PERAN PENYULUH AGAMA KATOLIK DALAM
USAHA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
(Oleh: Vitalis Letsoin)
BAB.
I
PEMAHAMAN TENTANG PENYULUH
Pendahuluan
Berdasarkan
peraturan bahwa jika seorang penyuluh hendak mempromosikan diri untuk kenaikan
pangkat maka dia harus membuat makalah yang berhubungan dengan profesinya. Oleh
karena itu judul makalah yang saya buat di sini adalah: Peran Penyuluh Agama Katolik Dalam Usaha Membangun Karakter Bangsa. Ada
pun peran dari seorang penyuluh sangat penting bagi perkembangan pribadi anak
bangsa dalam memberikan informasi, pengajaran, pembentukan karakter dan lain
sebagainya. Semua itu dilakukan demi menciptakan pribadi-pribadi yang bermutu
yang dapat tumbuh dan berkembang sebagai penerus bangsa. Agar lebih jelas
tentang isi makalah yang dibuat ini maka akan dijelaskan pada bagian berikut
ini:
A.
Pengertian Penyuluh
I.1. Apa itu Penyuluh
a. Penyuluh dalam pengertian Populer
Dalam
pengertian Populer, “Penyuluh) dihubungkan dengan pengertian kata “Suluh” atau
“Obor”. Dalam arti tersebut, penyuluhan lalu berarti “Menerangi jalan”.
Pemakaian penyuluhan dalam arti I ni sangat popular dalam konteks “Penyuluhan
masyarakat”, misalnya penyuluhan keluarga berencan, penyuluhan kesehatan, dan
lain-lain. Penyuluhan dalam pengertian popular tersebut mengandung dua hal:
-
Kegiatan dan aktivitas para penyuluh di lapangan: mereka sibuk
mengumpulkan data dan informasi, lantaas menganalisis data secara ilmiah.
- Memberi petunjuk praktis yang langsung
bermanfaat bagi orang atau masyarakat yang membutuhkan informasi tersebut.
b. Penyuluh dalam arti teknis-pastoral
dalam
arti teknis pastoral, bimbingan adalah suatu bantuan yang diberikan kepada
seseorang dalam hal membuat putusan dan penyesuaian serta mengembangkan
kemampuan untuk mengatasi maslaah hidupnya sendiri. Tujuan utama bimbingan
tidak lain daripada menumbuhkan suatu sikap kmandiri dan kemampuan untuk
bertanggungjawab atas hidupnya sendiri.
I.2. Tugas Penyuluh
a. Tugas pokok Penyuluh adalah melakukan dan
mengembangkan kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama dan pembangunan. Tugasnya
tidak hanya melakukan penyuluhan melainkan juga mengembangkan profesi
kepenyuluhan aga makin matang dan bermutu. Namun untuk dapat melaksanakan
kegiatan dan pengembangan kegiatan bimbingan dan penyuluhan seorang penyuluh
harus melakukan proses berpikir dan mengadakan tata administrasi. Tugas itu
harus dimulai dengan persiapan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pengembangan. Masing-masingnya mempunyai pokok-pokok yang harus dilalui agar
proses kegiatan bimbingan dan penyuluhan berjalan dengan baik.
b. Arah kegiatan yang dibuat
Arah
kegitan bimbingan dan penyuluhan harus ditempatkan dalam kerangka arah
pembangunan Bimas Katolik. Pada dasarnya ada dua hal yang harus diperjuangkan
oleh Bimas Katolik yaitu: pertama, mewujudkan
signifikasi internal. Artinya bahwa Bimas Katolik harus mempunyai dan
menunjukkan kekuatan yang memadai dan ciri khasnya sebagai korps Bimas Katolik.
Kedua, relevansi eksternal. Artinya
Bimas Katolik menegaskan diri dengan mewujudkan tugas pokok dan fungsi demi
pembangunan kehidupan keagamaan yang makin mendalam dan toleran.
Dalam
konteks kepenyuluhan, melakukan dan mengembangkan bimbingan atau penyuluhan
agama dan pembangunan berarti harus memahami arah kegiatan bimbingan yang
antara lain berisi:
- Membangun mental, moral dan iman umat Katolik.
- Mendorong peningkatan keterlibatan umat dalam
berbagai bidang kehidupan.
- mendorong peningkatan pembangunan bangsa dengan
berpartisipasi pada ajaran dan nilai-nilai keagamaan yang dianut.
I.3. Fungsi Penyuluh
Arah
kegiatan bimbingan atau penyuluhan akan menjadi nyata dan terarah bila penyuluh
memahami aspke-aspek penyuluhan. Fakta di lapangan menunjukan bahwa penyuluh
mempunyai fungsi sebagai:
a.
Pemberi informasi
Penyuluh
memberikan informasi yang benar mengenai kebenaran-kebenaran iman dalam Gereja
kepada umat Katolik. Ia tidak hanya memberikan informasi yang benar melainkan
juga ikut menjaga kebenaran iman.
b.
Edukatif.
Tuga
penyuluh adalah membina umat atau kelompok sasaran agar hidup imannya makin
tumbuh subur dalam kebersamaan dan kesatuan dengan seluruh Gereja dan negara.
Dalam hal ini cita-cita Ditjen Bimas Katolik menjadi 100% Katolik dan 100%
Pancasilais mendapat wujudnya.
c.
Konsultatif.
Tugas
penyuluh adalah menyediakan diri untuk turut memikirkan dan memecahkan
persoalan yang dihadapi umat, masyarakat demi tercapainya tujuan bersama. Di
dalamnya fungsi konsultatif juga mempunyai arti berani dan mau mendengarkan
persoalan umat sikap belarasa dan sepenanggungan mejadi modal utama dalam
mengembangkan diri menjadi manusia yang baik dan mandiri.
d.
Advokatif.
Penyuluh memiliki
tanggungjawab secara moral dan sosial membela hak-hak dasar hidup manusia agar
martabatnya makin terjamin. Tanggungjawab bersama atau sosial untuk
mengembangkan kehidupan bermasyarakat yang makin bermartabat. Untuk mencapai
hal tersebut dibutuhkan kerjasama dengan semua pihak dan melibatkan diri secara
riil dalam kehidupan bersama.
B. Penyuluh memberikan berbagai
pemahaman seperti:
1.
Memberikan pemahaman tentang bagaimana
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Iman
adalah jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan Diri kepada manusia. Iman
itu sebuah jawaban. Maka untuk beriman diperlukan sebuah keyakinan bahwa Allah
ada dan Dia menghubungi manusia dan hubungan itu mempengaruhi hidup manusia.
Mengakui bahwa Allah ada tidak hanya dengan pikiran, tetapi juga dengan hendak
dan dengan perbuatan. Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa berarti mengakui bahwa
Tuhan itu ada dan tanpa Dia manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Atau dengan
kata lain, bagi orang beriman segala kemampuan yang dimilikinya diakui juga
sebagai kemampuan yang berasal dari Tuhan. Tuhan memberi arti bagi seluruh
kehidupan. Manusia beriman adalah manusia yang hidup di dalam iman. Kenyataan
beriman ini bila dimengerti dengan pikiran manusia berarti menganggap Allah dan
pernyataan tetang Allah itu benar. Bila dipahami dari kehendak manusia, beriman
berarti berkemauan untuk menyerahkan diri kepada Allah. Sikap iman adalah sikap
manusia untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Di sini manusia beriman
sebagai makhluk yang mampu berpikir mengatakn:
Aku percaya bahwa Tuhan itu ada.” Dan sebagai manusia yang mempunyai
kemampuan untuk berkehendak baik mengatakan: “Aku mau menyerahkan diri kepada
Tuhan itu.” Dan sebagai manusia yang mempunyai kemampuan untuk bertindak dia
mengatakan: “Aku mau berbuat sesuai dengan kepercayaanku bahwa Tuhan itu ada.”
Hati manusia beriman diarahkan kepada Tuhan. Inilah yang disebut dengan istilah
iman kepercayaan. Manusia percaya bukan tentang apa, tetapi terutama manusia
percaya kepada siapa.
Bagi orang Katolik, beriman itu
disampaikan kepada manusia oleh Yesus Kristus yang adalah Putera Allah sendiri.
Penyampaian itu dilakukan dengan ajaran, dengan perbuatan, tetapi lebih-lebih
dengan mempertaruhakan diri-Nya demi kebenaran yang dikatakan-Nya itu.
Kebenaran itu adalah hubungan baru antara Allah dan manusia yang secara ringkas
mengatakan bahwa Allah rela berhubungan dengan manusia seperti layaknya seorang
bapa mencintai anaknya. Ketika dia menytakan bawa Allah adalah Bapa bagi manusia,
Dia tunjukkan kebenaran pernyataan-Nya itu tiak hanya dengan kata atau
ajaran-ajaran, tetapi juga dengan belas kasih yang biasanya dan seyogyanya ada
pada seorang bapa: mereka yang sakit disembuhkan, mereka yang berdosa diampuni.
Orang beriman lalu mendasarkan perbuatan dan tingkah lakunya berdasakan
kebenaran yang dipercayainya itu. Karena percaya bawhwa Allah mencintai diriya
sebagai bapa mencintai anaknya, maka manusia itu mencintai sesama manusia
sebagai saudaranya, karena sesama itu merupakan saudara se-Allah Bapa. Dalam
pengertian ini, musuhnya pun dicintai, karena musuh itu juga manusia. Dengan
mengasihi manusia sesamanya sebagai saudara itulah manusia menjadi anak Allah
Bapanya (Mat. 5:43-48).
Beriman
itu bukan hanya mengetahui atau menganggap benar. Beriman sekaligus juga
berarti menginginkan kebenaran itu sebagai hal yang baik, yang diusahakan untuk
dicapai, yang dirindukan, yang diusahakan dengan sekuat tenaga. Tetapi keduanya
itu pun belum cukup. Masih ada satu yang penting yaitu manusia harus menata
tingkah lakunya sesuai dengan kebenaran yang diimani dan dianggapnya baik itu.
Takwa berarti kesalehan hidup, takut
kepada Allah dan pantang berbuat jahat. Orang yang bertakwa adalah orag yang
takut kepada Tuhan dan hidup saleh. Dalam kamus lain dikatakan kata takut itu sudah tidak ada lagi. Takwa
berarti terpeliharanya sifat diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah
dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa berarti keisnyafan yang diikuti
kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Takwa juga berarti kesalehan hidup.[1]
Menurut pandangan Katolik, takut
kepada Tuhan merupakan sikap awal yang baik di dalam hidup beragama. Di dalam
Mazmur tertulis: “Beribadahlah kepada
Tuhan dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar.” (Mzmr. 2:11). Did
alam Kitab Amsal tertulis: “Takut akan
Tuhan adalah awal permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina nikmat dan
didikan.” (Ams. 1:7).
Puncak perkembangan hidup beriman
itu adalah cinta kasih, yang mendasari hubungan manusia dengan Allah. Manusia
dapat menyapa Allah sebagai Bapa, sehingga Pauus menulis: “Semua orang yang dipimpin oleh Roh Allah adalah anak Allah. Sebab kamu
tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu
telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita beseru:
“Ya Abba, ya Bapa!” Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita
adalah anak-anak Allah.” (Rom. 8:14-16).
2.
Memberikan pemahaman tentang Budi
Pekerti Luhur
Menjadi
pertanyaan di sini diperlukan pengetahuan tentang budi pekerti luhur bagi anak
bangsa? Karena manusia sendiri empunyai martabat yang luhur. Dia diciptakan
tapi tidak sama dengan ciptaan yang lain. Dia secitra dengan Allah, seperti
dinyatakan dalam Kitab Suci: “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan mereka “ (Kej. 1:27). Manusia itu
luhur, maka luhur pula budi pekertinya. Keluhuran budi pekerti itu membuatnya
mampu menimbang baik-buruknya tindakan yang dilakukan. Bagaimana mengetahui
bahwa sebuah tindakan itu buruk atau baik? Ada beberapa jawaba yang akan
diberikan:
a. Tindakan
manusia dilakukan atas dasar kesadaran bahwa itu dilakukan karena manusia mau
menaati hukum atau perintah Allah, atau perintah mereka yang dianggap menjadi
wakil Allah di dunia ini. Di sini orang
selalu bertanya manakah kaidah atau norma yang harus diaatinya? Terdapat
rumusan baku yang selalu dipergunakan untuk menentukan tingakh laku seseorang.
Bila tingkah laku sesuai dengan rumusan itu, maka tingkah laku itu dianggap
baik, bila tidak maka dianggap buruk. Manusia mempunyai kewajiban untuk menaati
hukum dan perintah Allah. Di dalam cara berpikir ini manusia menggambarkan diri
sebagai warga sebuah masyarakat atau sebuah negara dan dia menjadi warga negara
yang baik, bila dia sudah mengikuti kaidah atau aturan yang ada. Manusia
mempunyai satu tugas yang luhur yaitu menaati hukum. Di sini dosa lebih
dipandang sebagai pelanggaran hukum atau peraturan. Dosa itu mengakibatkan
hukuman. Bagaiana manusia diselamatkan? Pertama-tama kesalahan itu dihukum
dengan hukuman yang setipal. Bila hukuman itu telah dilaksanakan maka manusia
menjadi benar kembali.
b. Tindakan
itu dapat dinilai dari tujuan manakah yang mau dicapai dengan melakukan
tindakan itu? Pertanyaan pertama yang muncul dalam hubungan manusia dengan
Allah adalah apakah tujuan Allah menciptakan manusia? Atas dasar pertanyaan
itu, setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia juga ditanyakan apakah tujuannya?
Bila tujuan itu dianggap sesuai dengan tujuan Allah menciptakan manusia, maka
itu dianggap baik. Di sini manusia memandang dirinya sebagai rekan pencipta
yang senantiasa mencari apakah kehendak Sang Pencipta bagi dirinya. Manusia
memandang diri tidak hanya sebagai pelaksana aturan atau hukum, dia dapat
memandang dirinya sebagai pribadi yang secara aktif dipanggil untuk mencari
kehendak Allah. Tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan kehendak Allah itu.
Tak mustahil bahwa kehendak-Nya itu belum terumuskan sebgai hukum atau atuan.
Manusia adalah pencipta hukum dan aturan hidupnya sejauh hukum dan aturan itu
sesuai dengan rencana Allah yang selalu harus dicari bersama dengan manusia
lain. Di sini dosa adalah kegagalan baik dalam mencari kehendak atau rencana
Allah itu dan juga kegagaan dalam melaksanakan kehendak itu setelah manusia
menemukannya. Sebgai akibatnya, manusia mengalami sebagai pribadi yang merasa
kacau, bingung, rusak, dan cacat batinnya, karena dia emiliki kemampuan untuk
mencari kehendak-Nya, tetapi tidak dipergunakan atau dia sudah merasa
menemukan, tetapi dia tidak berhasil melaksanakannya. Dalam hal ini keselamatan
bagi manusia dimulai dengan pengarahan dirinya kembali kepada Allah yang
dilanjutkan denganpembaharuan kembali hubungannya dengan Allah yang adalah
Bapanya. Kapankah tindakan manusia disebut sebagai tindakan yang baik atau
buruk? Jawaban yang pertama mengatakan baik bila sesuai denganhukum atau aturan
tertulis. Jawaban yang kedua ini mengatakan bahwa tindakan itu baik bila sesuai
dengan rencana Allah, atau kehendak Allah yang harus dicari bersama oleh
manusia. Demikian pula sebaliknya.
3.
Memberikan pemahaman tentang berpikir
Filosofis
Filosofis
merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu philo yang
berarti mencintai dan sophia berarti kebijaksanaan. Berpikir filosofis berarti
berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia
yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak
baik. Berpikir benar saja belum mencukupi. Cara berpikir yang filosofis selalu
berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya yaitu berpikir benar dan
berkhendak baik.
Berpikir
filosofis itu juga berkaitan dengan usaha manusia beriman untuk dapat
mempertanggungjawabkan imannya seperti yang diharapkan oleh Petrus: “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk
memberi pertanggung jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggung jawab
dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemat
lembut dan hormat” (1 Petr.3:15). Manusia yang beriman itu adalah manusia
yang memiliki kemampuan untuk berpikir, maka imannya pun masuk ke dalam
pikirannya. Imannya menuntut agar dapat dipertanggungjawabkan oleh pikirannya.
BAB.
II
PERAN
PENYULUH AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH
UNTUK
MEMBANGUN KARAKTER ANAK BANGSA
Pada bab II ini penulis mencoba
memaparkan peran penyuluh agama Katolik di sekolah Katolik dalam usaha untuk
membangun karakter anak bangsa dari sudut pandang pendidikan nilai-nilai.
Penulis mengangkat pendidikan nilai bagi anak-anak karena hal ini sangat penting demi membentuk
kepribadian/karakter anak-anak sebagai penerus bangsa ini. Berikut ini adalah
bentuk-bentuk pendidikan nilai yang perlu diberikan kepada anak-anak sebagai
upaya untuk membangun karakter anak bangsa.
II.1.
Nilai-nilai Dasar untuk membangun karakter anak bangsa
II.1.1. Pendidikan
Karakter
Karakter adalah ciri khas
yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli
dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan
“mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan
merespon sesuatu (Kertajaya, 2010: p.3). Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
karakter diartikan sebagei sifat-sifat kejiwaan, tabiat, watak, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Menurut kamus psikologi, karakter adalah kepribadian
ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan
biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).
Secara harfiah karakter bermakna “kualitas mental atau moral, kekuatan moral,
nama dan reduplikasi” (Hornby dan Parnwell, 1972. p.49). Menurut Kamisa (1997: p.281),
berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Karakter akan memungkinkan
individu untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan, karena karakter
memberikan konsistensi, integritas, dan energi. Orang yang memiliki karakter
yang kuat, akan mamiliki momentum untuk mencapai tujuan. Begitu sebaliknya,
mereka yang karakternya mudah goyah, akan lebih lembat untuk bergerak dan tidak
bisa menarik orang lain untuk bekerja sama denganya. Dari bebrapa pengertian tersebut
dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau
moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang
menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakannya dengan individu lain. Dan
seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika telah berhasil menyerap nilai dan
keyakinan yang dikehendaki masyaraket, serta digunakan sebagai moral dalam
hidupnya. [2]
Penerapan pendidikan karakter di sekolah setidaknya dapat ditempuh
melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Strategi pertama ialah dengan mngintegrasikan konten pendidikan karakter
yang telah dirumuskan kedalam seluruh mata pelajaran. Strategi kedua ialah dengan mengitegrasikan pendidikan karakter kedalam
kegiatan sehari-hari di sekolah. Strategi
ketIga ialah dengan mengitegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan
yang diprogramkan atau direncanakan. Dan Strategi
keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah
dengan orang tua peserta didik. Pendidikan di Indonesia terutama pada jenjang
Sekolah Dasar masih belum menyentuh aspek karakter, padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan
segera bangkit dari ketinggalannya, maka Indonesia harus mengevaluasi sistem
pendidikan yang ada saat ini. Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, Perasaan, dan tindakan.
Menurut (Thomas Lickona, 1992), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara
sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan
dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis. Karakter merupakan kunci keberhasilan manusia,
karena tidak terbelenggu sifat materialistis dan mempunyai hubungan yang
harmonis dengan masyarakat dan sekitarnya. Kondisi saat ini, penghayatan dan
pengalaman nilai-nilai agama, etika dan moral yang cenderung merosot, sehingga
muncul perilaku penyimpang seperti konflik antar agama, antar pelajar,
mahasiswa, perkelahian antar remaja, perusakan lingkungan, narkoba dan lainnya.
Kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya, tanggung jawab, disiplin dan mandiri, jujur/amanah dan arif,
hormat dan santun, dermawan, suka menolong, dan gotong royog, percaya diri,
kreatif dan pekerja keras, kepemimpinan dan adil, baik dan rendah hati serta
toleran, cinta damai dan kesatuan (Megawangi, 2003). Lebih lanjut, Sumantri
(2010) menjelaskan beberapa esensi nilai karakter yang dapat di eksplorasi, di
klarifikasi dan direalisasikan melalui pembelajaran baik dalam intra dan
ekstrakulikuler antara lain sebagai berikut: 1) Ideologi; disiplin, hukum dan tata tertib, mecintai tanah air, demokrasi,
mendahulukan kepentingan
umum, berani, setia kawan/solidaritas, rasa kebangsaan, patriotik,
warga negara produktif , martabat/harga diri, setia/bela negara, 2)
Agama; iman kepada tuhan yme, taat pada
perintah tuhan yme, cinta agama,
patuh pada ajaran agama,
berakhlak, berbuat kebajikan, suka menolong dan bermanfaat bagi orang lain, berdoa
danbertawakal, peduli terhadap sesame, berperikemanusiaan,
adil, bermoral dan bijaksana, 3) Budaya;
toleransi dan itikad baik, baik hati, empati, tata cara dan etiket, sopan
santun, bahagia/gembira, sehat, dermawan, persahabatan, pengakuan, menghormati,
berterima kasih. Paling tidak terdapat
empat faktor yang mendukung mengapa pendidikan karakter dibutuhkan. Pertama, melalui pemberian wewenang
penuh terhadap satuan pendidikan (sekolah) yang di dalamnya terdapat unsur guru
sebagai pelaku utama pendidikan, diharapkan guru dapat lebih mengembangkan dan
memberdayakan diri untuk mengembangkan potensi dan dimensi peserta didik agar
mampu hidup bermasyarakat. Kedua,
tujuan pendidikan nasional sangat memberi perhatian dan menitikberatkan pada
penanaman dan pembinaan aspek keimanan dan ketaqwaan. Hal ini sebagai isyarat
bahwa “core value” pengembangan
pendidikan karakter bangsa bersumber
dari kesadaran beragama (religius), artinya input, proses dan output pendidikan
harus berasal dan bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan yang di landasi
keyakinan dan kesadaran penuh sesuai agama yang diyakininya masing-masing. Ketiga, strategi pengembangan kurikulum
pendidikan dasar adalah peekanan ada 4 (empat) pilar pedidikan yang di tetapkan
UNESCO, yaitu belajar mengetahui (learnig
to know), menjadi dirinya sendiri (learning
to be), belajar bekerja (learning to
do) dan belajar hidup bersama (learnig
to live together). Pengembangan kurikulum (program belajar) pendidikan
dasar harus memfasilitasi peserta didik
untuk belajar lebih bebas dan mempunyai pandangan sendiri yang di sertai dengan
rasa tanggung jawab pribadi yang lebih kuat untuk mencapai tujuan hidup
pribadiya atau tujuan bersama sebagai anggota masyarakat. Hal ini yang
selanjutnya menjadi hakekat dari pendidikan karakter. Keempat, misi pendidikan dasar ialah berupaya menggali dan
mengembangkan seluruh potensi dan dimensi baik personal, agama, susila dan
sosial yang dimiliki siswa. Melalui usaha ini memungkinkan setiap siswa, tanpa
kecuali, dapat mendorong tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang,
toleransi, keindahan, dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai sesuai tigkat
perkembangan dan kemampuan mereka.
Pendidikan karakter di sekolah adalah sautu system penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yag meliputi kompoen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sndiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
kokurikuler, pemberdayaan saran prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh
warga dan lingkungan sekolah.
Secara sosialkultural, pembentukan karakter dalam diri individu
merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kongnitif, afektif,
konatif, dan psikomotorik) dalam koteks interaksi social kultur (dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas proses sosialkulural tersebut dapat
dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional quotion), Olah pikir (intellectual quotion), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic quotion),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity quotion).
Pada dasarnya, anak yang
kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi sosialnya
rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar,
berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya
penanaman karakter di usia sekolah dasar dan mengingat usia sekolah dasar merupakan
masa awal pembentukan diri, maka penanaman karakter yang baik di usia sekolah dasar
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Demikian pula anak-anak yang
memiliki keanekaragaman karakteristik sangat diperlukan penanaman karakter
sedini mungkin melalui pendampingan baik dari orangtua, guru, maupun
masyarakat. Oleh karena itu perlu diterapkan pendidikan karakter yang
berbawawasan sosiokultural sejak usia sekolah dasar.
II.1.2.
Pendidikan Karakter Berwawasan Sosiokultural
Sebagaimana diamanatkan dalam
UU No. 20 /2003 Bab II Pasal 3 telah memungkinkan diajarkannya pendidikan
karakter pada tingkat SD sebagai materi pelajaran muatan lokal. Dalam UU
tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan UU di atas jelas bahwa, selain
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, fungsi pendidikan nasional kita
susungguhnya juga diarahkan untuk membentuk watak atau karakter bangsa
Indonesia, sesuai dengan potensi keunggulan budaya lokal bangsa yang beradab
dan bermartabat luhur. Dapat diartikan disini, bahwa siswa perlu mengakomodasi
segala potensi, termasuk kekayaan sosial-budaya atau sosiokultural yang ada. Untuk
ini diperlukan pengembangan pembelaran siswa yang memberi peluang bagi guru untuk
mengembangkan muatan karakter yang berbasis social-budaya yang terjadi di
sekitar proses pembelajaran itu berlangsung, yaitu pembelajaran yang akomodatif
yang ditinjau dari sudut pandang keunggulan lokal dan ber wawasan sosiokultural.
Cognitively
Based Vews
Idealized
Curriculum
Sociocultural Cognitively
Based Views Based
Views
Idealized
Curriculum
Curriculum
Humanistic views of
education
education
Gambar 1. A Humanistic View of
Education (Dubin, 1986: p.68).
Larson dan Smalley (1972: p.39)
menggambarkan sociocultural sebagai
sebuah blue print yang menuntun
perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dan ditetaskan dalam kehidupan keluarga.
Sociocultural mengatur tingkah laku
seseorang dalam kelompok, membuat seseorang sensitif terhadap status, dan
membantunya mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya dan apa
yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka. Sociocultural membantu seseorang untuk
mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan sebagai individu dan apa
tanggung jawab dirinya terhadap kelompok. Sosiokultural (sociocultural) juga didefinisikan sebagai gagasan-gagasan,
kebiasaan, keterampilan, seni, dan alat yang memberi ciri pada sekelompok orang
tertentu pada waktu tertentu. Sosiokultural adalah sebuah sistem dari pola-pola
terpadu yang mengatur perilaku manusia (Condon 1973: p.4). Kenyataan bahwa tak
ada masyarakat yang ada tanpa sebuah sosial-budaya menggambarkan perlunya sosiokultural
untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan biologis tertentu pada manusia.
Sosiokultural menentukan,
bagi masing-masing orang, sebuah konteks tingkah laku afektif dan kognitif,
sebuah template untuk kehidupan sosial
dan perseorangan. Namun, seseorang cenderung merasakan kenyataan dalam konteks social-budayanya
sendiri. Dengan demikian jelas bahwa sosio-kultural, sebagai kondisi
manifestasi perilaku yang mendarah daging dan mode dari persepsi, menjadi
sangat penting dalam sebuah entitas atau kelompok tertentu. Karakter adalah
bagaian dari sosial budaya, dan social budaya adalah bagian dari sebuah karakter.
Kedua hal ini berjalin dengan erat sehingga seseorang tidak dapat memisahkan
keduanya tanpa kehilangan arti dari keduanya tersebut. Untuk itu, di dalam pendidikan
karakter seseorang harus menyertakan pula kondisi social budaya yang dimiliki. Robinson-Stuart
dan Nocon (1996) mengumpulkan dan menyatukan beberapa perspektif pada
pembelajaran karakter berwawasan sosial budaya yang dilihat dalam beberapa
dekade terakhir ini. Mereka mengamati bahwa gagasan pembelajaran karakter
dengan sedikit atau tanpa pengertian yang mendalam mengenai norma-norma dan
pola-pola sosial-budaya dari beberapa komunitas. Perspektif yang lain adalah
dugaan bahwa suatu pendidikan karakter dapat menghadirkan kodisi social budaya
tertentu sebagai sebuah “facta”. Robinson-Stuart dan Nocon mengusulkan bahwa
para pelajar bahasa menjalani pembelajaran social budaya sebagai sebuah
"proses, yaitu, sebagai cara merasakan, menafsirkan, menafsirkan perasaan,
berada di dunia, dan berhubungan dengan di mana seseorang berada dan dengan
siapa seseorang bertemu" (dalam Brown 2000). Pembelajaran karakter berwawasan
sosial budaya adalah suatu proses pembagian makna di antara
perwakilan-perwakilan kehidupan sosial budaya tertentu. Hal ini bersifat
pengalaman, sebuah proses pembelajaran karakter yang terus-menerus bertahun-tahun,
dan menembus secara mendalam pada pola-pola pikir, perasaan dan tindakan
seseorang.
Sosial budaya sebenarnya
adalah bagian integral suatu interaksi antara budaya dan pemikiran. Pola budaya
kognitif dan kebebasan terkadang diisyaratkan secara ekplisit dalam tindakan,
contoh gaya prilaku akan menjadi faktor penentu budaya tertentu. Wilhem Von
Humdalk (1767-1835) yang mengklaim bahwa social budaya membentuk karakter seseorang.
Pendekatan yang sebenarnya menggambarkan sebagian apa yang dipresentasikan pada
buku, isu, penemuan, kesimpulan, dan prinsip pembelajaran dan pengajaran
karakter, prinsipnya adalah: a) Motivasi dari dalam merupakan dorongan utama
untuk belajar, b) percaya diri merupakan awal yang penting untuk keberhasilan,
c) karakter dan budaya merupakan suatu jalinan.
Kajian tentang pendidikan
karakter dalam hal ini ditujukan pada subtansi kebermaknaan atau dengan kata
lain mengkaji pendidikan karakter dari sudut pandang fungsi sebagai hakikat.
Berdasarkan pendekatan fungsional ini, peranan atau kebermaknaan pendidikan
karakter dalam konteks sosial dan konteks budaya sangat penting dan sangat erat
keberadaanya. Untuk itu, materi ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran sekolah
dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta selayaknya dan seyogyanya dikembangkan
melalui pendekatan fungsional dengan mengintegrasikan pendidikan karakter yang
berwawasan sosial dan budaya atau dengan istilah Sociocultural Based Character Education berbasis pada kearifan dan
keunggulan lokal Daerah Istimewa Yogyakarta kedalam materi pelajaran yang
relevan.
|
Gambar
2.
Kerangka Sociocultural Based Character
Education
Substansi dari proses
pengembangan pembelajaran karakter dimulai dengan mengidentifikasi masalah dan
kebutuhan (need analysis),
dilanjutkan dengan mengembangkan bahan, dan strategi pembelajaran (model development), dan diakhiri dengan
mengevaluasi efektivitas dan efisiensinya (evaluation).
Sebagai suatu sistem, pembelajaran karakter memiliki ciri sistem secara umum seperti
halnya sistem-sistem yang lain. Sistem adalah benda, peristiwa, kejadian, atau
cara yang terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil, dan
seluruh bagian tersebut secara bersama-sama berfungsi untuk rnencapai tujuan
tertentu. Setidaknya terdapat empat indikator dari sebuah sistem, yakni: 1) memiliki
atau dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil atau subsistem, 2) setiap
bagian mempunyai fungsi sendiri-sendiri, 3) seluruh bagian itu melakukan fungsi
secara bersama, 4) fungsi bersama tersebut mempunyai tujuan tertentu. (Hamalik,
2005).
Pembelajaran karakter sebagai
suatu sistem haruslah memiliki empat indikator yang dipaparkan di atas. Model
umum sistem pembelajaran karakter terdiri atas komponen input, proses, dan
output, bahkan dapat dilengkapi dengan outcome. Supaya jelas pemahamannya model
pembelajaran sebagai sistem dapat divisualisasikan dalam gambar berikut ini.
|
|
|
||||||||
|
||||||||||
Feedback
Gambar 3. Model
Pembelajaran Karakter Sebagai Suatu Sistem
Indikator input dalam sistem
pembelajaran karakter dapat berupa siswa, mata pelajaran, metode, alat, media
pembelajaran, perangkat-perangkat pembelajaran yang lain termasuk persiapan
atau perencanaan pembelajaran. Indikator proses berupa aktivitas
berinteraksinya berbagai input, baik raw input (masukan siswa), instrumental
input (masukan berupa alat-alat termasuk guru dan kurikulum), maupun
environmental input (masukan lingkungan fisik maupun nonfisik). Hasil dari
proses pembelajaran karakter yang berupa keluaran (output) merupakan indikator
ketiga. Maksudnya, output merupakan cerminan langsung maupun tidak langsung
dari proses pembelajaran karakter dalam mapel-mapel tertentu yang berlangsung.
Realisasinya, output pembelajaran dapat berupa prestasi belajar, perubahan
sikap diri, perubahan perilaku diri, skor atau nilai penguasaan kompetensi
tertentu, dan hal-hal lain yang masih berkaitan. Outcome yang berada pada
indikator keempat dalam sebuah sistem pembelajaran merupakan kebermaknaan
output di dalam sistem yang lebih luas atau sistem lain yang relevan. Di sisi
lain, outcome dapat juga dimaknai sebagai hasil atau ukuran dari dampak output.
Jika dikaitkan dengan contoh output di atas, outcome pembelajaran karakter dapat
digambarkan dengan seberapa jauh nilai-nilai luhur yang dicapai dalam
pembelajaran karakter memiliki makna atau dapat menopang sikap dan prilaku
sehari-sehari baik dilingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga dan
sosial masyarakat.
Berkaitan dengan pembelajaran
karakter sebagai suatu sistem, proses pembelajaran karakter sebagai mulok yang
terintegrasi dalam mapel SD di Daerah Istimewa Yogyakarta diperlukan apresiasi yang
mantap dari berbagai pihak, terutama guru dan siswa yang menjadi pelaku
sekaligus sasaran dalam pembelajaran karakter. Salah satu upaya tersebut
direalisasikan dengan pengembangan materi ajar pendidikan karakter yang
berwawasan sosiokultural (Sociocultural
Based Character Education). Dengan harapan, pelaksanaan pendidikan karakter
di SD memperhatikan aspek-aspek keunggulan sosial budaya yang ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang kental dengan budaya ramah tamah dan budi pekerti
luhur serta nilai-nilai luhur lainya yang tidak ada di daerah lain. Hal ini
sejalan dengan kurikulum KTSP yang menyatakan bahwa mulok harus dikembangkan
dengan mengakomodir keunggulan dan kearifan lokal di mana pendidikan karakter
tersebut diterapkan.
II.1.3.
Pengembangan Pendidikan Karakter SD Berwawasan Sosiokultural
Dalam tataran konseptual,
kurikulum muatan lokal sudah disosialisasikan oleh pemerintah jauh sebelum
pelaksanaannya tahun 1994, namun kenyataannya di lapangan berdasarkan penilaian
dan pemantauan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (1998), ternyata
pemahaman pihak pelaksana di lapangan termasuk guru terhadap kurikulum muatan
lokal belum sempurna. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memecahkan
permasalahan tersebut. Khususnya pembelajaran karakter ini dapat diwujudkan
dengan mengedepankan kondisi sosiokultural di mana pembelajaran itu dilakukan.
Mudjito AK, Direktur Pembinaan TK dan SD, menyatakan strategi pembelajaran muatan
lokal termasuk pendidikan karakter harus dibuat menyenangkan untuk anak-anak
didiknya.
Sehubungan dengan kondisi
itu, pengembangan materi ajar muatan lokal pendidikan karakter SD harus
diupayakan sesuai dengan konteks lingkungan sosiokultural siswa dengan mengacu
pada paradigma pembelajaran kebermaknaan yang menarik dan menyenangkan.
Harapannya, kompetensi siswa dalam pendidikan karakter berorientasi pada
kecakapan hidup yang relevan dengan tingkat perekembangan psikologis siswa. UU
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas pada pasal 38 dinyatakan kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok
atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk
pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Berkaitan dengan hat
itu, khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter di kelas,
guru sebagai pelaku di lapangan memiliki hak dalam memberikan andil dalam
menyusun kurikulum yang diberlakukan sekolahnya, karena masalah pemahaman
kondisi siswa dan sekolah menempatkan guru yang banyak bersinggungan dengan
masalah pelaksanaan kurikulum di lapangan, khususnya dalam pembelajaran
pendidikan karakter. Untuk itulah, diharapkan seorang guru memiliki daya inovatif
dan kreativitas dalam mengembangkan model pembelajaran maupun materi ajarnya.
Pola pengembangan pembelajaran
pendidikan karakter seperti ini sangat menguntungkan dalam hat mengeksplorasi
SDA maupun SDM yang dimiliki dalam rangka mencetak lulusan yang berkualitas. Pengembangan
materi ajar pendidikan karakter merupakan sumber utama dalam proses
pembelajaran antara guru dengan siswa selain sumber lain, oleh karena itu, guru
perlu memiliki kompetensi mengembangkan materi ajar pendidikan karakter
terutama yang berwawasan sosio kultural. Sehubungan dengan itu, wawasan
sosiokultural menjadi karakteristik dalam pengembangan materi ajar pendidikan
karakter ini bermaksud tidak melupakan keunggulan nilai-nilai luhur yang
terdapat pada budaya daerah yang berkerifan lokal. Artinya, nilai-nilai
kebudayaan daerah tidak dapat dilupakan oleh siswanya, sehingga pada saatnya,
semangat patriotisme, kebanggaan dan kearifan lokal dalam jangka panjang akan
memperjelas identitas dan jati diri setiap daerah melekat pada diri anak.
Sebagaimana upaya pemerintah dalam menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah,
dalam arti bahwa setiap daerah memang membutuhkan identitas, jati diri atau
ciri khas (unik) yang berbeda dengan yang lain dalam satu kesatuan Negara
Republik Indonesia.
Adanya sikap anarkis dan
pudarnya sikap nasionalisme pada saat ini disinyalir anak-anak (dalam usia
SD/dini) kurang dikenalkan dengan keluhuran nilai-nilai yang terkandung di
dalam budaya daerahnya. Mereka terlalu banyak disuguhkan budaya-budaya asing
yang secara tidak tersadar terbawa dalam proses pembelajaran dan perilaku
sehari-hari. Sebagai bangsa yang mandiri dalam menyikapi kondisi seperti itu,
wawasan sosiokultural dalam setiap pembelajaran (pendidikan karakter) menjadi
salah satu upaya alternatif dalam mengurangi pengaruh budaya asing yang sulit
untuk dihindari.
II.2.
Beberapa nilai dasar untuk membangun karakter anak bangsa
Belakangan ini kita dibuat menangis dengan hampir runtuhnya
karakter bangsa Indonesia. Mulai dari kasus korupsi yang sulit diberantas,
kurang pekanya generasi muda terhadap lingkungan sekitar, sampai masalah
kedisiplinan yang semakin payah. Sebagai seorang pendidik, tentu penulis tak
akan berpangku tangan saja menghadapi kenyataan ini. Perlu kiranya kita
menyatukan langkah untuk menanamkan kembali nilai-nilai dasar pendidikan
karakter bangsa.
Menurut penulis, ada 16 nilai-nilai Dasar Pendidikan
Karakter bangsa yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan di
sekolah-sekolah kita. Ke-16 nilai dasar itu dapat diintegrasikan dalam berbagai
kegiatan akademik dan kesiswaan. Dari sanalah kita dapat melakukan
pembinaan peserta didik.
Nilai-nilai
dasar pendidikan karakter yang harus diajarkan adalah:[3]
1.
Bertakwa (religious)
Para
guru harus mampu mengarahkan anak didiknya menjadi manusia yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Mampu melaksanakan perintah-Nya, dan mampu pula menjauhkan
segala larangan-Nya. Orang yang bertakwa akan sadar-sesadarnya bahwa dirinya
hanya hamba Tuhan yang harus bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya
di dunia. Kegiatan seperti tadarus dan sholat berjamaah adalah merupakan contoh
dari kegiatan meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik.
2.
Bertanggung jawab (responsible)
Para
guru harus mampu mengajak para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang
bertanggungjawab. Mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dan
berani menanggung segala resiko dari apa yang telah diperbuatnya. Rasa tanggung
jawab ini harus ada dalam diri para peserta didik kita. Kegiatan seperti pentas
seni adalah merupakan salah satu bentuk dimana siswa atau peserta didik diberi
tanggung jawab dalam mengelola sebuah kegiatan seni.
3.
Berdisiplin (dicipline)
Para
guru harus mampu menamkan disiplin yang tinggi kepada para peserta didiknya.
Kedisiplinan harus dimulai pada saat masuk sekolah. Budaya tepat waktu harus
ditegakkan. Siapa yang terlambat datang ke sekolah harus terkena sanksi atau
hukuman sesuai dengan peraturan tata tertib yang berlakuk di sekolah. Sioswa
harus diajarkan disiplin, dengan demikian dia kan terbiasa disiplin dalam
kehidupannya. Contoh yang paling mudaha adalah tepat waktu. Siswa harus dididik
untuk mampu tepat waktu.
4.
Jujur (honest)
Kejujuran
saat ini merupakan hal yang langka. Para guru harus mampu memberikan contoh
kepada para peserta didiknya untuk mampu berlaku jujur. Ketika jujur diajarkan
di sekolah-sekolah kita, maka para peserta didik tak akan berani berbohong
karena telah terbiasa jujur. Kebiasaan jujur ini jelas harus menjadi fokus
utama dalam pendidikan di sekolah. Sebab kejujuran telah menjadi barang langka
di negeri ini. Timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah akibat dari
karakter jujur yang kurang terpelihara dengan baik.
5.
Sopan (polite)
Mampu
berperilaku sopan adalah dambaan setiap insan. Dengan berlaku sopan orang lain
akan segan kepada kita. Karakter sopan ini harus dilatihkan kepada peserta
didik, dan dicontohkan bagaimana cara berlaku sopan kepada orang lain. Terutama
kepada mereka yang telah lebih tua daripadanya. Tentu karakter kesopanan
harus diperlihatkan dan dijunjung tinggi. Seringkali kita melihat karkater anak
sekolahan yang kurang sopan. Baik dalam berbicara mamupun bertindak. Hal inilah
yang harus kita rubah dalam pendidikan karakter bangsa.
6.
Peduli (care)
Peserta
didik harus dilatih untuk peduli kepada sesama. Belajar melakukan empati kepada
orang lain dengan rasa kepedulian yang tinggi. Ketika kita mau peduli, maka
saudara-saudara kita yang sedang mengalami kesulitan akan terbantu. Di situlah
akhirnya jiwa kepedulian kita teruji. Banyaknya musibah yang silih berganti di
negeri ini, baik musibah bencana alam maupun bencana lainnya harus membuat kita
semakin peduli dengan bangsa sendiri.
7.
Kerja keras (Hard work)
Peserta
didik harus dilatih untuk mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras,
tetapi juga mampu bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras
yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi.
Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang
telah dikerjakannya. Orang yang bekerja keras pasti mampu meujudkan impiannya
menjadi kenyataan.
8.
Sikap yang baik (good attitude)
Peserta
didik harus memiliki sikap yang baik. Dengan sikap yang baik akan terlihat
karakter dari peserta didik tersebut. Sikap yang baik kepada orang lain harus
dicontohkan oleh guru kepada para peserta didiknya. Dengan begitu orang lain
akan menaruh hormat kepadanya karena sikapnya yang baik. Perilaku orang dapat
dilihat dari sikap baik yang dimunculkannya. Oleh karenanya sikap yang baik
harus diajarkan para guru dalam pendidikan karakter di sekolah.
9.
Toleransi (tolerate)
Peserta
didik harus dilatih agar mampu bertoleransi dengan baik kepada orang lain.
Toleransi harus dipupuk sejak dini, apalagi kepada hal-hal yang bernuansa Suku,
agama, Ras, dan antar golongan (SARA). Perlu tolerasi yang tinggi agar mampu
memahami kalau kita berbeda tetapi hakekatnya tetap satu juga. Toleransi antar
umat beragama adalah salah satu bentuk toleransi yang paling jelas terlihat
dalam kehidupan sehari-hari.
10.
Kreatif (Creative)
Peserta
didik harus diajarkan agar mampu kreatif. Dengan begitu dia telah terbiasa
menciptakan sesuatu yang baru. Guru kreatif akan menghasilkan peserta didik
yang kreatif pula. Ajarkan peserta didik kita agar mampu kreatif dalam
menjalankan aktivitas kesehariannya. Anak kreatif tidak lahir begitu saja. Dia
lahir dari proses pendidikan yang berkelanjutan.
11.
Mandiri (independent)
Anak
yang terbiasa mandiri biasanya akan jauh lebih berhasil hidupnya daripada anak
yang kurang mandiri. Mandiri bukan hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri,
tetapi juga mampu membawa dirinya untuk tidak bergantung penuh kepada orang
lain. Kemandirian harus ditanamkan kepada para peserta didik kita bila ingin
anak menjadi mandiri.
12.
Rasa Ingin Tahu (curiosty)
Setiap
anak pasti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tentu sebagai guru kita
dituntut untuk mampu mengarahkan rasa ingin tahu mereka kearah hal-hal yang
positif seperti rasa ingin tahu mereka tentang bumi dan antariksa yang ilmunya
terus berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan dan
teknologi. Bila peserta didik memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, amak itu
adalah modal dasar untuk menjadi seorang ilmuwan muda dan kaya. Rasa ingin tahu
ini harus terus dimotivasi agar para peserta didik kita mampu juga meneliti di
usia remaja.
13.
Semangat Kebangsaan (Nationality Spirit)
Para
peserta didik harus didorong memiliki semangat kebangsaan. Dengan begitu akan
ada rasa bangga kepada bangsanya sendiri. Contoh yang paling mudah dari
semangat kebangsaan adalah sepakbola. Dengan permainan sepakbola, para pemain
dan penonton dituntut harus memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Apalagi
bila kita bermain di negeri orang lain.
14.
Menghargai (Respect)
Peserta
didik harus mampu menghargai hasil karya orang lain yang dilihatnya. Dengan
begitu ada penghargaan yang diberikan olehnya kepada orang lain. Saling
menghargai merupakan cerminan budaya bangsa yang harus dilestarikan secara
turuh temurun. Mengharagai pendapat orang lain adalah salah satu contoh dari
karakter saling menghargai sesama.
15.
Bersahabat (Friendly)
Ketika
peserta didik sudah terbiasa bersahabat, maka akan terasalah pentingnya sebuah
persahabatan. Bersahabat adalah karakter penting yang harus dimiliki oleh para
peserta didik. Kita harus memupuk rasa persaudaraan yang tinggi. Bila kita
saling bersahabat, maka kita akan semakin dekat dan akrab. Dengan begitu akan
semakin dekatlah hati kita masing-masing. Persahabatan bagai kepompong yang
akan mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Sungguh indahnya sebuah persahabatan.
16.
Cinta damai (Peace Ful)
Peserta
didik harus cintai damai. Cinta mencintai antar sesama anak manusia. Kita semua
bersaudara dan tidak selayaknya kita saling bertengkar. Kita cinta damai, tepai
kita pun cinta kemerdekaan. Siapa saja bangsa yang mengusik kemerdekaan kita,
maka kita akan melawannya dengan gagah perkasa karena kita lebih mencintai
bangsa sendiri.
Demikianlah
nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa yang dapat diterapkan di
sekolah-sekolah kita. Semoga kita semua dapat menyiapkan para generasi penerus
bangsa menjadi calon pemimpin masa depan yang memiliki karakter yang penulis
jabarkan di atas serta mempunyai kemampuan intektual yang tinggi. Kita pun
berharap akan muncul pemimpin masa depan yang berkarakter, berintegrasi yang
tinggi dan cerdas dalam melihat perkembangan sejarah bangsa.
II.3. Tujuan Pendidikan Nilai
Berbicara
tentang tujuan pendidikannilai sebenarnya berbicara tentang hakekat pendidikan
nilai itu sendiri. Menanyakan tujuan pendidikan nilai berarti menanyakan
gambaran hasil yang inin dicapai pada akhir proses pendidikan. Jadi menanyakan
profil peserta didik, khususnya anak pada akhir pendidikan yang direncanakan
dan berhasil. Hal-hal ini dilukiskan dalam dokumen-dokumen Gereja dan Negara:
a. Manusia
seutuhnya
Meskipun ungkapan
ini mengalami nasib kebanyakan istilah yang sering dipakai yakni menjai sedikit
banyak usang, namun memang merupakan ungkapan yang dipakai dalam dokumen-dokumen
Gereja seperti:
1. Populorum
Progressio 14: perkembangan sejati haruslah perkembangan seutuhnya yaitu
mengarah kepada perkembangan setiap mausia dan manusia seutuhnya. Bdk.
Sollicitudo rei socialis.
2. Sekolah
Katolik no. 8: Gereja memandang sekolah Katolik sebagai sarana istimewa untuk
memanjukan pembentukan manusia seutuhnya, mengingat sekolah adalah suatu pusat
pengembangan dan penyampaian konsepsi tertentu mengenai dunia, manusia dan
sejarah.
3. Awam
Katolik di Sekolah, Saksi iman no. 17: pembentukan menyeluruh manusia sebagai
tujuan pendidikan meliputi pengembangan semua kemampuan manusiawi anak didik,
persiapannya untuk hidup profesi, pembentukan perilaku etis dan sosial,
hubungannya dengan manusia yang transenden dan pendidikan religiusnya.
4. Dimensi
religius pendidikan di sekolah Katolik no. 99: suatu komitmen terhadap
pendidikan siswa seutuhnya.
5. GBHN
1988 Bab II B. Landanan Pembangunan Nasional: berdasarkan pokok pikiran bahwa
hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.[4]
II.3. Peran pendidikan Katolik dalam usaha
membangun karakter anak bangsa
II.3.1.
Pendidikan sebagai sarana pembina dan pembentuk mentalitas bangsa
Pengaruh pendidikan
ternyata tidak hanya tergantung dari sistem persekolahannya tetapi juga dari banyak faktor lainnya,
antara lain adanya struktur-struktur yang memberikan peluang dan adanya
keerahan masa depan. Tanpa hal-hal tersebut, hasil yang diharapkan oleh
kurikulum belum tentu dapat dicapai. Dengan kata lain, kondisi lingkungan
secara menyeluruh seperti misalnya kesadaran dan kepercayaan politik yang
dianuti oleh orang tua dan pimpinan sekolah, juga ikut menentukan
berhasil-tidaknya pendidikan. Begitu pula dengan pendidikan agama. Apabila
lingkungannya mendukung penghayatan keagamaan
maka pendidikan agama akan lebih berhasil daripada apabila lingkungannya
kurang mendukung. Ada beberapa penelitian mengenai hasil pendidikan agama di
beberapa negara Eropa dan Afrika. Di Zaire, misalnya praktek keagamaan ternyata
sangat ditentukan oleh sekolah. Di samping itu ditentukan pula oleh lingkungan
sekolah-sekolah tersebut. Di negara itu sepertiga tamatannya terdiri dari orang
Kristen yang baik, sepertiganya neo-animisme dan sepertiganya lagi neo-liberal.
Di Philipina, pendidikan agama menampilkan
awajah yang agak berbeda. Tamatan dari sekolah-sekolah Katolik ada yang menjadi
orang Katolik yang sangat jelek. Ada pula yang jadi orang Katolik yang lumayan.
Namun bisa diteliti lebih lanjut, ternyata sistem pendidikan agama yang lebih
terbuka yaitu yang lebih memberi kebebsan dalam praktek-praktek keagamaan
(Misalnya perayaan dan ibadat agama di sekola), dan sekolah-sekolah yang
melibatkan diri secara sosial, menghasilakan orang-orang Katolik yang baik.
Segala bentuk paksaan dalam pendidikan agama tidak akan efektif. [5]
II.3.2. Prinsip Dasar tentang Pendidikan Katolik
Dalam sebuah bukunya yang berjudul “Dio
educa il suo popolo” (Tuhan mendidik umat-Nya), Kardinal Carlo Martini
melukiskan peristiwa pembebasan Israel dari Mesir sebagai bentuk pendidikan
Tuhan. Dengan merayakan Paska Perjanjian Baru, kita mengenangkan Tuhan Yesus
yang membebaskan manusia dari perbudakan dosa. Dalam konteks itu pendidikan
dimengerti sebagai proses “pembebasan”. Demikian juga hal yang sama dikatakan
oleh Paulo Freire (1921-1997) seorang tokoh pendidikan yang berhasil
mengembangkan sebuah metode pendidikan yang responsif terhadap situasi
masyarakatnya sebagai sebuah proses “pembebasan”. Paulo Freire meyakini bahwa
panggilan dasar manusia adalah menjadi subyek yang bertindak dan mengubah
dunianya demi pengembangan hidup dan komunitasnya. Dunia dan masyarakat
bukanlah kenyataan yang harus diterima begitu saja karena memang demikian
adanya dan tidak dapat diubah. Akan tetapi belajar dari sejarah, orang
disadarkan bahwa mengarahkan sejarah demi tujuan tertentu adalah mungkin.
Demikian juga dalam bidang pendidikan, kita dapat berupaya untuk mengatur dan
mengarahkan meski terdapat campur tangan Negara dan bahkan perubahan jaman yang
menghambat proses pendidikan sebagai proses pembebasan. Pendidikan bagi Freire
dapat menjadi alat pelestarian sistem yang ada sekarang bahkan
kepentingan-kepentingan politik tertentu, atau sebaliknya pendidikan menjadi
sebuah praktek pembebasan (Pedagogy of the oppressed). Pendidikan
sebagai praktek pembebasan itu mengajak setiap orang untuk berpartisipasi aktif
dalam pembangunan dunia baru yang lebih adil dan lebih
manusiawi. Paus Paulus VI dalam ensikliknya Perkembangan Bangsa –
Bangsa, no. 83 menegaskan bahwa “Anda para pendidik hendaklah bertekad
menyemangati kaum muda untuk mencintai bangsa-bangsa yang miskin”. Dengan
pernyataan itu Paus mau mengatakan kepada kita kaum pendidik agar membuka hati
dan melihat realitas kehidupan masyarakat, untuk memajukan kehidupan yang lebih
baik demi kesejahteraan umum. Pendidikan merupakan tindakan budaya yang
seharusnya membebaskan dan tidak mengasingkan siswa di tengah realitas dunia.
Relasi antara anggota masyarakat dan relasi dengan dunianya ditelaah secara
kritis demi perkembangan siswa dan masyarakatnya. Pertumbuhan integral setiap
pribadi, kesejahteraan umum dan keutuhan ciptaan merupakan sasaran pendidikan
yang bersifat holistik. Itulah prinsip pendidikan untuk semua bidang
kehidupan.
Jadi prinsip dasar pendidikan adalah suatu usaha
bersama dalam proses terpadu-terorgarnisir untuk membantu manusia mengembangkan
diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestimya dalam pengembangan
masyarakat dan dunianya dihadapan sang pencipta. Pusat perhatian dalam
pendidikan adalah usaha untuk membagikan dan membangkitkan pengalaman nilai
dalam hidup manusia secara keseluruhan. Baik itu pengembangan intelektual,
ketrampilan, afeksi maupun lebih jauh lagi dalam bidang pendidikan moral atau
pendidikan suara hati. Pendidikan suara hati yang dikemukakan oleh sosiolog
Andre Benoit asal Belgia itu membantu manusia untuk dapat mengolah hidup dan
membuat discernment atas peristiwa, situasi, sesuatu hal dengan bantuan
argumentasi etis. Karena itu penting pendidikan moral/suara hati agar
memampukan orang untuk mengaktualisasikan suatu nilai dalam hidup. Banyak siswa
tahu tentang sesuatu nilai tetapi tidak tahu memraktekannya dalam hidup. Di
sini ada ketimpangan, karena siswa tidak bisa mengaplikasikan ilmunya untuk
pengembangan hidupnya dan masyarakat. Kecerdasan seseorang bukan diukur dari
kemampuan mendapat nilai akademik melainkan juga kemampuan mengaplikasikan ilmu
dan kedewasaan emosional dalam kehidupan konkrit bermasyarakat.
II.3.3. Memaknai sekolah yang berpredikat
Katolik
Konsili suci dalam tentang
pendidikan kristen “Gravissimum Educationis” menyatakan bahwa sangat
pentingnya pendidikan dalam hidup manusia serta dampak pengaruhnya yang makin
besar atas perkembangan masyarakat zaman sekarang. Memang bahwa tugas
menyelenggarakan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggungjawab adalah
keluarga. Namun demikian keluarga memerlukan bantuan seluruh masyarakat. Bahkan
akhirnya Konsili menegaskan secara istimewa bahwa pendidikan termasuk tugas
Gereja, bukan hanya masyarakat saja (bdk. GE, no. 1,3). Gereja bertugas
mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang, menyalurkan kehidupan Kristus
kepada umat beriman serta tiada hentinya penuh perhatian membantu mereka,
supaya mampu meraih kepenuhan hidup. Maka Konsili mendorong para Uskup di
wilayahnya atau para misionaris agar mengusahakan pendidikan Katolik di sekolah
yang memiliki makna istimewa bagi masyarakat luas. Sekolah katolik memiliki
misi Gereja menumbuhkan kemampuan akal budi, meningkatkan kesadaran akan tata
nilai, memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya,
mempersipkan para siswa untuk mengelola kejujuran tertentu, memupuk rukun
persahabatan antara para siswa dan mengembangkan sikap saling memahami.“Secara
khusus tugas dan hak mendidik itu dimiliki Gereja yang diserahi oleh Allah
perutusan untuk menolong orang-orang agar dapat mencapai kepenuhan hidup
kristiani. Para gembala rohani mempunyai tugas untuk mengurus segala sesuatu
sedemikian rupa sehingga semua orang beriman dapat menikmati pendidikan
katolik. Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi
manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula
kesejahteraan umum dari masyarakat maka anak-anak dan para remaja hendaknya
dibina sedemikain rupa sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral
dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh citarasa
tanggungjawab yang semakin sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka
dengan tepat pun pula dapat berperan serta dalam kehidupan sosial
karitatif”.
Baik ajaran Konsili maupun Kitab Hukum Kanonik
1983 (bdk. kann. 793-795) ingin mengajak kita semua anggota Gereja-Nya untuk
mewartakan, melayani dan memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah lewat
Sekolah Katolik. Nilai-nilai yang diperjuangkan melalui pendidikan adalah
pencerdasan anak bangsa, penanaman nilai-nilai kemanusiaan, pembinaan hati
nurani agar hidup bersama menjadi lebih baik. Nilai-nilai disiplin, kejujuran,
gotong royong, tolong-menolong, ketrampilan dalam kerjasama, kepemimpinan yang
bertanggungjawab demi kesejahteraan umum semua nilai itulah yang diperjuangkan
oleh Yesus dan hendaknya ditanamkan dalam diri siswa di Sekolah Katolik.
II.3.4. Gereja Katolik berkewajiban mencerdaskan anak
bangsa
Sekali lagi
memakai nama Katolik berarti sekolah itu mengatasnamakan Gereja membawa
kekatolikan termasuk ajarannya. Memang tidaklah mudah mengaplikasikan ajaran,
doktrin Gereja dalam situasi konkrit sekolah di bumi Indonesia yang serba
amburadul ini. Bila dipetakan masalah-masalah yang muncul mungkin akan
ditemukan setumpuk persoalan misalnya: kekurangan dana, siswa kurang, kualitas
dan mentalitas guru, prasarana kurang, gaji guru kecil, suasana tidak nyaman
kotor-panas, kurang disiplin, campur tangan Negara terhadap pendidikan dan
lainnya. Namun kita tidak bisa menghindar atau lari dari masalah karena itu
kita wajib mengatasi masalah pendidikan itu demi tugas panggilan mencerdaskan
bangsa dan pewartaan nilai-nilai Kerajaan Allah. Di situlah peran Gereja ikut
mencerdaskan bangsa melalui Sekolah Katolik. Bila kita mau dengan
sungguh-sungguh mengatasi persoalan itu akan mudah dilalui.[6]
II.4. Upaya
Pengembangan Akal Budi
II.4.1.
Mengembangkan daya kemampuan akal budi
Ini
merupakan salah satu tugas utama dari penyuluh agama Katolik untuk membentuk
karakter anak bangsa. Disadari bahwa proses pembentukan akal budi harus
dilaksanakan secara teratur dalam satu lembaga tertentu. Hal ini harus terjadi
karena akal budi manusia pada dasarnya akan mengalami pembentukan kearah yang
lebih baik jika telah melewati proses pembentukan yang teratur dengan usaha
yang tekun sebagaimana terjadi misalnya dalam proses belajar di sekolah sebagai
suatu lembaga pendidikan formal. Dengan kerjasama yang tercipta anak dibantu
untuk membentuk diri menjadi dewasa dalam berpikir, mampu menggunakan kemampuan
akal budi secara tepat.
Bidang
intelektual pada dasarnya merupakan bidang yang memperoleh perhatian serius
dalam suatu lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Karena itu hasil-hasil
yang dicapai pada dasarnya juga telah terencana. Bila hasil yang dicapai tidak
memuaskan, maka dituntut kesadaran dari sekolah untuk mengevaluasi diri dan berjuang
lebih gita lagi pentingnya usaha pembentukan daya kemampuan akal budi di
sekolah dapat dilihat lewat praktek pengajarannya. Praktek pengajaran sebagai
sarana pendidikan yang amat menekankan pembentukan segi intelektual, sering
terlihat mendominasi seluruh sistem pendidikan di sekolah apalagi sekolah
Katolik. Bahkan seringkali keberhasilan sekolah hanya dilihat pada prestasi
akademik tanpa memperhitungkan faktor-faktor lainnya. Namun ini menjadi
pertanda bahwa sekolah amat mementingkan pengembangan daya kemampuan akal budi.
[7]
II.4.2.
Menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat
Melalui
pelbagai pelajaran yang disodorkan nampak jelas bahwa para murid tengah
disiapkan untuk mampu memberikan penilaian tertentu. Akan nampak jelas bahwa
sebelum mampu memberikan penlaian, siswa sendiri harus diberi pendidikan nilai.[8]
Bidang ini amat berkaitan dengan hal pembentukan intelektual. Di sekolah anak
dilatih kecermatannya dalam memberikan penilaian-penilaian yang membutuhkan
kemampuan analitis tertentu.
II.4.3.
Memperkenalkan harta warisa budaya yang telah dihimpun oleh generasi masa silam
Pendekatan
ini harus terjadi di sekolah dalam bentuk kontak dan keterlibatan pribadi yang
memperhatikan nilai-nilai mutlak dalam suatu konteks hidup.[9]
Nilai-nilai mutlak inilah yang dinamakan sebagai warisan budaya. Melalui
pendidikan, nilai-nilai mutlak ini coba diperkenalkan dan disesuaikan dengan
kerangka hidup para murid. Tindak lanjut yang amat nampak adalah mereka
dituntut untuk menghubungkan bahan pendidikan dengan keadaan hidup nyata yang
mereka kenal. Karena itu “sekolah harus
menolong murid mengupas arti pengalaman-pengalamannya dan kebenaran dari
pengalaman itu. Tiap sekolah yang melalaikan kewajiban itu dan yang hanya
menyampaikan keseipulan-kesimpulannya yang terjadi, sekolah tersebut menghambat
perkembangan pribadi muridnya”.
Dalam
usaha ini peserta didik dibina untuk mampu melihat dan menghargai harta warisan
budaya, sekaligus mengembangkan kebudyaannya itu secara lebih baik dengan
memberikan warna dan masukan-masukan yang membangun demi tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Berhadapan dengan pluralisme kebudayaan yang ada,
sekolah-sekolah dituntut untuk memberikan jaminan pendidikan demi terbentuknya
kemampuan untuk memutuskan secara tepat nilai-nilai kemanusiaan di tengah
konsepsi-konsepsii dan perilaku yang bertentangan. Hal ini hanya dapat terjadi
jika nilai-nilai budaya tersebut telah tertanam dalam diri tiap peserta didik.
II.4.4.
Mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai
Point
ini menggambarkan secara jelas keterarahan proses pendidikan yang terjadi di
sekolah di mana sekolah tidak hadir hanya sekedar lembaga pengajaran tetapi
sebagai lembaga pendidikan yang salah satu tujuannya terarah pada kedewasaan
anak untuk mampu memiliki sifat kepekaan terhadap nilai-nilai. Dengan kata
lain, sekolah bukan hanya berhubungan dengan pembentukan kemampuan intelektual
tetapi juga merupakan tempat orang mengetengahkan sederetan nilai yang dihayati
dengan giat antara lain juga berhubungan dengan pendidikan moral di sekolah.
Dalam proses demikian anak didik mengenal bahwa manusia manusia hidup dengan
moralitas tertentu dan menjunjung tinggi nilai-nilai itu.
Karenanya
sekolah harus menampilkan diri juga sebagai tempat pendidikan nilai agar
peserta didik belajar untuk peka terhadap nilai-nilai hidup manusia, sekaligus
mengembangkan nilai-nilai didik secara teratur dan manusiawi, mengikuti proses
tertentu.
II.4.5.
Membantu kaum muda mengembangkan kepribadian mereka dan berkembang menjadi ciptaan baru
Pada bagian ini sebenarnya mau menjawab secara benar
konsekwensi kehadiran sekolah Katolik dan penyuluh Agama Katolik sebagai
pelayan bagi Gereja. Sekolah Katolik dan Penyuluh Agama Katolik bersama-sama
mengusahakan tercapainya pribadi setiap murid melalui pelbagai kegiatan di
sekolah. Para siswa dididik untuk bertumbuh sesuai perkembangan dirinya ke arah
kedewasaannya. Para siswa juga diupayakan agar bisa berkembang menjadi ciptaan
baru. Mengenai hal ini Kongregasi Suci untuk pendidikan Katolik menegaskan:
“Pendidikan bukan semata-mata bertujuan untuk memupuk kematangan dalam pribadi
manusia. Lebih dari itu, tujuan pokok adalah agar saat pribadi yang dibaptsi
secara bertahap diperkenalkan dengan pengetahuan tentang rahasia penebusannya
tiap hari sedapat mungkin bertambah menyadari anugerah iman yang telah
diterimanya”.
Sekolah Katolik dan Penyuluh Agama Katolik
harus mampu mendidik peserta didik untuk menghayati secara benar kehadirannya
sebgai ciptaan baru. Arti kata menjadi baru pada dasarnya direferensikan pada
karya keselamatan yang telah dihadirkan oleh Kristus dalam dunia dan telah
diterima manusia berkat permadiannya. Dengan demikian usaha menghantar orang
untuk berkembang menjadi ciptaan baru diartikan sebagai usaha mencapai
kedewasaan iman. Kedewasaa iman dijadikan patokan karena pendidikan yang
diperjuangkan dalam sekolah Katolik tertuju pada kedewasaan dalam iman
Kristiani. Di sinilah digambarkan secara jelas bahwa sekolah Katolik dan
penyuluh Agama Katolik ikut melaksanakn tugas penyelamatan yang dipercayakan
Allah kepada Gereja-Nya. Itulah sebabnya berulang kali Paus Yohanes Paulus II
memberikan dukungan yang besar kepada sekolah Katolik sekaligus menyadarkan
mereka akan tugasnya membantu para murid mencapai kematangan iman.
II.4.6.
Mengarahkan seluruh kebudayaan manusia akhirnya pada pewartaan keselamatan
Suatu kenyataan yang dihadapi oleh para pendidik dan juga
mereka yang berperan dalam pembentukan karakter anak bangsa yaitu berhadapan
dengan kebudayaan manusia yang bervariasi. Pluralisme kultural ini di satu
pihak merupakan lahan subur bagi pewartaan keselamatan, tetapi di lain pihak
merupakan tantangan besar bagi usaha ini. Kehadiran pluralisme kultural ini
mendesak sekolah maupun mereka yang berperan dalam pembentukan karakter anak
bangsa (penyuluh Agama Katolik) untuk terus menjamin kehadiran mentalitas
kristiani dalam masyarakat tersebut. Itu berarti di dalam sekolah Katolik,
seluruh kebudayaan manusia memperoleh warna khusus yang memungkinkan bagi
pewartaan keselamata. Sekolah Katolik menjadi tempat di mana terjadi sintesa
kebudayaan dan iman serta iman dan hidup. Kongregasi Suci untuk Pendidikan
Katolik menegaskan: “Pada dasarnya tugas sekolah merupaka sintesa dari
kebudayaan dan iman serta snitese dari iman dan hidup. Yang pertama, dicapai
denga mengintegrasikan semua aspek yang berbeda-beda dari pengetahuan manusiawi
melalui mata pelajaran yang diajarkan dengan cahaya Injili. Kedua, dicapai
denga menemukan keutamaan-keutamaan yang khas secara Kristiani”.
Untuk mencapai
misi ini pendidikan yang terarah pada kematangan iman menjadi suatu tuntutan
yang maha penting di sekolah. Tugas menumbukan iman dan kedewasaan orang
beriman mendorong sekolah Katolik untuk mendidik murid-murid menjadi orang
Kristen seutuhnya. Dengan kedewasaan iman ini diharapkan mereka yang menamatkan
sekolah Katolik mampu meninstesakan segala peraturan yang ada dalam masyarakat
tentang dunia, kehidupan dan manusia dengan terang iman yang telah terbentuk
dalam dirinya.
Cara yang ditempuh untuk mencapai kedewasaan iman adalah
katekese (pengajaran Agama) di sekolah. Mengenai hal ini dikatakan: “Pengajaran
Agama menjadi tugas khusus sekolah yaitu mewariskan kebudayaan secara kritis
dan sistematis dengan cahaya iman dan menampilkan kekuatan keutamaan Kristiani
melalui integrasi kebudayaan dengan iman dan ingrasi iman dengan kehidupan. Akibatnya,
sekolah Katolik menyadari pentingnya pengajaran Injil seperti yang disampaikan
Gereja Katolik. Pengajaran Injil benar-benar merupakan unsur dasar dalam proses
pendidikan karena membantu murid-murid mampu memilik secara sadar penghayatan
cara hidup yang bertanggungjawab dan teguh.
Dengan demikian pengajaran Agama di sekolah merupakan
suatu keharusan. Pengajaran Agama Katolik pada dasarnya tidak bertentangan
dengan pengakuan Gereja terhadap kebebasan beragama. Dengan pengajaran Agama
dimaksudkan agar nilai-nilai Kristiani yang sifatnya universal boleh tertanam
dalam diri peserta didik agar mereka mampu menjadi pribadi pembawa keselamatan
kepada sesama manusia sekaligus ikut mengembangkan kesejahteraan masyarakat.
Penutup
Di atas telah dijelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
tugas penyuluh Agama Katolik dalam usahanya untuk membentuk karakter bangsa.
Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan saat ini kita bisa melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa pengaruhnya sungguh sangat besar bagi bangsa ini
terutama untuk anak-anak sebagai penerus bangsa ini di kemudian hari nanti.
Oleh karena itu dalam usaha untuk membentuk karakter bangsa ini penulis
berupaya untuk masuk pada upaya membentuk karakter anak bangsa dari segi
pembinaan anak-anak di bangku sekolah terutama membekali anak-anak atau peserta
didik dengan pengetahuan agama dan pembentukan kepribadian dalam kehidupan.
Bagi penulis, hal-hal yang sudah diungkapkan di atas merupakan
dasar pijakan bagi setiap pribadi agar dalam praktek hidup sehari-hari
seseorang dapat berlaku sebagaimana mestinya yang diharapkan oleh para pembina,
orang tua, guru maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Ini bukanlah tugas
yang gampang bagi seorang penyuluh agama Katolik karena itu dibutuhkan kerja
keras dalam mendampingin dan membina anak-anak bangsa serta membekali mereka
dengan dasar pengetahuan maupun iman yang kokok agar mereka dapat tumbuh dan
berkembang menjadi pribadi yang baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Aeni, A.N. Pendidikan
Nilai di SD Tanggung Jawab Seluruh Bidang Studi”. Makalah pada Konferensi
Pendidikan Dasar (Kopendas) 1 Tingkat Internasional 10-11 Oktober 2009,
Sumedang.
A. Sewaka. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta:
KWI/MNPK, 1993.
Dasim
Budimansyah. Penguatan Pendidikan Karakter
Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara
Press, 2010.
Dr. Piet Go & Prof. Dr. W.F. Maramis. Pendidikan Nilai Di Sekolah Katolik. Malang:
Dioma, 1990.
Furqon Hidayatullah. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka, 2010.
Hermawan
Kertajaya,. Grow with Character: The
Model Marketing. Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2010.
Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, “Sekolah
Katolik”, Terj. F. Darmanto, Terkutip dalam Ajaran
dan Pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik. Jakarta: Grasindo, 1992),No.
27.
Peter Salim & Yenny Salim. Kamus Bahasa
Indonesai Kontemporer. Modern English Press: Jakarta, 1991.
Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta:
Aksara Baru, 1985.
Slamet I.S.
Pembinaan Watak Utama Pendidikan.
Jakarta: UI Press, 1981.
Sumantri, E. Pendidikan Karakter Harapan Handal Bagi Masa Depan Pendidikan Bangsa. Kuliah
Umum Prodi Pendidikan Umum SPs UPI, 2010.
Waini Rasyidin. Landasan Filosofis Pendidikan Dasar. Bandung: SPs UPI, 2007,
[1] Peter
Salim & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesai Kontemporer, (Modern English
Press: Jakarta, 1991), hal. 1514.
[2]http://www.google.co.id/#sclient=psy,ab&hl=id&site=&source=hp&q=Dinamika+Pendikan+Nilai&oq=Dinamika+Pendikan+Nilai.
[3] www. edukasi.kompasiana.com/.../nilai-nilai-dasar-pendidikan-karakter-bangsa.com
[4] Dr. Piet
Go & Prof. Dr. W.F. Maramis, Pendidikan
Nilai Di Sekolah Katolik, (Malang: Dioma, 1990), hlm. 7-8.
[5] Prof.
Dr. Theodorus Hanf, Pendidikan di Negara
Berkembang; dalam Mencari Pendidikan Alternatif, (Seri Forum LPPS No. 9 : Jakarta, 1987), hlm. 5.
[7] Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta:
Aksara Baru, 1985),hlm. 81-82.
[8] A.
Sewaka, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun
2000, (Jakarta: KWI/MNPK, 1993), hlm. 74.
[9]
Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, “Sekolah Katolik”, Terj. F. Darmanto,
Terkutip dalam Ajaran dan Pedoman Gereja
tentang Pendidikan Katolik, (Jakarta: Grasindo, 1992),No. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar