengan tugas gereja yang mulia ini, pada dasarnya tidak lain dari pada menghayati dan mengamalkan hakikatnya sebagai suatu tanda misteri penyelamatan Allah.[4] Dengan kata lain, gereja menjadi tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan dalam kesatuan dengan seluruh umat manusia. Meskipun demikian, gereja tidak bekerja sendirian, tetapi dinaungi oleh Roh Kudus-Nya. Dan dalam naungan Roh Kudus, Kristus sendiri hadir sebagai kepala Gereja. Dengan demikian, dikatakan bahwa gereja adalah sakramen keselamatan merangkum umat Allah agar bersatu padu menjadi satu Tubuh Kritus serentak dibangun menjadi satu kenisah Roh Kudus.
Pemahaman yang diungkapkan memberi konteks sekaligus pendasaran untuk memahami dan mengkaji Liturgi Sebagai Karya Keselamatan Dalam Bentuk Simbol/Tanda.
II.1.2. Keselamatan Liturgis: Keselamatan dalam bentuk simbol/Tanda
II.1.2.1. Pemahaman Tentang Simbol/Tanda
Istilah simbol berasal dari kata Yunani “ symbalein” (syn-bolein), yang berarti menghubungkan kembali, mempersatukan kembali dan menjadi tanda pengenalan kembali. Istilah simbol yang diuraikan terletak pada kenyataan bahwa ia menggunakan suatu kebenaran yang tersembunyi. Ia mewakili suatu realitas spritual. Dengan kata lain, simbol merupakan tanda yang menyatakan suatu kebenaran yang tidak nampak. Berdasarkan pada pengertian di atas dapat dilihat dan dikatakan bahwa simbol dan tanda tidak dapat dipisahkan, sebab dalam simbol terkandung unsur tanda dan sebaliknya dalam tanda ada simbol.
Werner Jetter, dalam pembahasannya tentang tanda dan simbol, mengatakan bahwa sulit sekali membedakan tanda dari simbol, sebab di satu pihak simbol termasuk keluarga besar tanda, dan di lain pihak karena ia memiliki terlalu banyak arti, sesuai dengan pengalaman manusia yang hidup dalam lingkup waktu yang berbeda-beda. Walaupun tidak dapat dipisahkan antara pengertian simbol dan tanda, tetapi barangkali kita dapat melihat beberapa definisi yang secara eksplisit diungkapkan dalam Kitab Suci pun yang diberikan oleh para Bapa Gereja.
II.1.2.1.1. Berdasarkan Kitab Suci
Secara eksplisit, arti simbol/tanda memperoleh pemahamannya dalam Kitab Suci. Dalam Injil Sinoptik (pandangan St. Markus, Lukas, dan Matius), pengertian simbol diringkaskan dengan istilah “Misteri Kerajaan Allah”: kepadamu telah diberikan misteri Kerajaan Allah, tetapi kepada orang luar, segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan (Mrk. 4:11). Bagi Markus, Kerajaan Allah merupakan satu rahasia  (misteri), yang tersembunyi dalam Allah dan hanya dapat dinyatakan kepada sekelompok kecil orang yang percaya (Luk. 12:32). Bagi orang-orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok ini, dinyatakan dalam bentuk perumpamaan yakni dalam bentuk simbol atau gambaran-gambaran, tanda, dan analogi[5].
II.1.2.1.2. Pandangan Para Bapa Gereja
Dalam teologi Origenes (184/185-253/254), melihat tanda sebagai suatu yang bukan saja dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, melainkan juga yang dapat menyatakan atau menunjuk ke pada sesuatu yang lain. Demikian juga St. Agustinus (354-430), menyatakan bahwa tanda adalah sesuatu yang bukan saja dapat diterima oleh pancaindera manusia, melainkan juga yang mewakili sesuatu yang lain. Bertitik tolak dari kedua pandangan ini, St. Thomas Aquinas (1225-1274) mengartikan tanda sebagai sarana yang menyatakan, menunjukkan atau yang mewakili sesuatu yang lain. Ketiga pandangan ini sama, yaitu menunjuk kepada sesuatu yang lain. Maka disimpulkan bahwa semua tanda mempunyai sifat sebagai juru tunjuk, sebagai pewarta dan pembawa kabar. Dengan kata lain, tanda merupakan sarana atau pengantara yang mewakili sesuatu yang lain, dan mempunyai fungsi mengajar.
            Pada zaman para Bapa Gereja, pengakuan iman yang diucapkan oleh calon baptis disebut simbol iman (symbolum Fidei). Disebut simbol iman, sebab merupakan pernyataan keyakinan akan kebenaran yang telah diringkaskan menjadi ajaran-ajaran Kristen yang pokok[6]. Pandangan para Bapa Gereja tentang simbol yang dikatakan lebih dilihat sebagai sakramen keselamatan. Jadi, sakramen-sakramen yang dirayakan oleh Gereja merupakan simbol/tanda keselamatan yang dirayakan oleh Gereja. St. Agustinus memberi pandangan bahwa sakramen tidak lain adalah simbol/tanda alamiah yang mengungkapkan sesuatu yang religius (rohani, suci). Pandangan ini memungkinkan bahwa semua unsur dalam sakramen direduksi dari simbol/tanda alamiah sebagai tanda kehadiran dan ungkapan iman manusia.
Secara khusus tujuh sakramen yang kita kenal dalam liturgi, diambil dari unsur alamiah sebagai tanda ungakapan iman. Misalnya: dalam sakramen Pembaptisan, air sebagai simbol/tanda penerimaan anggota baru menjadi anggota Kristus dan Gereja dan simbol/tanda pembersihan dari dosa asal dan dosa pribadi. Dalam sakramen Ekaristi, roti dan anggur sebagai simbol/tanda tubuh dan darah Yesus: makanan dan minuman rohani.[7]
Pemahaman tentang simbol/tanda yang diutarakan dengan jelas mengungkapkan bahwa simbol/tanda mempunyai karakteristik yang khas sebagai pengungkapan sesuatu nilai atau makna yang jauh melampaui simbol/tanda alamiah yang dipakai/digunakan.
II.1.2.2. Sifat Khas Simbol
Simbol/tanda mempunyai sifat yang khas untuk mengungkapkan serta menerangkan sesuatu yang lain. Kekhasan tentang simbol dapat diutarakan berdasarkan beberapa sifat simbol, antara lain:[8]
  1. Simbol/Tanda bersifat Ekspresif dan Reperesentatif
Arti simbol/tanda bukan terletak dalam dirinya, melainkan mewakili sesuatu yang ada di luar dirinya. Ia menjadi jembatan yang menghubungi dunia masa kini dan dunia yang akan datang. Ia mengungkapkan sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan dan yang sulit dikatakan. Agama Kristen mengenal matahari sebagai simbol untuk Kristus (Mat. 4:2; Luk. 1:28)[9]. Pesan yang mau disampaikan ialah bahwa seperti matahari menyinari, menerangi dan memberi hidup kepada semua makhluk, demikian juga Kristus dengan terang Sabda-Nya memberi hidup dan menerangi semua orang.
  1. Simbol mewakili banyak macam gagasan
Simbol mengungkapkan lebih dari satu arti atau gagasan atau pesan. Demikian dalam agama Kristen, salib mengungkapkan banyak hal dan makna tentang iman Kristen kepada Kristus.
  1. Simbol berbicara kepada seluruh pribadi manusia
Simbol bukan saja menyentuh daya pikir manusia. Ia berbicara juga kepada pancaindera, pengalaman dan perasaan manusia. Ia menimbulkan kembali kenangan akan pengalaman dan peristiwa masa lampau, memberikan semangat dan kemantapan kepada pribadi serta membuat manusia mampu dan pasrah dalam tindakan. Atas beberapa sifat ini, maka simbol banyak sekali dipakai dalam kesenian dan kesusasteraan (gambaran, metafora tentang ikon-ikon dan gambar-gambar suci).
  1. Simbol lahir dari suatu situasi historis
Simbol itu tumbuh dari persekutuan dan berkembang demi persekutuan. Ia tumbuh dan berkembang dari suatu lingkungan tertentu. Oleh karena lingkungan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman, maka simbol pun turut berubah. “Ichtys” berarti ikan dalam bahasan Yunani, bagi umat Kristen dari abad II yang mengalami penganiayaan, istilah itu merupakan huruf pertama kata Yunani: Jesous Christos Theou Hyos Soter, yang berarti Yesus Kristus Putera Allah Penebus. Istilah ini muncul dalam suatu situasi historis yaitu masa penganiayaan.
  1. Simbol mengungkapkan sesuatu yang rahasia
Sesuatu yang rahasia seperti sesuatu yang tersembunyi, simbol mengungkapkan sesuatu yang tak terselami menjadi dapat dikenal, wujud yang tidak kelihatan (misteri Allah) menjadi kelihatan. Sesuatu disembunyikan, oleh simbol sebagai suatu realitas yang belum diketahui coba dijelaskan melalui suatu lambang yang kira-kira mempunyai sifat yang sama. Jadi tidak menyingkapkan secara sempurna hakekat yang sebenarnya dari sesuatu. Misalnya cinta Yesus terhadap Gereja, yakni cinta yang tanpa batas. Simbol menimbulkan harapan untuk menikmati secara penuh realitas yang ditandakan. Oleh karena simbol pada saat yang sama menyatakan dan menyembunyikan sesuatu, maka ia pun membangkitkan dalam hati kita harapan dan kerinduan untuk menikmati seluruh realitas. Dalam liturgi, pertemuan kita dengan Allah lewat tanda-tanda membangkitkan harapan untuk bertemu dengan Allah dari muka ke muka.
II.1.3. Liturgi Sebagai Simbol/Tanda Keselamatan
Liturgi merupakan sarana/medium pertemuan antara Allah dan manusia, dan sekaligus pula menjadi sarana yang memungkinkan manusia menyampaikan hormat dan rasa syukurnya kepada Allah serta menemukan keselamatannya. Dalam perayaan liturgi, akan menjadi jelas bagi kita bahwa Allah yang tidak nampak bagi pancaindera kita, dibahasakan dalam bentuk lambang-lambang yang dapat dilihat dengan mata, didengar dengan telinga, dipegang dengan tangan dan dialami dengan seluruh kepribadian.
Melalui air pembaptisan, kita bertemu dengan Yesus Kristus sebagai sumber hidup yang menghidupkan. Melalui roti dan anggur kita bersatu dengan Yesus Kristus sebagai makanan dan minuman, yang menjamin kehidupan ilahi. Melalui Salib, kita bertemu dengan Kristus sebagai penyelamat, yang menderita, wafat dan bangkit. Altar melambangkan Kristus sebagai jantung dan dasar hidup kita. Dalam asap kemenyaan, kita melihat butir-butir doa kita naik menyongsong Allah, dan lain sebagainya.
II.1.3.1. Liturgi sebagai tanda pertemuan dengan Allah dirayakan oleh Gereja sebagai tanda keselamatan
            Liturgi pada dasarnya merupakan sarana/medium pertemuan dengan Allah yang menawarkan keselamatan dan manusia yang menjawab atau menanggapai tawaran Allah. Pertemuan itu dilaksanakan sesuai dengan cara-cara yang bisa dipakai oleh manusia seperti: bahasa, gerak isyarat dan bahan-bahan sakramen. Pertemuan yang dimaksudkan dilangsungkan dalam perayaan Sakramen yang adalah tanda pertemuan antara Allah dengan manusia. Pertemuan ini dibahasakan baik lewat kata-kata, maupun lewat bahan-bahan atau materi yang digunakan dalam liturgi. Tindakan seperti ini, jelas dari sejarah keselamtan telah dipraktekkan. Bahwa Allah bertemu dengan manusia melalui cara-cara yang cocok dengan manusia, maka sakramen merupakan sarana yang digunakan oleh Gereja untuk menjalin relasi dengan Allah. Dengan demikian, liturgi adalah perayaan keselamatan dalam bentuk tanda dan simbol.
Dalam liturgi, tanda yang paling pokok adalah Kristus, yang mana melalui inkarnasi-Nya menyatakan dan memperkenalkan Allah yang tak kelihatan. Yesus menjadi tanda utama karena Ia adalah perwujudan diri Allah bagi manusia. Dalam arti yang lain, Gereja juga adalah tanda/sakramen karena Gereja dapat menandakan kehadiran Kristus dalam umat-Nya. Dari pemahaman ini, liturgi merupakan medan perjumpaan antara Allah dengan manusia. Dengan demikian, maka liturgi merupakan pusat dari perwujudan hakekat Gereja yang hidup. Konsili Suci menekankan akan hal ini:
Liturgi tidak lain adalah perwujudan hakekat Gereja sebagai sakramen keselamatan. Seluruh hidup Gereja berpusat pada perayaan liturgi (SC. No. 10). Dari liturgi, Gereja menerima kekuatan untuk mewartakan Kristus yang wafat dan bangkit serta menguduskan duania. Dalam liturgi, Gereja secara istimewa tampak sebagai sakramen keselamatan. Bila seluruh umat Allah secara aktif dan sadar berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi yang sama, dan bila mereka bersatu dalam doa dan berkumul di sekitar altar yang sama, diketahui oleh Uskup beserta imam-imam dan petugas-petugas liturgi (SC. No. 41).

Dalam liturgi, semua kegiatan atau ekspresi Gereja harus mendukung pengungkapan diri yang otentik. Maksudnya, ekspresi iman dalam liturgi harus mendukung ulah kesalehan umat beriman. Simbol-simbol yang digunakan dalam liturgi harus memiliki daya penghadiran Kristus dalam Gereja-Nya, maka melalui simbol itu ulah kesalehan ditingkatkan, sebab dengannya keselamatan benar-benar dialami Gereja.
           
II.1.3.2. Yesus Sebagai Dasar Segala Simbol
            Ada dua hal yang mau menunjukkan bahwa Yesus sebagai dasar segala simbol dalam liturgi yaitu melalui peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya dan melalui Gereja sebagai sakramen Kristus. Melalui Paskah, Yesus adalah sumber dari segala simbol. Dia menjadi bentuk konkrit dari kehadiran Bapa, cinta kasih Bapa, pelaksanaan rencana keselamatan Bapa dan sekaligus menjadi kepala atas Gereja. Peristiwa Paskah memberikan pengungkapan tentang makna terdalam yang dirayakan Gereja dalam liturgi sebagai kenangan dan penghadiran keselamatan itu. Relasi penyelamatan antara Yesus dengan Bapa, dihubungkan dengan Kosmos dan manusia. Digambarkan bahwa:
Pernyataan diri Allah dalam Putra-Nya Yesus Kristus mencapai titik puncaknya pada misteri Paskah. Di sini Yesus digambarkan sebagai Anak Domba Paskah sejati yang menghapus dosa dunia. Wafat-Nya menghancurkan kematian dan kebangkitan-Nya membangun kembali seluruh alam yang telah runtuh, membuka kembali pintu kehidupan alam yang telah runtuh serta membuka kembali pintu kehidupan baru. Dialah Allah dalam wujud manusia, yang selalu membantu manusia mengatasi kerapuhannya (Mat.9:36), yang menumpahkan darah-Nya di salib, supaya semesta alam mengalami damai sejahtera. Dialah yang membuka rahasia keselamatan dengan gagasan: menjadi besar dan menjadi yang terkecil (Mat. 28: 1-5; Mrk. 9:33-37; Luk 9: 46-48) dan mencapai hidup sejati dengan menyerahkan nyawa-Nya. Dialah jalan yang menghantar manusia kepada Bapa. Dialah kebenaran yang membebaskan kita dari segala belenggu dosa. Dialah pokok kehidupan yang memenuhi hati kita dengan kegembiraan (Yoh. 14:6). Dalam Dia, kita dapat mengenal dan mencintai Allah, seperti yang dialami oleh St. Yohanes (1 Yoh.1:1-3)[10].

Penegasan di atas mau mengungkapkan bahwa Yesus sebagai tanda keselamatan bagi umat manusia, memperoleh makna dan kedudukannya dalam dan melalui relasi Yesus dengan Bapa. Wujud relasi Yesus dan Bapa, terungkap melalui penyerahan diri-Nya secara total bagi keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Penyerahan diri-Nya serentak menunjukkan kesediaan dan kesetiaan Yesus untuk melaksanakan kehendak Bapa-Nya bagi umat manusia.

II.1.3.3. Gereja Sebagai Tanda/Sakramen
Gereja adalah sakramen, karena menjadi tanda bukti kasih Allah terhadap semua orang (LG 1). Yesus Kristus telah mengumpulkan segala manusia dari aneka ragam bahasa dan kebudayaan (Kis. 2:5), supaya mereka bersatu-padu mewujudkan umat Allah yang baru, yakni Gereja. Umat Allah yang baru ini akan mengalami bahwa Yesus hadir dan mendampingi mereka dalam segala perjuangannya sebagai Gereja yang berziarah menuju perjumpaan yang paripurna dengan Allah (Mat. 28:20; Yoh 14:18).
            Kristus hadir dan menyertai umat-Nya dengan hidup terus dalam ajaran-Nya. Ia tetap mendampingi umat-Nya lewat doa, sesuai dengan janji-Nya: Di mana dua atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku, Aku ada di tengah-tengah mereka (Mat. 18:20). Ia hadir dalam sakramen-sakramen, sehingga bila seorang dibaptis, Kristuslah yang membaptis. Ia tetap hadir bersama Gereja melalui Sabda-Nya. Dalam konteks ini, liturgi sebagai pelaksanaan diri Gereja, dirayakanlah sakramen-sakramen sebagai wujud keselamatan dari Allah Tritunggal. Perayaan liturgis merupakan perayaan misteri kehadiran karya keselamatan Allah dalam Kristus. Misteri kehadiran karya keselamatan Allah tersebut berpuncak pada wafat dan kebangkitan Kristus yang kemudian dikenangkan dalam perayaan liturgi. Adapun perayaan pengenangan akan keselamatan menghadirkan keselamatan Allah kini dan di sini.[11] Artinya, Allah yang telah menyelamatkan manusia melalui para nabi, dan yang berpuncak dalam Yesus itu terjadi secara liturgis. Liturgi yang merupakan bentuk kehadiran Allah dalam Yesus kini dan di sini merupakan perayaan keselamatan, selanjutnya menjadi sarana perjumpaan antara Allah dengan manusia. Dengan kata lain, terjadi komunikasi antara Allah dengan manusia yang berlangsung melalui Kristus dalam Roh Kudus di dalam Gereja-Nya. Selain memberikan daya guna bagi kehadiran kini dan sini serta menjadi sarana perjumpaan bagi manusia kepada Allah, perayaan liturgi juga menjadi sarana pengudusan bagi jemaat yang merayakannya. Pengudusan yang terjadi adalah pengudusan berkat kehadiran Allah dalam Kristus kini dan di sini. Selanjutnya perayaan liturgis, yang menghadirkan Allah dalam Kristus dengan bantuan Roh Kudus dan sekaligus mengalami perjumpaan dan akhirnya mengalami pengudusan bagi manusia yang merayakannya di dalam sejarah. Oleh sebab itu, dalam perayaan liturgi tidak terhindarkan adanya penggunaan simbol-simbol. Bahkan penggunaan simbol justru sangat membantu dalam rangka mengungkapkan misteri keselamatan Allah tersebut dalam rupa perayaan liturgi. Realitas penggunaan simbol itu menjadi penting karena menjadi sarana yang mengena.
II. 2. Seni Suci Liturgi
II.2.1. Pemahaman tentang Seni Liturgi
Seni yang digunakan dalam liturgi disebut juga seni liturgi/seni suci liturgi. Pembahasan dalam bagian ini lebih difokuskan pada semua kegiatan seniman dalam merancang, mengembangkan dan mengkombinasikan semua keahlian artistiknya (cita rasa seni) atas dasar norma liturgi. Seorang seniman membutuhkan korelasi/konseksi dibawa wewenang uskup dan komisi liturgi keuskupan dalam karyanya di gedung interior gereja.
Konsep dasariah yang harus dipahami (baik seniman bersama Uskup/petugas liturgi) adalah seni liturgi dibuat atas dasar iman dan diinspirasikan oleh iman (pake catatan kaki). Tanpa iman tidak ada seni sepadan dengan liturgi. Seni Suci berdiri di bawah imperatif yang tercantum dalam surat kedua kepada jemaat di Korintus: Menatap Tuhan, kita "diubah menjadi serupa dengan-Nya dari satu derajat kemuliaan yang lain, karena ini berasal dari Tuhan yang adalah Roh"(3:18). Manusia sebagai makhluk simbolis, ia menghadirkan kemuliaan Tuhan lewat indera penglihatannya. Ketika ia melihat suatu lukisan atau gambar kudus dalam gereja, pada saat itu jiwanya dipersatukan ke dalam kemuliaan Tuhan. Melalui pemahaman iman, ia menelusurinya, menggambarkannya, dan menangkap realitas Tuhan di balik gambar tersebut. Seni dalam arti ini merupakan ekspresi iman dan inspirasi iman Gereja.
Karya seni yang digunakan dalam liturgi mengandung unsur ekspresi simbolis manusia atas kemahakuasaan Tuhan. Maka, seni liturgi itu menjadi harta rohani Gereja, dipelihara oleh Gereja dan digunakan oleh Gereja untuk pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Seni liturgi tersebut lebih tepatnya disebut suci, karena ia dikuduskan untuk kehormatan dan kemuliaan kepada Allah yang lebih besar. Karena itu, seni suci dalam liturgi mengandung karakter sakramental yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan manusia/umat beriman dalam Inkarnasi dan sekaligus terlibat lebih mendalam atas misteri Keselamatan. Seorang seniman liturgi menciptakan karya seni khusus untuk digunakan dalam liturgi. Ia dapat membantu masyarakat mengembangkan desain liturgis yang tepat serta artistik (cita rasa seni) yang indah. Seni suci yang diciptakan untuk liturgi mengandung martabat yang lebih besar untuk perayaan Misteri Suci dan menginspirasikannya pada hati dan pikirannya.
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa liturgi adalah fokus dari seluruh kegiatan Gereja, dan sumber dari segala kekuatannya (SC. No. 10). Karena Liturgi sangat sentral untuk perjumpaan kita dengan Allah, maka lingkungan seni di mana manusia beraktivitas harus mencerminkan martabat dan kekuatan Sakramen. Seorang seniman liturgi harus memahami kebutuhan ini dan dapat bekerja sama dengan komisi liturgi keuskupan untuk mengembangkan desain dan karya seni yang menampilkan kualitas abadi dan kedalaman spiritual Gereja.
Kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang seniman adalah (pake catatan kaki) pertama, seorang seniman liturgi harus memiliki pemahaman yang mendalam dan komitmen terhadap Liturgi. Ini membutuhkan setidaknya beberapa latar belakang teologis dan sejarah liturgi yang sesuai dengan perkembangan seni suci dalam Gereja. Kedua, seorang seniman liturgi harus menghormati, menghargai dan memahami aspek seni Sakramental sejarah hidup Gereja.
II. 2.2. Perbedaan antara Seni Murni dan Seni Suci Liturgi
Orang sering beranggapan bahwa seni murni (fine art) dan seni liturgi (liturgy art) sama saja. Sebenarnya dua hal ini tidak sama, perbedaan tersebut terletak pada arti dan fungsi keduanya. Fine art berfokus pada proses kreatif dan visi dalam diri seniman (individu). Artinya adalah murni subjektif dan fungsi hanya pada tingkat pribadi dan swasta. Sementara, liturgy art lebih merayakan hubungan antara Allah dan umatNya, serta keterlibatan dinamis antara sakramental yang satu dengan yang lainnya. Hal ini mewujudkan visi umat yang mengarah kepada Allah dan Injil Kehidupan. Atas dasar itu, seni liturgi tidak semena-mena merupakan wujud refleksi dan intuisi seniman individual (sama seperti fine art). Seni liturgi melibatkan seluruh umat dan komunitas-komunitas yang berwenang, agar hasilnya sesuai dengan ungkapan iman bersama.[12]
II.2.3. Pendasaran Biblis tentang Seni Suci
II.2.3.1. Dalam Perjanjian Lama
Bangsa Yahudi tidak dapat melepaskan diri sama sekali dari penggunaan patung dan gambaran Ilahi, meskipun hidup dalam konteks Kitab Suci. Dalam banyak teks Kitab Suci, terutama Perjanjian Lama, ditemukan bentuk-bentuk toleransi dan bahkan penerimaan terhadap penggunaan patung atau gambar Ilahi. Dalam beberapa peristiwa, Tuhan sendiri yang memerintahkan untuk pembuatan patung dan gambar Ilahi (Bdk. Kel. 25:1, 18-20, Kel.37:7-9, Bil.21:8, 1 Raj 6:23-35).
Dalam perjalanan melintasi padang gurun, misalnya: Yahwe memerintahkan untuk membuat Tabut Perjanjian, agar digunakan untuk menempatkan kedua loh batu yang berisi sepuluh perintah Allah. Yahwe memerintahkan untuk membuat dua kerub dari emas, perwujudan dari setengah binatang dan setengah manusia, yang ditempatkan pada tutup Tabut Perjanjian (Kel 25:18). Juga ditambahkan semacam lampu pada Tabut Perjanjian itu (Kel 15:33). Pekerjaan ini bukan inisiatif manusia. Menurut Kitab Suci, Yahwe sendiri memenuhi `seniman' Bezaleel dengan Roh-Nya, dan memberinya pengetahuan serta keahlian untuk membuat patung dan gambar Ilahi.
Dalam bagian lain tentang sejarah Israel, beberapa tokoh suci memakai patung dan gambar Ilahi untuk melaksanakan ibadat tanpa merasa takut. Gideon, salah satu Hakim penting, membuat gambar Yahwe dari anting-anting emas dan barang berharga lainnya (Hak 8:24-28). Mikha, seorang yang sangat beriman kepada Yahwe, membuat efod dan terafim dari perak dan mendirikan kuil untuk menyembah Yahwe (Hak 18:1-31). Bahkan Daud, yang dipilih dan diurapi Yahwe sendiri, mempunyai gambaran Ilahi dalam rumahnya tanpa merasa takut (1Sam19:11-13). Bukan saja itu, dalam Bait Allah sendiri dipenuhi dengan lambang dan patung Ilahi; dimulai dari bagian yang paling kudus, ditempatkan dua kerub dari kayu minyak, bersama-sama dengan Tabut Perjanjian (1Raj 6:23). Bagian dalam kemudian dipenuhi juga dengan gambar kerubim, pohon korma, dan bunga-bunga (1 Raj 6:23). Dan untuk mendukung gambaran air yang menyucikan ditempatkan di pintu masuk Bait Allah, dan dibuatlah 10 kereta penopang dari tembaga (1 Raj 7:27). Singkatnya, gambaran Ilahi dan berbagai macam bentuk, mirip patung, yang ada dalam Bait Allah dibuat dengan persetujuan dari Yahwe sendiri (bdk.1Raj5-8). Ada pula bentuk yang lain, Allah menyuruh Musa untuk membuat seekor ular yang sangat besar dari tembaga di padang gurun. Ular tembaga itu masih tetap disembah sampai kurang lebih 200 tahun sesudahnya, ditempatkan dalam Bait Allah sampai dihancurkan oleh raja Hizkia (bdk. 2 Raj 18:4). Dan ketika Bait Allah sudah dihancurkan, Nabi Yehezkiel mendapat penglihatan tentang Bait Allah yang baru, yang juga dipenuhi dengan gambaran dan patung Ilahi (bdk. Yeh 40:1-41:26). Alasan yang boleh diterima yaitu semua model lukisan atau gambar, patung dan sebagainya dipakai untuk menghadirkan Yahwe sendiri, dan melalui semuanya itu Allah sendirilah yang disembah bukan patung atau lukisan yang dibuat itu.[13]
II.2.3.2. Dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanian Lama, Allah mewahyukan diri tanpa perantara. Tetapi dalam Perjanian Baru, Allah mewahyukan diri-Nya dalam diri Yesus Kristus. Allah sendiri, ketika tidak ada penyimpangan pemahaman, bersedia untuk mendekati manusia, dengan perantaraan Kristus, supaya manusia dapat melihat, mendengar, menyentuh, dan merasakan kehadiran-Nya.
Santo Paulus, yang hidup dalam konteks Perjanjian Lama, memahami dengan baik tentang “Kristus, gambaran Allah” (2Kor 4:4). Dengan madah yang indah, ia mengatakan bahwa Kristus “adalah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Yesus sendiri mengatakan kepada Filipus, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh14:9). Karena itu, jika Tuhan sendiri bersedia meninggalkan `tempat persembunyian-Nya' dan kemudian membuat diri-Nya sendiri nampak dengan perantaraan manusiawi. Larangan dalam Perjanjian Lama mempunyai tujuan pendidikan, karena itu hanya bersifat sementara. Dengan berjalannya waktu, kedewasaan berpikir semakin matang. Inilah cara bagaimana orang-orang Kristen seharusnya memahaminya. Mereka mulai dengan gambaran Kristus dan melukiskan bagian-bagian hidup-Nya untuk membantu orang semakin dekat dengan Tuhan. Gereja-gereja, kapel, bahkan makam-makam dibuat dengan pemahaman yang sama.
II.2.4. Pendasaran Teologis tentang Seni Suci
Berangkat dari suatu visi dasar gereja, bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah demi keselamatan manusia, sekaligus dunia diciptakan untuk menunjukkan kepada segala mahkluk kuat-kuasa Allah yang mengatasi segala jagad raya. Sehubungan dengan pernyataan ini, Nugent Kenneth mengatakan bahwa:
Allah menciptakan bumi dan segala isinya, dan segalanya diserahkan untuk dikembangkan oleh kemampuan manusia, kemampuan mana berasal dari rahmat Allah. Allah menghendaki agar manusia menjadi makhluk yang termulia di antara segala makhluk di bumi, agar manusia mampu meneruskan karya ciptaan-Nya serta menguasai dan memiliki dunia ini demi kebahagiaan manusia dan kemuliaan Allah.[14]

Riwayat penciptaan langit dan bumi serta segala isinya, digambarkan dalam Kej. 1:1-27 yang pada intinya melukiskan Karya Agung Allah dalam Penciptaan, dalam mana Allah dengan cermat dan teliti menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. Setiap saat setelah Allah menciptakan sesuatu, Allah melihat bahwa semua karya ciptaan yang diciptakan-Nya baik adanya, maka jadilah seperti yang dikehendaki oleh Allah.[15]
            Riwayat penciptaan menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan melihat apakah ciptaan-Nya sudah sesuai dengan kehendak hati-Nya atau tidak. Ketika semuanya masih kosong dan gelap gulita menyelumuti samudera raya, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.[16] Lalu Allah menciptakan terang, langit dan bumi dan menghiasinya dengan bintang yang bertaburan dengan kelap kelipnya, matahari serta bulan diciptakan untuk menerangi jagad raya.[17] Air dan sungai dihiasi dengan ikan-ikan dan binatang lain. Daratan ditebari dengan gunung-gunung, bukit dan lembah, hutan dan rimba raya yang penuh dengan burung-burung, unggas serta binatang melata. Allah mengakhiri semua ciptaan-Nya dengan sangat indah, sempurna, menawan dan sangat sempurna.[18]
            Pada akhirnya Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup-Nya sendiri sehingga ia hidup. Allah bagaikan seorang tukang perikuk atau seorang pematung membentuk manusia sehingga materi dari tubuh adalah debu tanah, sementara hidupnya berasal dari nafas-Nya sendiri (bdk. Kej. 2:6-7). Semu keindahan yang ditampilkan, disempurnakan dengan membentuk manusia sama seperti gambar diri-Nya ‘Imago Dei’ (Kej.1:27).
Berangkat dari pemahaman tentang seni suci liturgi serta pendasarannya secara biblis dan teologis, Gereja amat perlu untuk menelaahnya secara lebih mendalam terutama tentang prinsip dasar serta norma/kaidah dalam seni suci liturgi itu sendiri.
II.2.5. Prinsip Dasar dan Norma/Kaidah dalam Seni Suci Liturgi
II.2.5.1. Beberapa Prinsip Dasar
Dalam seni suci, diperlukan beberapa prinsip dasar yang harus ada untuk mengatur pelaksanaan seni suci liturgi itu sendiri. Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar dalam seni suci liturgi, antara lain:
  1. Ketidaklengkapan gambar, tidak berarti tidak sesuai dengan iman di dalam Inkarnasi Allah. Allah telah bertindak dalam sejarah dan masuk ke dalam dunia manusia. Sehingga sangat masuk akal dan menjadi transparan bagi manusia untuk memandang Allah. Usaha untuk memandang Allah yang tidak kelihatan menjadi kelihatan, merupakan bagian penting dari ibadah Kristen. Dengan kata lain, ikonografi bukanlah satu-satunya norma/kaidah yang mengungkapkan tentang kehadiran Allah bagi manusia. Dan hal demikian bukanlah menjadi pilihan satu-satu;
  2. Seni Suci menemukan subyek dalam gambaran sejarah keselamatan, dimulai dengan penciptaan dan berlangsung terus sampai pada hari kedelapan, hari kebangkitan dan kedatangan-Nya yang kedua, dalam mana garis sejarah manusia mendapat kepenuhan yang final dan definitif. Gambaran sejarah alkitabiah memiliki kebanggaan dan mendapat tempat dalam seni suci, tetapi yang terakhir ini juga mencakup sejarah orang-orang kudus, yang merupakan pengungkapan sejarah Yesus Kristus. "Anda tidak berjuang melawan ikon", kata Santo Yohanes Damaskus kepada kaisar Leo iconoclastic III, "tetapi melawan orang-orang kudus". Pada periode yang sama, dan dengan pandangan yang sama, Paus Gregorius III dilembagakan di Roma pada hari raya Semua Orang Kudus;
  3. Gambar dari sejarah Allah dalam kaitannya dengan manusia tidak hanya menggambarkan suksesi peristiwa masa lalu, tetapi menampilkan kesatuan dalam tindakan Allah. Dengan cara ini, mereka memiliki referensi pada sakramen-sakramen yang dikenal di dalam gereja Katolik. Gambaran demikian menunjukkan kehadiran mereka yang pada dasarnya berhubungan dengan apa yang terjadi dalam liturgi. Sekarang sejarah yang dimaksudkan menjadi sakramen dalam Kristus, yang adalah sumber Sakramen. Oleh karena itu, ikon Kristus adalah pusat ikonografi suci. Pusat ikon Kristus adalah Misteri Paskah: Kristus disajikan sebagai yang Tersalib, Tuhan yang bangkit, Dia yang akan datang lagi dan yang di sini dan sekarang, meskipun tersembunyi, namun berkuasa atas segala sesuatu. Setiap gambar Kristus mengandung tiga aspek penting dari misteri Kristus (sengsara,wafat dan bangkit) dan dalam pengertian ini adalah gambar Paskah Kristus. Pada saat yang sama. Gambar ini mungkin akan lebih menonjol di kayu Salib, Passion, dan di dalam Passion dengan penderitaan hidup kita sendiri. Tapi apapun yang terjadi, salah satu aspek tidak pernah dapat benar-benar terisolasi dari yang lain, dalam konteks Misteri Paskah. Gambar Penyaliban tidak lagi transparan untuk Paskah, tetapi sebagai gambar Paskah yang melupakan luka-luka dan penderitaan saat ini. Dan, seperti yang berpusat pada Misteri Paskah, gambar Kristus selalu menjadi ikon Ekaristi, yang menunjuk pada kehadiran sakramental Misteri Paskah;
  4. Citra Kristus dan gambar orang-orang kudus hendak membawa serta mengarahkan pikiran dan hati kita untuk melampaui apa yang bisa ditangkap bukan pertama-tama sebagai materi tetapi untuk membangkitkan indra baru dalam diri kita, serta untuk mengajarkan kepada kita agar dapat melihat dan merasakan secara baru yang tak kelihatan menjadi yang kelihatan. Kesucian dari gambar Kristus pun orang kudus secara jelas menjadi sebuah kenyataan bahwa ia datang dari visi interior dan dengan demikian membawa kita sedemikian kepada visi interior. Hal dimaksud amat perlu dan harus merupakan buah kontemplasi dari perjumpaan dalam iman dengan realitas baru dari Kristus yang bangkit. Dan karena itu menuntun kita pada gilirannya untuk menatap interior, dan hal demikian ditemukan dalam suasana doa dengan Tuhan. Doa dan kontemplasi menghantar serta mempertemukan kita dengan Allah dalam persekutuan iman melalui Gereja-Nya. Dimensi gerejawi sangat penting untuk seni sakral dan dengan demikian memiliki hubungan penting dengan sejarah iman, dengan Kitab Suci dan Tradisi.
II.2.5.2. Norma/Kaidah dalam Seni Suci Liturgi
II.2.5.2.1. Area Sanctuary/Tempat Kudus
Tempat kudus adalah ruang/tempat dimana altar dan mimbar ditempatkan. Tempat kudus yang dimaksud disebut dengan nama panti imam. Di tempat itulah, imam mempersembahkan korban ekaristi, dibantu oleh diakon dan para pelayan altar. Karakter khusus dari tempat kudus adalah kekhasan desain dan perabot. 69 Tantangan untuk mereka yang bertanggung jawab dalam mendesain adalah untuk menyampaikan kualitas yang unik dari tindakan yang terjadi di tempat kudus. Serentak pada saat yang sama hendak menyatakan hubungan organik antara tindakan dan doa serta tindakan seluruh umat dalam liturgi. Tempat kudus harus cukup luas untuk mengakomodasi perayaan, sehingga berbagai ritual: kata dan Ekaristi dengan gerakan yang menyertainya, pun mereka yang ikut ambil bagian dalam perayaan dimaksud dapat terlaksana (§ 54 §).
Perabot ritual pokok dalam tempat kudus adalah mezbah, dalam mana pengorbanan Ekaristi dipersembahkan dan mimbar, dalam mana firman Allah diproklamasikan, dan kursi dari imam selebran. Perabot yang dikatakan harus dibuat dari bahan substansial yang mengekspresikan martabat dan stabilitasnya. Tugas bagi mereka yang mendesain adalah suatu entitas yang berbeda, namum berhubungan dan terkait dalam satu perayaan Ekaristi (§ 55 §).
II.2.5.2.2. Dekorasi Tahun Liturgi
            Beberapa hal pokok yang sangat perlu untuk diperhatikan dalam konteks mendekorasi gereja pada waktu perayaan-perayaan besar gereja, antara lain:
  1. Selama tahun liturgi Gereja, terbentang seluruh misteri Kristus, dari inkarnasinya dan kelahiran melalui sengsara-Nya, kematian, kebangkitan dan Kenaikan-Nya, hari Pentakosta, dan harapan akan kedatangan-Nya dalam kemuliaan. Dalam perayaan misteri ini, Gereja merayakan peristiwa-peristiwa suci ini sebagai perayaan Agung dan Mulia bersama seluruh umat beriman (§ 122 §).
  2. Tradisi dekorasi atau tidak dekorasi gereja untuk sebuah perayaan liturgis sangat membantu memberi makna pada kesadaran, hikmat dalam mengikuti perayaan, serta keagungan dan kemeriahan perayaan itu sendiri. Tujuannya agar pikiran dan hati manusia dirangsang oleh suara, pemandangan, dan kemegahan dari sebuah perayaan liturgi. Sehingga efek dari perayaan itu sendiri, membuat mereka yang terlibat di dalamnya merasa dikuatkan, dan punya sebuah kepercayaan bahwa melalui perayaan tersebut, mereka memperoleh rahmat dan kurnia dari Allah sendiri (§ 123 §).
  3. Oleh karenanya, dekorasi yang biasanya dibuat pada perayaan-perayaan besar gereja, mencakup semua tempat yang ada dalam ruangan gereja selain tempat kudus. Dekorasi yang dibuat, dimaksudkan untuk menarik orang ke hakikat sebenarnya dari misteri yang dirayakan. Bunga, tanaman, karangan bunga dan hiasan kain, serta benda-benda musiman lainnya dapat diatur untuk menambah kemegahan dalam gereja, sambil tetap memperhatikan aturan tentang hiasan yang ditempatkan dekat tempat kudus (§ 124 §).
  4. Dekorasi yang dibuat merupakan dekorasi musiman, dan diselenggarakan sepanjang perayaan liturgi gereja. Pada perayaan Natal, diawali dengan Misa Vigili pada Malam Natal dan berakhir dengan baptisan Tuhan, penempatan dan pembongkaran dekorasi Natal harus bertepatan dengan waktu tersebut. Pada perayaan Paskah berlangsung selama lima puluh hari. Dekorasi dibuat dan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dan dijaga sampai hari kelima puluh Pentakosta (§ 125 §).
  5. Dalam tahun liturgi Gereja, perayaan dan peringatan dari Bunda Maria dan orang-orang kudus memberi sebuah kesadaran, daya tarik dan kemampuan manusia untuk menunjukkan pengabdiannya dengan menghiasi gambar mereka pun dengan rangkaian bunga yang indah pun tanaman yang cocok (§ 126 §).
  6. Pabrik seni dalam bentuk spanduk prosesi dan hiasan, bisa menjadi cara yang efektif untuk menyampaikan semangat masa liturgi, terutama melalui penggunaan warna, bentuk, tekstur, dan bentuk simbolik yang sesuai dengan perayaan dimaksud (§ 127 §).
  7. Objek seperti karangan bunga Advent, 149 boks Natal, 150 dan lain-lain, sesuai ukuran ruang dan perabotan lainnya dapat meningkatkan doa dan pemahaman umat beriman (§ 128 §).
  8. Penggunaan bunga hidup dan tanaman, bukan hijau buatan, berfungsi sebagai pengingat dari karunia hidup Allah yang telah memberikan kehidupan kepada masyarakat manusia. Perencanaan untuk tanaman dan bunga tidak hanya mencakup pengadaan dan penempatan namun juga perawatan terus diperlukan untuk mempertahankan makhluk hidup tersebut (§ 129 §).
II.2.5.2.3. Altar
Pada perayaan Ekaristi, imam merayakan liturgy dengan ritual korban Ekaristi yang mengenang dan menghadirkan kembali peristiwa perjamuan malam terakhir, mengenangkan kematian, dan kebangkitan sampai pada kedatangan-Nya kembali (70). Mezbah adalah "pusat syukur Ekaristi dirayakan”(71) dan tempat dimana ritual gerejani secara kudus dirayakan (72). Gereja mengajarkan bahwa "altar adalah Kristus," (73) yang komposisinya harus mencerminkan kewibawaan, keindahan, kekuatan, dan kesederhanaan. Dan karena hanya satu mezbah sehingga digunakan untuk "menandakan serta menyatukan hubungan kesetiaan Kristus dengan Gereja melalui Ekaristi" (74).
Mezbah adalah titik pusat tempat kudus dan harus "berdiri bebas untuk mengizinkan (imam) agar berjalan-jalan dengan mudah dan Misa harus dirayakan bersama dan di hadapan umat manusia (§ 57 §)." Biasanya, mezbah harus patent/tetap (dengan dasarnya ditempelkan ke lantai) dan dengan meja atau Mensa yang terbuat dari batu alam (75), karena mewakili Kristus Yesus, Batu Hidup (1 Pt 2:4). Penyangga atau dukungan untuk tabel tersebut dapat dibuat dari "apapun material, seperti yang selama itu dilakukan (76)." Di Amerika Serikat, diizinkan untuk menggunakan bahan selain batu alam untuk altar yang tetap, yang diberikan bahan-bahan ini layak, padat, dibangun dengan benar, dan tunduk pada penilaian lebih lanjut dari ordinaris wilayah dalam haln ini Uskup Diosesan (77). Di Paroki local, bangunan gereja baru harus mengikuti arahan dari uskup diosesan mengenai jenis mezbah dipilih dan bahan yang cocok untuk altar baru (78).
Walaupun tidak ada ukuran tertentu atau bentuk untuk altar, harus sebanding dengan gereja. Bentuk dan ukuran harus mencerminkan sifat altar sebagai tempat pengorbanan dalam mana Kristus pada zaman-Nya mengumpulkan masyarakat untuk memberi makan bagi mereka. Dalam mempertimbangkan tentang dimensi altar, paroki juga ingin memastikan bahwa perabot utama lainnya di tempat kudus berada dalam harmoni dan proporsi ke altar. Panti imam harus cukup besar untuk menampung selebran imam, diakon, dan rahib yang melayani di sana. Dampak dan kualitas tidak hanya terkait dengan penempatan, ukuran, atau bentuk, tetapi juga terutama untuk kualitas desain mezbah dan kelayakan konstruksi. mezbah harus terletak di pusat tempat kudus dan menjadi pusat perhatian di gereja.
Selama Liturgi Ekaristi, altar harus terlihat dari seluruh bagian gereja tetapi tidak terlalu tinggi sehingga menyebabkan pembagian visual atau simbolis dari perakitan liturgi. Metode elevasi dapat memungkinkan akses ke altar oleh para pelayan yang membutuhkan kursi roda atau yang memiliki cacat lainnya (§ 59 §).
Dalam sejarah Gereja dan tradisi, altar sering ditempatkan di atas kuburan orang-orang kudus atau peninggalan orang-orang kudus yang disimpan di bawah altar. Keberadaan peninggalan orang-orang kudus di altar menyediakan saksi keyakinan Gereja bahwa Ekaristi dirayakan pada altar adalah sumber kasih karunia yang memenangkan kesucian untuk para orang kudus dimaksud (§ 60 §). Kebiasaan menempatkan peninggalan kecil martir atau orang kudus lainnya di atas altar telah berubah sejak Konsili Vatikan II (79).
II.2.6. Sikap Gereja terhadap penggunaan Patung dan Gambar Dalam Liturgi
            Untuk menentukan seni suci yang sesuai dengan kaidah-kaidah iman, Gereja berhak menilai semua karya suci yang digunakan dalam gereja. Selain itu, untuk mengadakan perubahan-perubahan atau pembongkaran hasil karya seni suci, dibuat atas sepengetahuan dan dalam bimbingan uskup atau panitia keuskupan liturgi.
Gereja berhak menilai semua karya itu sesuai dengan penghayatan iman, kesalehan dan hukum-hukum tradisinya, dengan demikian dipandang cocok untuk digunakan dalam liturgi. Dengan perhatian penuh, Gereja berusaha supaya peralatan Sakral pantas dan bagus serta mendukung kemuliaan ibadat. Gereja menerima perubahan-perubahan bahan, gaya atau hiasan akibat kemajuan teknis dalam peredaran zaman (L. 124).[19]
Dalam rangka penilaian suatu karya seni dalam liturgi, Bapa-bapa Gereja menekankan bahwa: hendaknya para Uskup mendengarkan Panitia keuskupan untuk kesenian liturgi, dan bila perlu juga pakar-pakar seni lain. Demikian juga atas keberadaan seni kudus, ditegaskan bahwa; hendaknya para Pimpinan Gereja menjaga dengan saksama, jangan sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni yang merupakan hiasan rumah Allah dipindah tangankan atau rusak (SC N0. 126).

Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau patung-patung kudus dalam gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan. Karena patung-patung dan gambar-gambar itu merupakan seni kudus yang berperan dalam liturgi demi membangkitkan iman umat. Semuanya dilakukan dengan sikap yang pantas dan layak.
Hendaknya dipertahankan praktek untuk menempatkan gambar atau arca suci dalam gereja-gereja demi penghormatan oleh kaum beriman; akan tetapi hendaknya dalam jumlah yang layak serta dengan tata susunan yang wajar, jangan sampai membangkitkan keheranan umat kristiani atau memberikan peluang untuk devosi yang kurang sehat, KHK can. 1188.[20]



II.2.7. Paus Yohane Paulus II
Pandangan Katolik terhadap gambar dan patung pada umumnya dirumuskan dengan cukup jelas oleh paus Yohanes Paulus II dalam surat apostoliknya Duodecimum Saeculum (Desember 1987) dalam rangka memperingati 1200 tahun Konsili Nicea II (787). Paus menegaskan: 
Tanpa menyangkal kemungkinan bahwa praktek penyembahan berhala dari agama kafir dapat timbul lagi, Gereja mengizinkan bahwa Tuhan Yesus, Santa Perawan Maria, para martir, santo dan santa diperlihatkan dalam bentuk gambar atau patung guna mendukung doa dan kebaktian kaum beriman.” Dalam masa yang lampau pernah ada gerakan membuang dan menghancurkan patung (ikonoklasme), karena orang berpendapat bahwa Kristus sebagai Putra Allah tidak mungkin digambarkan. Akan tetapi, “Kesenian dapat memperlihatkan bentuk atau lukisan wajah insani Allah dan menghantar orang yang memandangnya ke dalam misteri yang tak terperikan bahwa Allah menjadi manusia demi keselamatan kita. Dalam penghayatannya, selalu dibedakan antara sungguh menyembah dan memberi hormat. Menyembah hanya boleh dilakukan terhadap Allah, sedangkan memberi hormat boleh dilakukan untuk gambar dan patung, karena menghormati patung sebenarnya menghormati diri yang digambarkan dalam patung itu[21].

Pandangan Paus di atas mau menekankan bahwa, penggunaan patung dan gambar itu untuk membangkitkan iman umat melalui doa-doa. Akan tetapi dalam praktek doa-doa misalnya praktek devosional sebenarnya dengan sikap hormat atas benda-benda kudus itu dengan keyakinan bahwa melaluinya apa yang digambarkan dapat ditangkap dan hadir untuk mendengarkan semua keluh-kesah pribadi/bersama.

II.2.8. Gambar Suci Liturgi
Gambar Suci dalam Liturgi mencerminkan kesadaran bahwa persekutuan suci, praktek memasukkan simbol dari Trinitas, gambar Kristus, Bunda Maria, para malaikat, dan orang-orang kudus ke dalam desain gereja menciptakan sumber pengabdian dan doa. Gambar dapat ditemukan di jendela kaca patri, pada lukisan-lukisan dinding dan sebagai patung-patung dan ikon. Seringkali gambar-gambar ini menggambarkan adegan dari Alkitab atau dari kehidupan orang-orang kudus dan dapat menjadi sumber pengajaran dan katekese serta pengabdian. Karena Ekaristi menyatukan Tubuh Kristus, termasuk mereka yang tidak hadir secara fisik, penggunaan gambar dalam gereja mengingatkan kita bahwa kita bergabung untuk semua yang telah pergi sebelum kita, serta mereka yang sekarang mengelilingi kita (§ 135 §).
Dalam memilih gambar dan seni kebaktian, paroki harus menghormati ikonografi tradisional. Gambar suci diakui dan dihormati oleh umat beriman. Namun, mereka juga harus sadar bahwa tradisi tidak terbatas pada gambar literal. Sedangkan Maria adalah ibu Yesus, ia juga merupakan ikon Gereja, seorang murid Tuhan, seorang wanita dibebaskan dan membebaskan. Dia adalah Immaculate Conception, pelindung dari Amerika Serikat, dan Our Lady of Guadalupe, pelindung seluruh Amerika. Simbol lain seperti salib, ikon, atau gambar orang kudus pelindung digambarkan dalam berbagai cara juga dapat menarik kita ke dalam realitas yang lebih dalam tentang iman dan harapan kita (§ 136 §).
Penempatan gambar bisa menjadi suatu tantangan, terutama ketika sejumlah tradisi budaya merupakan bagian dari komunitas paroki tunggal dan masing-masing memiliki hidupnya sendiri kebaktian dan praktek. Menahan diri dalam jumlah dan keunggulan images156 suci didorong untuk membantu orang berfokus pada tindakan liturgi yang dirayakan di gereja. Pisahkan ceruk untuk patung-patung atau ikon dapat menampilkan berbagai gambar sepanjang tahun. Beberapa paroki menetapkan suatu daerah sebagai tempat suci untuk gambar yang sedang dihormati pada hari tertentu atau untuk jangka waktu tertentu, seperti gambar orang suci pada hari raya nya (§ 137 §).
Adalah penting bahwa gambar di gereja menggambarkan orang-orang kudus, untuk siapa pengabdian saat ini ada di paroki. Hal ini terutama diharapkan bahwa gambar signifikan dari pelindung gereja akan pantas ditampilkan, serta gambar Maria, Bunda Allah, sebagai penghargaan yang paripurna untuk peran yang unik dalam rencana keselamatan. Dengan berjalannya waktu dan perubahan demografi, orang kudus yang dulu menjadi objek pemujaan oleh banyak umat mungkin di lain waktu akan dihormati hanya oleh beberapa orang. Kini terjadi bahwa gambar tersebut dapat saja dihapus, dapat juga diberikan dan ditunjukkan sehubungan dengan kesalehan umat beriman dan dampak pada bangunan (§ 137 §).
II.2.8.1. Lukisan dan Patung
Lukisan dan Patung adalah desain interior gereja khususnya langit-langit kurang diperhatikan. Sebenarnya kalau itu diperhatikan maka, langit-langit gereja adalah simbol langit/tempat ketinggian, cahaya dari surga yang menjadi takhta Allah memancarkan kemuliaan-Nya.[22] Sementara, lukisan/ gambar, ukiran dan patung Yesus, Maria dan orang-orang kudus, menunjukkan adanya satu kesatuan umat dengan Yesus sebagai kepala Gereja melindungi dan memberi berkat kepada umat-Nya, Maria sebagai teladan Gereja memberikan petunjuk dan mendoakan anak-anaknya dan orang kudus sebagai Gereja yang telah mencapai kemuliaannya di surga mendoakan dan memberi inspirasi rohani kepada Gereja yang sementara berziarah di dunia ini.
II.2.8.2. Lambang/simbol dalam benda-benda kudus
Ukiran/gambar di tabernakel, altar, tempat baca Kitab Suci, jubah imam dan lain sebagainya ada dalam kesatuan dengan apa yang disimbokan. Semuanya menunjuk pada kesakralan pada fungsi masing-masing sebagai perbuatan atau kediaman apa yang disimbolkan yakni ilahi.

II.2.8.3. Salib suci
Gambar sentral kekristenan adalah salib. Salib menggambarkan dan menunjuk pada beban dosa manusia yang dipikul Yesus bahkan Yesus tergantung di kayu salib untuk keselamatan dosa-dosa manusia. Serentak menunjuk pada kebangkitan Yesus yang mengalahkan maut dan datang dalam kemuliaan Ilahi. Setiap karya seni Kristen atau arsitektur, gambar salib merangkul ambiguitas penderitaan dan kematian, penyembuhan dan kebangkitan, mengakui bahwa "oleh luka-lukanya kita menjadi sembuh." Seni sepertinya menarik dari misteri penebusan kekuatan unik untuk mendorong dan mengundang dunia lebih dalam masuk ke dalam misteri iman kita (§ 144 §).
Demikian juga, seni Kristen merupakan produk dari "sukacita rohani spontan" yang menantang orang percaya untuk menyelesaikan pemerintahan Allah yang mereka harapkan dan mohonkan kepada Allah. Kasih yang gembira, keindahan Kristen menyatakan sesuatu yang baru dan asli, sebagai gema dari tindakan kreatif Tuhan (§ 145 §).
Melakukan Perhentian Jalan Salib berasal dan lahir dalam sejarah Gereja. Hal itu adalah sebuah kebiasaan untuk mengikuti cara berjalan Kristus dari rumah Pilatus di Yerusalem ke Kalvari. Seiring berjalannya waktu, peziarah ke kota suci menginginkan untuk melanjutkan devosi ke tempat dimaksud. Pada abad keempat belas ketika Fransiskan dipercaya untuk mengurus tempat-tempat suci di Yerusalem, mereka mempromosikan penggunaan gambar yang menggambarkan Jalan Tuhan Salib (§ 132 §).
Apakah dirayakan oleh masyarakat atau oleh individu? Adalah sebuah simbol/tanda bagi umat beriman untuk lebih mendalami makna salib Tuhan, masuk lebih penuh ke dalam penghayatan akan kematian Tuhan dan untuk saling melayani (§ 133§). Secara lebih nyata bahwa dalam setiap perhentian dalam jalan salib, orang-orang berkerumun untuk merenungkan jalan penderitaan Tuhan serentak memberi makna pada hidupnya sebagai jalan salib hidup baginya (§ 134 §).
II.2.9.Pemeliharaan dan Perlakuan
II.2.9.1. Pemeliharaan
Sebagai penjaga warisan suci Gereja, arsitek, seniman, dan imam harus dididik dalam apresiasi seni sakral dan tujuannya dalam liturgi. Kepemimpinan Para imam 'sering akan memberikan inspirasi awal bagi masyarakat untuk berusaha membangun gereja baru, dengan desain seni liturgi baru, atau merenovasi ruang ibadah yang ada. Konsili Vatikan II dengan jelas dalam pengajaran tentang masalah ini mengungkapkan bahwa: "Ulama harus diajar tentang sejarah dan perkembangan seni sakral dan tentang prinsip-prinsip di mana produksi pekerjaannya harus didasarkan pada kemampuan untuk menghargai dan melestarikan monumen berharga Gereja dan selalu berada dalam posisi untuk menawarkan saran yang baik untuk seniman yang terlibat dalam memproduksi karya seni " (§ 256 §).
II.2.9.2. Perlakuan terhadap Seni Suci yang tidak digunakan
Seni Suci yang tidak lagi bermanfaat atau dibutuhkan atau yang hanya aus perlu untuk diperlakukan dengan hormat. Untuk menjamin perlindungan perabot tempat kudus yang dipakai atau digunakan, pakaian, dan artefak liturgis lainnya; banyak uskup keuskupan telah mengeluarkan arahan tentang disposisi yang tepat agar ketika perabot yang disebutkan tidak cocok lagi untuk ibadah maka dapat disimpan sebaik mungkin. Selain itu juga, harus berkonsultasi dengan kantor atau tempat komisi liturgy keuskupan berada untuk mempelajari apa yang menjadi perintah atau prosedur yang berlaku (§ 166 §).
Selain itu, para uskup telah melaksanakan tanggung jawab mereka sebagai pelayan sumber daya artistik Gereja dengan mendorong imam dan personil keuskupan untuk berkonsultasi dengan para ahli dan untuk membuat tempat di mana benda-benda di dalam gereja yang memiliki nilai artistik atau sejarah disimpan. Persediaan tersebut yang paling membantu ketika mereka dengan hati-hati merinci dan mendaftar setiap nilai entri dan catatan setiap perubahan benda. Biasanya dua salinan dibuat sehingga satu dapat disimpan di paroki lokal dan yang lainnya di Kuria keuskupan, baik sebagai catatan sejarah dan untuk tujuan asuransi. Dalam beberapa kasus, salinan akan dikirim ke perpustakaan Vatikan jika hal ini sesuai (§ 167 §).
Obyek nilai seni atau sejarah disumbangkan kepada Gereja melalui sumpah tidak mungkin untuk dijual tanpa izin khusus dari Ordinaris Wilayah. Ketika objek tersebut tidak untuk dijual tapi dibuang dalam beberapa cara lain, uskup keuskupan harus dihubungi sehingga keprihatinannya dan persyaratan hukum dapat terpenuhi (§ 168 §).
Setiap masyarakat tahu bahwa jika rumah doa adalah untuk memancarkan keindahan ilahi, usaha kehadiran dan pengorbanan akan diperlukan. Selain gaji yang tepat untuk karya seniman, masyarakat harus menunjukkan rasa hormat untuk bekerja dengan memelihara dan menjaga mereka. Dalam melakukannya, mereka mendorong orang-orang dengan bakat artistik untuk terus melayani masyarakat dan dengan cara ini membangun dan mendukung masyarakat lokal seniman layak merayakan liturgi. Sebuah perjanjian didirikan menghubungkan seniman dan jemaat, sebuah "aliansi antara seni dan kehidupan agama" dapat mendengar suara artistik "bahwa cinta mengilhami dan yang mengilhami cinta" (§ 169 §).
II.2.10. Persyaratan Khusus Seni Liturgi
Dalam rangka menciptakan seni yang benar-benar melayani liturgi, artistik harus memiliki pemahaman dan hormat untuk liturgi. Baik perbedaan dan koneksi antara seni kebaktian dan yang dirancang untuk liturgi umum, seni liturgi secara integral berkaitan dengan sakramen Gereja; sementara seni kesalehan dirancang untuk memperkaya kehidupan rohani masyarakat dan kesalehan pribadi para anggotanya. Sebagai devosi Gereja, liturgi mengarah ke sana, sehingga kebaktian harus selaras dengan liturgi, dan menarik orang untuk ikut serta dalam perayaan. "Norma utama adalah bahwa seni sakral menjadi fungsional, yaitu ekspresi sangat tepat dari liturgi dan dimaksudkan untuk menjadi sebuah perayaan penyembahan kepada Allah dalam bahasa masyarakat melalui doa" (§ 155 §).
Kekhasan ibadah Kristen adalah ketakwaan diarahkan kepada Maria, Bunda Allah. Sejak masa awal Gereja, Tuhan telah menumbuhkan dalam diri mereka cinta mereka kepada Maria sebagai ibu mereka, yang diberikan kepada mereka oleh Yesus di kayu salib. Dihormati dan dicintai, dipanggil dan ditiru, ia adalah model bagi iman Kristen, dukungan dan perlindungan pada saat dibutuhkan, dan gambar eskatologis dari apa yang Gereja berharap akan dating. Meskipun devosi ini pada dasarnya berbeda dari doa adorasi tetapi diarahkan untuk Kristus, dengan Roh, dan kepada Bapa. Hal dimaksud adalah salah satu hal yang sangat tertanam di hati umat Katolik (§ 156 §).
Martabat khusus dan unik dari Bunda Allah telah dinyatakan dalam seni kebaktian Gereja. Seniman telah melukis gambar dengan model yang menakjubkan sebagai "tanda harapan yang pasti dan penghiburan untuk umat Allah." Pada saat yang sama, penghormatan terhadap Maria, seperti semua ibadah lainnya, yakni mengarah jelas untuk menyembah Allah sendiri. Lokasi, gaya, dan pentingnya gambar Maria di gereja menunjukkan hubungan intim antara Maria dengan liturgi Ekaristi Kristus, serta perbedaannya (§ 157 §).
Peran Gereja adalah untuk mendidik seniman dalam hubungan yang tepat antara pendekatan pribadi mereka untuk seni dan kebutuhan liturgi. Peran seniman adalah untuk mengeksplorasi resonansi pribadi mereka antara seni sakral, pengabdian interior, dan kehidupan publik masyarakat. Unsur penting antara kebutuhan artistik Gereja dan bakat kreatif seniman adalah kemampuan untuk berkolaborasi. Seniman harus mengembangkan kapasitas untuk bekerja dengan para pemimpin dan orang-orang dari masyarakat setempat dan dalam kerangka yang ditetapkan oleh Gereja universal jika mereka memiliki kesempatan untuk menggunakan bakat mereka untuk fashion objek yang indah, yang akan meramaikan ibadah umat beriman (§ 158 §).
Seniman perlu untuk bekerja sama dengan arsitek dan konsultan liturgis dalam membuat penilaian yang jujur dari beberapa elemen kunci, menghadiri dengan cara objek akan ditempatkan di dalam gedung, cara kerja akan diintegrasikan dengan arsitektur gereja. (§ 159 §).
Perhatian juga harus diberikan dengan cara, benda artistik akustik dan elemen fungsional lain di dalam gedung. Pada saat yang sama, dengan cara-cara di mana berbagai elemen, terutama pencahayaan, dapat mempengaruhi benda. Selain itu, pertimbangan harus diberikan untuk bagaimana sebuah objek dengan mudah bisa dibersihkan dan dipelihara (§ 160 §).
II.2.10.1. Seni Benar dan Layak
Seni otentik merupakan bagian integral dari Gereja, karena benda-benda dan tindakan adalah "tanda dan simbol dari dunia supranatural" dan ekspresi dari kehadiran ilahi. Sementara selera pribadi akan berbeda, komite paroki harus menggunakan kriteria kualitas dan kesesuaian dalam mengevaluasi seni untuk ibadah. Kualitas hanya dirasakan oleh perenungan, dan dari hal-hal yang benar, dan untuk membiarkan mereka berbicara dan melihatnya. Kualitas jelas terutama dalam hal kejujuran dan keaslian bahan yang digunakan, bentuk yang terkandung di dalamnya, cinta dan perawatan yang masuk ke dalam penciptaan karya seni, dan stempel pribadi dari para seniman yang khusus memproduksi hadiah ke seluruh karya mereka dengan baik dan harmoni (§ 146 §).
Kualitas seni menarik umat beriman kepada Sang Pencipta. Serta menunjukkan kualitas dan kreatifitas umat beriman kepada Allah pencipta. Hal ini berlaku untuk musik, arsitektur, patung, lukisan, membuat tembikar, tekstil, dan pembuatan mebel, serta bentuk seni lain yang melayani lingkungan liturgi. Integritas dan energi dari sebuah karya seni, diproduksi sendiri dari hasil kerja para seniman, selalu lebih disukai di atas benda-benda yang diproduksi secara massal. Demikian pula, dalam konstruksi bangunan gereja baru, tidak ada pola standar untuk seni gereja tidak harus seni dan gaya arsitektur dari waktu tertentu atau budaya dikenakan semena-mena terhadap komunitas lain. Meskipun demikian, warisan seni sakral dan arsitektur disediakan standar untuk bisa menilai kelayakan bentuk kontemporer dan gaya (§ 147 §).
Kelayakan untuk tindakan liturgis adalah kriteria lain untuk memilih karya seni untuk gereja. Kualitas kesesuaian ini ditunjukkan oleh kemampuan kerja untuk menanggung berat misteri, kagum, hormat, dan bertanya-tanya bahwa tindakan liturgi mengungkapkan dengan cara melayani dan tidak mengganggu kegiatan ritual yang memiliki struktur sendiri, irama dan gerakan. Karena seni adalah pernyataan, hadiah dari Tuhan, sebagai suatu benda yang benar-benar indah membentang "di luar apa yang indra pandang di bawah permukaan realitas itu, sebagai suatu usaha untuk menafsirkan misteri yang tersembunyi." Meskipun demikian, selalu ada jurang antara "pekerjaan tangan arsitektur" dan "kesempurnaan menyilaukan" sebagai hadiah dari kreatif seni Allah sendiri. Hadiah dari Allah untuk manusia melalui kreasinya digunakan dalam ibadah karena itu harus membangkitkan rasa heran pada keindahan, tetapi menyebabkan di luar dirinya yang tak kelihatan yakni Tuhan sendiri. Keindahan karya seni menarik Umat Allah menjadi sadar akan hidup mereka dengan dan tujuan agar mereka sebagai komunitas Kristen memahami dan memaknai hidup mereka dengan peran serta tanggung jawabnya dalam Seni liturgi (§ 148 §).
Kalayakan suatu seni merupakan elemen penting dan sangat integral dalam keindahan suci dari sebuah bangunan gereja. Melalui penggunaannya yang terampil proporsi, bentuk, warna, dan desain, seni menyatukan dan membantu untuk mengintegrasikan tempat ibadah dengan tindakan ibadah. Kreasi Artistik di tempat ibadah menginspirasi kontemplasi dan pengabdian. Patung, perabotan, seni-kaca, pakaian, lukisan, lonceng, organ, dan instrumen musik lainnya serta jendela, pintu, dan setiap detail terlihat dan sentuhan arsitektur memiliki potensi untuk mengungkapkan keutuhan, harmoni, dan sinar keindahan yang mendalam (§ 149 §).
II.2.10.2. Alat-Alat Liturgi dan Jubah
Seperti halnya gaya arsitektur, tidak ada gaya tertentu untuk perabot suci untuk alat-alat liturgi. Suci mungkin berada dalam "bentuk yang sesuai dengan budaya masing-masing daerah, asalkan setiap jenis alat-alat liturgy cocok untuk digunakan dalam liturgi. Hal demikian dimaksudkan untuk dibedakan dengan peralatan yang digunakan sehari-hari". Bahan yang digunakan untuk alat-alat suci seperti piala dan patena harus layak, padat, dan tahan lama., dan seharusnya tidak mudah patah. Chalices dan cangkir yang digunakan untuk mengisi anggur harus terbuat dari bahan non-absorbent. Alat-alat tersebut terbuat dari logam berlapis emas di bagian dalam sehingga anti karat. Vestimentum yang dikenakan oleh para imam fungsinya untuk menambah keindahan perayaan ritual. "Selain bahan-bahan tradisional, bahan alami yang tepat untuk wilayah lokal dapat digunakan untuk membuat jubah;. Keindahan dan kemuliaan vestimentum timbul dari bahan dan desain bukan dari ornamen mewah (§ 164 §)."
Konferensi para uskup dalam membuat keputusan lebih lanjut mengenai gaya yang sesuai dan material untuk alat-alat suci dan jubah yang digunakan dalam perayaan liturgi. Demikian pula, uskup keuskupan bisa membuat keputusan lebih lanjut mengenai kesesuaian materi atau desain untuk alat-alat suci dan jubah, dan dalam kasus keraguan, ia adalah hakim untuk membuat keputusan.

Kesimpulan
Segi-segi keindahan merupakan ‘Vestigia Dei’ (jejak-jejak Allah), Sang Keindahan Tertinggi. Sarana-sarana fisik yang mengungkapkan keindahan serentak mengomunikasikan realitas Ilahi atau sekurang-kurangnya rohani. Seorang seniman terpanggil untuk menciptakan ‘sarana’ yang menjadi penghubung antara Allah sebagai Keindahan Tertinggi dan manusia sebagai ciptaan-Nya yang terindah. Melalui karya-karyanya, seorang seniman membantu banyak orang untuk ‘mengangkat hati’ kepada Keindahan Tertinggi itu.[23]
            Perkembangan sejarah agama Kristen hingga pada masa kini, seni memainkan peran penting dalam penghayatan iman kepada Tuhan. Satu kenyataan antara Agama dan seni bahwa: ‘Agama tanpa seni memang tidak lengkap, begitu juga seni tanpa agama tidak dapat dibayangkan’. Artinya bahwa agama merupakan pengalaman metaindrawi/berkaitan dengan sentuhan jiwa terhadap Sang Ilahi. Demikian juga dengan seni, merupakan hasil daya kreativitas jiwa. Perkembangan iman Kekristenan sampai sekarang, kedua hal ini tak dapat dipisahkan. Agama selalu berarti seni dan seni berarti agama, dalam arti bahwa seorang beriman adalah seorang seniman dan seorang seniman adalah seorang beriman yang selalu menjaga kekayaan rohani itu.
Karya seni selalu ada dalam konteks iman dan ungkapan iman. Semua karya seni dalam Gereja menunjukkan satu penggambaran akurat atas apa yang diimani dan dihayati yaitu jalan kehidupan dan kebenaran. Gereja merasa penting atas karya seni rupa seperti patung, gambar, dan lukisan-lukisan kudus sebagai media pendalaman iman dan pujian kepada Allah. Perannya dalam liturgi sangat mendalam, karena tanpa seni litugi sulit untuk dimengeri secara baik. Seni dapat mengangkat dan memberi pemahaman melalui simbol-simbol kudus yang digambar dan di diukir sedemikian rupa sebagai kehadiran yang ilahi. Selain itu patung dan lukisan kudus itu mengantar umat beriman pada kedekatan pribadi pada Tuhan melalui doa dan devosional.



[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai Pustaka, 1995).
[2]Ibid.,
[3]Bdk. Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 133.
[4]LG no. 1.
[5]Beberapa istilah yang berkaitan dengan simbol-simbol: Gambaran: gambaran menunjuk pada relasi kesamaan antara tanda dan yang ditandakan. Yang ditandakan mencontohi suatu pola yang ada dalam suatu tanda. Dalam arti itu Paulus berbicara tentang relasi Kristus sebagai gambaran Allah yang tidak kelihatan (Kol 1:15). Sedangkan simbol lebih menunjuk pada kesamaan atau kemiripan arti dan makna, tanpa ada relasi kemiripan antara tanda dan yang ditandakan. Tanda:  berfungsi menyampaikan, mewakili atau menunjuk kepada sesuatu yang lain. Tanda hanya memberikan informasi. Tiap simbol dapat disebut tanda, tetapi tiap tanda tidak dapat disebut simbol. Menurut hakekatnya, simbol termasuk tanda-tanda kultural, sebagai tanda mufakat, yang sekaligus berfungsi menyampaikan suatu realitas yang tidak tampak. Berkaitan dengan tanda, gerak seluruh tatatubuh merupakan tanda yang menyatakan hasrat hati dan sikap batin manusia. Sikap dasar dalam ibadah: berdiri=sikap doa yang melambangkan keagungan manusia sebagai putera Allah. Duduk=sikap seorang guru yang mengajar dan murid yang mendengarkan. Berlutut dan menundukan kepada=tanda merendahkan diri, penyesalan, rasa hormat kepada Tuhan. Mengatupkan tangan= tanda kesetiaan kepada kehendak Allah. Analogi: mengandaikan adanya suatu sifat yang sama pada beberapa obyek. Analogi dan simbol memiliki kemiripan. Dalam liturgi, air dalam upacara pembaptisan. Pada hakekatnya, berfungsi membersihkan, dipakai sebagai analogi untuk membersihkan batin manusia. Roti sebagai makanan pokok tubuh, dipakai sebagai analogi untuk makanan jiwa. . Terkutip dalam Nikolaus Haryon, Ekaristi Perayaan Keselamatan Dalam Bentuk Tanda, (Ende-Flores: Nusa Indah, 1986), hlm. 20-23.
[6]Ibid., hlm. 20.
[7]Ibid., hlm. 47.
[8]Ibid., hlm. 25-28.
[9]Frank Karl Borromaeus, Fundamental Question On Ecclesiastical Art, English Translation of Kernfragen Kirchlicher Kunst (Verlag Herder Wien: The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1953), hlm. 36.
[10]Ibid,.53-54.
[11]Bdk. Irenee Hendri Dalmais dkk, The Church at Prayer, Vol. II: Principles of the Liturgy (London: Geoffrey Chapman, 1987), hlm. 240.
[12]GIRM Petunjuk Umum Misa Romawi, No. 291.
[13]Bdk. P. Damar Cahyadi. Pr, Majalah, JUBILEUM Edisi 55, Tahun V 2004, keterangan selanjutnya lihat pula dalam keterangan, http://yesaya.indocell.net/ atau juga dibandingkan dengan,http://www.reversespins.com/mothermary2.jpg[/img] Theotokos Versi Gereja Barat.


[14]Nugen Kenneth., Chrurh and Architecture, Rekording or Renewel, dalam Priest and People, 1 April 1987, p.19-20. Bdk., pula Kej. 1:26-28.
[15]Luke Harris, Chruch Art and Architecture Stone for Sacrifice, dalam “The Clergy Review, no. 7. Vol. LXIV, July 1984, hlm. 39.
[16]Ibid., hlm. 41.
[17]Ibdi., hlm. 46.
[18]Bdk., Mangunwijaya YB.,  Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 39.
[19]Ibid.,
[20]Sekertariat KWI, Kitab Hukum Kanonik/Codex Iuris Canonici, (Jakarta: Obor,1991), hlm.334. Bdk. KWI Iman Katolik ,(Jakarta: Obor, 1996), hlm.39. Lihat pula dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Consilium (Konstitusi Tentang Liturgi suci) SC, No. 125.
[21]Bdk. KWI, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius & Obor, 1996), hlm. 37-38.
[22]Bdk. F.X. Rudiyanto Subagio, Seni: Langit-langit Gereja, Bagian Elemen Sakra, dalam Majalah Liturgi, Vol. 21 No. 3 (Jakarta: Komisi Liturgi KWI, Edisi Mei-Juni, 2010), hlm. 25.

[23]Bdk. Adrian Pristio. O.Carm, Cercah-Cercah Hidup Indah Sebuah Cafe Rohani, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm. 15-16.

1 komentar:

  1. Artikel yang menarik dan lengkap...Berbagi article tentang Duomo di Milan di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/03/milan-di-piazza-del-duomo.html
    Lihat juga video di youtube https://youtu.be/GkJmdx6yrAo

    BalasHapus