DEKRIT “UNITATIS
REDINTEGRATIO”
TENTANG GERAKAN EKUMENE
Oleh: Vitalis Letsoin
Sejarah telah mencatat bagaimana Gereja mengalami
perpecahan. Pada tahun 1054, skisma terjadi antara Gereja Barat dan Gereja
Timur. Ini berlanjut pada abad ke-16 dengan gerakan Reformasi. Peristiwa yang memilukan ini
mendorong Gereja-gereja untuk membangun usaha-usaha yang memungkinkan
terciptanya relasi antar mereka. Berkembanglah kemudian apa yang disebut gerakan ekumene. Gereja-gereja Protestan
mengkoordinasikan usaha di antara mereka dalam Dewan Gereja-gereja se-Dunia
[World Council of Churhes] pada tingkat nasional dan internasional. Gereja
Katolik pun demikian, sejak Konsili Vatikan II Gereja merumuskan sikapnya yang
tegas untuk mendukung gerakan ekumene. Bahkan
Konsili Vatikan II sendiri merupan konsili ekumenis karena bertujuan memulihkan
kesatuan seluruh umat Kristen di muka bumi [bahkan
juga seluruh
umat manusia].[1] Namun, bagaimana sesungguhnya sikap dan pandangan Gereja
Katolik terhadap gerakan yang berkembang di kalangan Gereja-gereja Protestan
itu? Kesatuan Kristen seperti apa yang hendak didorong oleh Gereja Katolik? Secara
kritis bagian ini akan menjelaskan perkembangan sikap ekumenis Gereja Katolik
sebelum dan sesudah Vatikan II, serta prinsip-prinsip kesatuan yang tercantum
dalam dekrit Unitatis Redintegratio sebagai pedoman partisipasi umat Katolik
dalam gerakan ekumene.
2.1. Perkembangan Sikap Ekumenis Gereja
Katolik Sampai Konsili Vatikan II
Konsili
Vatikan II dapat dikatakan merupakan titik tolak hidup Gereja Katolik
yang ekumenis. Dengan titik tolak, tidak dimaksudkan
bahwa seakan-akan hidup Gereja Katolik yang ekumenis tidak pernah ada sebelumnya. Sikap ekumenis
sebagaiman dicetuskan Vatikan II mempunyai akar pada Tradisi hidup Gereja,
terutama tampak dari kesaksian para Bapa Gereja, juga para misionaris dan
ajaran para Paus yang menunjukan sikap positif Gereja
Katolik terhadap saudara-saudari yang
terpisah. Memang ajaran yang menunjukan sikap positif terhadap mereka itu, bersifat sporadis, tersebar dan kurang menjadi
sikap dasar yang menonjol. Sikap yang menonjol seringkali kebalikannya,
eksklusivisme, triumphalisme, dan semacamnya. Akibatnya, Gereja Katolik
sebelum Vatikan II tampak tertutup
dan kurang memandang positif Gereja-gereja lain.
2.1.1. Sikap
Gereja Katolik Sebelum Konsili Vatikan II
Selama
abad ke-19 gerakan ekumene belum dirasakan sebagai kewajiban oleh Gereja
Katolik. Dilatarbelakangi oleh Konsili Vatikan I, Gereja Katolik menyatakan
sikap tegas tentang keesaannya, yakni Gereja yang satu-satunya, kudus, Katolik
dan rasuli [apostolik]. Setiap orang yang memisahkan diri dari Gereja Katolik
sebenarnya mereka telah memutuskan hubungan dengan Gereja yang benar.[2]
Bagi Gereja Katolik, gerakan ekumene tidak lain dari kembalinya saudara-saudari
yang terpisah itu ke dalam Gereja Katolik, dan selama di samping Gereja Katolik
masih terdapat Gereja-gereja lain, maka ekumene yang sempurnah belum ada.[3]
Pemikiran inilah, yang berakar dalam ajaran Gereja Katolik tentang Gereja, yang
kemudian melatarbelakangi sikap Gereja Katolik untuk tidak turut serta dalam
usaha-usaha dan gerakan yang menamakan diri ekumene. Bahkan di dalam Ensiklik
Mortalium Animos tahun 1928, kepausan dengan tegas melarang keterlibatan umat
Katolik dalam gerakan ekumene. Meskipun pada konferensi Faith and Order di
Edinbur (1937) terdapat lima orang Katolik yang hadir, tetapi ditekankan bahwa
mereka tidak mewakili Gereja Katolik.[4]
Gereja
Katolik menamakan dirinya “Ecclesia Catholica” yang mengumumkan bahwa dialah
satu-satunya Gereja yang benar. Kepada Gereja-gereja reformasi [Protestan]
Gereja Katolik menyatakan bahwa dia saajalah gembala kebenaran Tuhan, dan
kepadanya diserahi tugas mengajar, memelihara dan mewartakan keselamatan Allah.[5]
Oleh karena itu setiap Gereja yang memisahkan diri dari Gereja Katolik mesti
menyadari kesesatannya dan berkewajiban untuk menggabungkan diri kembali di
dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik memandang perpecahan yang terjadi dalam
tubuh Gereja-gereja Protestan sebagai kutukan,
hal itu karena mereka telah memisahkan diri dari satu-satunya Gereja yang
menyelematkan. Pada prinsipnya, “di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan”
[extra Ecclesia nulla salus], sehingga barang siapa yang memisahkan diri dari
Gereja Katolik maka anathema sit-lah
dia [terkutuklah dia].[6]
Singktanya, Gereja Katolik merumuskan dirinya sebagai satu tubuh, Kristus
adalah kepala Gereja, dan wakilnya, paus, serta seluruh umat sebagai
anggota-anggotanya. Kristuslah yang memerintah atas Gereja yang kelihatan ini.[7]
Sebelum
Konsili Vatikan II perhatian Gereja Katolik terhadap gerakan ekumene adalah
urusan pribadi orang-orang Katolik. Terutama, dilatarbelakangi oleh situasi
Perang Dunia II, beberapa orang Katolik dan Protestan di Jerman, Belanda dan Perancis
mencari hubungan yang lebih akrab melalui pertemuan dan pusat-pusat studi demi
usaha bersama meyelesaikan krisis akibat perang. Meskipun demikian, dalam
ensiklik “Mortalim Animos" paus secara terang-terangan melukiskan
perkumpulan-perkumpulan itu sebagai perkumpulan sembarangan orang, baik Kristen
maupun bukan Kristen.[8] Tampaklah bahwa Gereja Katolik tetap pada
prinsip keesaannya, sehingga setiap hubungan ataupun persekutuan yang menyebut
diri ekumene harus lahir dari keesaan Gereja Katolik.
2.1.2. Konsili Vatikan II; Sikap Ekumenis
Di
balik sikap Gereja yang radikal, sebenarnya telah ada keterbukaan ke arah
persatuan Gereja. Pertama-tama dapat disebutkan usaha-usaha Gereja Katolik
untuk mengadakan percakapan bilatelar dengan Gereja-gereja yang terpisah, yakni
Orthodoks Timur dan Gereja Anglikan. Untuk hubungan dengan Gereja-gereja Timur
didirikan pada tahun 1917 Congregatio pro
Ecclesia Orintali [Perhimpunan untuk Gereja Timur] dan pada tahun 1923
didirikan Institut Timur di Roma. Baru pada zaman paus Yohanes XXIII sikap anathema [pengutukan] timbal balik
(1054) dicabut dari dua belah pihak pada tahun 1965 setelah pertemuan antara
paus Paulus VI dan patriakh Constantinopel di Yerusalem (1964). Sedangkan
mengenai hubungan dengan Gereja Anglikan diadakan percakapan di Mechelen [sekarang Malines, Belgia] antara 1921
dan 1925, namun tidak berhasil. Baru sesudah konsili Vatikan II percakapan
antara Gereja Katolik dan Gereja Anglikan mulai lagi. Dibentuklah suatu panitia
bersama yang menghasilkan laporan terakhir pada tahun 1982. Di dalamnya terlihat
kemajuan besar dalam saling mengakui sakramen, tetapi Pimpinan Paus dan
pengakuan Keuskupan Anglikan sebagai keuskupan sah tetap merupakan pokok-pokok
yang sulit.[9]
Kembali lagi pada gerakan ekumene sebagaimana yang dibahas dalam tulisan ini
[Gereja Katolik dan Gereja-gereja Protestan], sejak Konsili Vatikan II
usaha-usaha ekumenis mulai mendapat wajahnya yang kongkrit. Memang Protestan
menjadi sangat gencar dalam gerakan ekumene, namun di dalam tubuh Gereja
Katolik sendiri terdapat delapan hari yang secara resmi ditetapkan paus untuk
mendoakan persatuan Gereja-gereja, serta penderitaan umat manusia akibat Perang
Dunia II [setiap tahun dalam bulan Januari, tanggal 18-25]. [10]
Penunjukan
paus Yohanes XXIII[11]
menduduki tahta kepausan dikatakan membuka zaman baru dalam keseluruhan sejarah
hidup Gereja. Pada tanggal 25 Januari 1959, Paus memaklumkan rencana untuk
mengadakan konsili ekumene. [Catatan;
kata “ekumene” dapat menyebabkan beberapa kekeliruan. Kata ekumene dalam
khotbah paus pada hari itu berarti konsili umum, bukan konsili persatuan.
Tetapi pada waktu itu gerakan ekumene kuat dan mengartikan konsili ekumene
sebagai konsili persatuan].[12]
Paus sangat berminat terhadap wujud persatuan, tetapi konsili baru dimaklumkan
untuk membaharui Gereja Katolik. Tentunya Gereja yang diperbaharui, hendaknya
menggalang persatuan baru dengan Gereja dan golongan bukan Katolik.[13]
Walaupun Konsili Vatikan II merupan konsili untuk Gereja Katolik, paus Yohanes
Paulus XXIII berpendapat bahwa pembaharuan Gereja tidak mungkin kalau
“saudara-saudara yang terpisah” tidak dilibatkan. Untuk itu didirikan pada
tahun 1960 Sekretariat untuk Pembinaan Persatuan Kristen [Promoting Christian
Unity].[14]
Dan sebagai juru bicara paus untuk gerakan itu, sekaligus pemimpin sekretariat
ialah Kardinal Bea.[15]
Walaupun persatuan dengan Tahta Petrus tetap dipertahankan sebagai bentuk
keesaan yang paling sempurnah, namun hal ini tidak lagi merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk mendorong terciptanya kesatua Kristen.[16]
Konsili Vatikan II telah memungkinkan Gereja Katolik berkembang ke arah baru
yang tak terbayangkan sebelumnya.
2.1.3. Dekrit
Konsili Vatikan II Tentang Ekumumenisme
Khusus mengenai gerakan ekumene, Konsili Vatikan II
mengeluarkan dekrit yang bernama “Unitatis Redintegratio” [Pemulihan Kembali
Kesatuan], yang mendobrak isoleman Roma dan mengajak orang-orang Katolik untuk
bekerja sama dengan saudara-saudara yang terpisah. Oleh panitia pelaksana
Konsili Vatikan II disiapkan tiga dokumen pada bulan Desember 1961 yang
kemudian disatukan menjadi dekrit. Pertama,
dokumen tentang Ekumenisitas Gereja yang menjelaskan keesaan dalam pluralitas
sebagai hakikat Gereja. Kedua, dukumen
yang berisikan usul-usul praktis bagi pelaksanaan gerakan ekumene, dan ketiga dokumen tentang Ekumene Gereja
Katolik. Setelah membahas ketiga dukumen ini pada bulan Desember 1962, konsili
kemudian memutuskan bahwa ketiga dokumen ini harus disatukan menjadi Dekrit
tentang Ekumenisme. Konsep untuk dekrit ini dibicarakan pada tahun 1963 dan
1964, dan pada 21 November 1964 dekrit ini diproklamasikan oleh paus.[17]
Suatu dokumen yang dalam kalimat pertama dengan tegas berkata; pemulihan
kesatuan antara segenap orang Kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili
Vatikan II [UR 1].
Selain Unitatis
Redintegratio, semangat ekumenis didorong juga oleh Konstitusi Dogmatis tentang
Gereja [de Ecclesia] dan Terang Dunia [Lumen
Gentium], yang mengubah pemahaman Konsili Vatikan I tentang Gereja. Gereja
Katolik menyadari bahwa di luar batas-batasnya terdapat orang-orang Kristen
yang merupakan umat Allah, sehingga Gereja Katolik wajib memelihara hubungan
persaudaraan dengan mereka. Terutama gerakan ekumene tidak hanya inisiatif
Gereja-gereja untuk bersatu, tetapi sejatinya merupakan kehendak dan karya
Allah sendiri.[18]
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab I, istilah ekumenisme tidak berarti berbeda dengan ekumene. Tidak dimaksudkan
bahwa gerakan ekumene dipandang sebagai aliran [isme] di samping aliran dan ideologi-ideologi lain, tetapi merupaka
sikap ekumenis Gereja Katolik mendukung gerakan ekumene yang sedang berkembang.
Gereja Katolik tidak bermaksud mengusahakan gerakan ekumene sendiri sebagai
saingan terhadap gerakan ekumene yang suda ada, tetapi ingin menemukan
asas-asas Katolik untuk berpartisipasi
dalam gerakan ekumene yang sedang berlanggsung.[19]
2.2. Ekumene; Pemulihan
Kesatuan Kristen
Yeng dimaksudkan dengan
gerakan ekumene ialah: “kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk menanggapi
bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi, diadakan dan ditujukan
untuk mendukung kesatuan umat Kristen [dan seterusnya sebagaimana diuraikan
panjang-lebar dalam dekrit UR 4]”. Dari penjelasan ini tampak bahwa, berbicara tentang
ekumene
tak terlepas dari perbincangan tentang Kesatuan Kristen, sebab ekumene
dan Kesatuan
Kristen mempunyai
hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan ekumene adalah mewujudkan Kesatuan Kristen. Lantas kesatuan macam apakah yang hendak dicapai di dalam gerakan
ekumen tersebut? Apakah kesatuan dipahami sebagai kesatuan yang nampak, sehingga tujuan gerakan ekumene baru
tercapai pada saat di dunia ini hanya tinggal satu Gereja saja,
yaitu Gereja Kristus yang Esa? Ataukah cukup kesatuan dipahami sebagai kesatuan di dalam Roh, yaitu semua Gereja mau mengaku diri satu di dalam Yesus
Kristus? Demi dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas, atau merumuskan inti gagasan Kesatuan Kristen,
di bawah ini akan diuraikan prinsip-prinsip Katolik tentang Kesatuan Kristen
yang terdapat dalam dekrit Unitatis Redintegratio.
2.2.1.
Prinsip-Prinsip Katolik Untuk
Kesatuan Kristen
Berbicara tentang partisipasi Gereja Katolik dalam
gerakan ekumen, maka harus juga bicara tentang prinsip-prinsip ekumene yang
menjadi dasar pijak bagi seluruh umat Katolik di dalam gerakan itu. Karena jika
tidak, maka katolisitas umat Katolik
akan menjadi kabur dan kehilangan arah. Gagasan tentang Kesatuan Kristen yang
mau dipulihkan lewat gerakan ekumene sebenarnya memiliki landasan yang amat
kuat dalam Kitab Suci. Bahkan Kesatuan Kristen merupan hakekat dari Gereja itu
sendiri, oleh karena Kesatuan Kristen merupakan kehendak sekaligus pemberian
Allah. Kesatuan Kristen merupakan doa Yesus yang terus menerus, yang dibangun
atas dasar iman, harap, dan kasih [UR 2] dalam sikap saling menghormati dan
solidaritas, tetapi terutama suatu kesatuan organik seperti Pokok Anggur dan
ranting-rantingnya (Yoh 15:4); Yesus sebagai Kepala, dan Gereja sebagai
angota-anggotanya.[20]
Partisipasi Gerja Katolik mendukung gerakan ekumene pertama-tama karena Gereja
percaya bahwa Kristus telah mendirikan Gereja yang satu dan tunggal, sementara
banyak persekutuan Kristen hanya menampakan diri sebagai pusaka warisan Kristus
[UR 1].
2.2.1.1. Kesatuan
Kristen Adalah Kesatuan Triniter
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “Pola dan Prinsip
terluhur Kesatuan Kristen ialah kesatuan Allah yang Tunggal dalm tiga Pribadi,
Bapa Putera, dan Roh Kudus” [UR 2].[21]
Maka, pada dasarnya gerakan ekumene sebagai usaha pemulihan Kesatuan Kristen
adalah panggilan menghadirkan kesatuan Allah Tritunggal ke dalam hidup Gereja.
Dengan kata lain, Kesatuan Kristen adalah Gereja yang Satu dan Tunggal [UR 2]
itu sendiri yang berakar dalam Tritunggal Maha Kudus, yang dihimpun dan
dibangun oleh Yesus, serta dibimbing oleh Roh Kudus. Sehingga Kesatuan Kristen
hanya mungkin dalam relasinya dengan Tritunggal, yang berbagi dan mewujudkan
dalam hidup umat beriman kedalaman hidup Bapa, Putra dan Roh Kudus sendiri.
Hanya dalam relasi inilah umat beriman bisa saling mengenal, saling
memperhatikan dan berbagi satu sama lain.[22]
Paus Benediktus XVI menegaskan, “Yesus adalah simbol
Kesatuan Kristen dan antar Kesatuan Kristen dengan Allah sendiri. Kesatuan
seluruh umat Kristen hanya mungkin terjadi karena bersama dan di dalam
Kristus”. Sehingga gerakan ekumene [atau pemulihan
Kesatuan Kristen] adalah usaha perdamaian di dalam Kristus, dan mengakui-Nya
sebagai Tuhan dan Penyelamat [UR 1]. Paus menambahkan, sejak awal Gereja
Katolik memandang panggilan untuk membangun Kesatuan Kristen berciri ekaristik
[Perjamuan Malam Terakhir Yesus], karena dari sanalah Yesus membangun umat
Allah yang baru; umat Perjanjian Baru. Perjamuan Malam itu bagi Gereja Katolik
menjadi pusat kesatuan umat Allah yang baru. Sehingga ekaristi merupakan
perwujudan Kesatuan Kristen [UR 2], yaitu umat Perjanjian Baru yang membangun
kesatuan hidup dengan Allah dan dengan Kristus sebagai pusatnya.[23]
Dan melalui Roh Kudus umat beriman didirong ke dalam kehidupan Yesus yang penuh
rahmat [iman-harap-kasih] serta mengamalkan kunai-kurnia itu dalam relasi
timbal balik satu sama lain, bahkan ke seluruh dunia sebagai karya misi Gereja.[24]
2.2.1.2. Kesatuan Kristen
Adalah Kesatuan Iman
Kesatuan
Kristen pada hakikatnya adalah kesatuan iman, oleh karena dibangun oleh Yesus lewat kesediaan orang-orang untuk dibabtis
dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus [Kesatuan Triniter].[25] Melalui Roh Kudus, mereka dikumpulkan dalam
persekutuan umat beriman dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat [UR
2]. Persekutuan ini disebut persekutuan umat beriman sebab dikumpulkan oleh Roh
Kudus yang memegang iman yang satu, memberitakan injil yang satu, memecahkan
roti yang satu, berdoa bersama dan hidup bersama dalam pelayanan kepada segala
manusia.[26]
Memang Allah berkenan menghimpun kembali umat-Nya dan membuat mereka menjadi
satu tubuh, namun perwujudan kongkrit harus berkembang dan disempurnahkan
terus-menerus. Itulah sebabnya kesatuan iman harus mendorong semua orang
Kristen untuk mencari persekutuan [atau
Communio] dengan semua saudara dalam iman.[27]
Dalam persekutuan inilah setiap Gereja menggumuli panggilan dan cita-cita yang
satu, yaitu membangun Gereja Allah yang kelihatan dan bersifat universal dan
diutus ke seluruh dunia [UR 4].
Kesatuan Kristen adalah kesatuan iman yang mungkin
dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Sehingga kesatuan Kristen bukan
pertama-tama keseragaman, lebih tepat bila kesatuan itu dimengerti sebagai
persekutuan dalam persaudaraan, saling meneguhkan dan melengkapi dalam
penghayatan iman. Dan karena kekayaan iman serta keanekaan budaya, maka kesatuan
yang nyata berarti keanekaragaman, baik dalam pengungkapan iman yang liturgis,
maupun dalam perwujudan persekutuan dalam organisasi Gereja. Singkatnya, usaha
pemulihan Kesatuan Kristen sebagai persekutuan umat beriman bukan pertama-tama
mencari kesatuan lahiriah, melainkan kesadaran akan kesatuan iman karena rahmat
injili.[28]
Kesatuan Kristen dalam bentuk persekutuan umat beriman terarah pada kesatuan
yang jauh melampaui batas-batas Gereja, dan terarah kepada kesatuan semua orang
yang “berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2im 2:22).
Catatan: Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa Gereja Protestan
melihat hubungan ekumenis itu terdapat hanya dalam Kitab Suci, terutama dalam
kesatuan iman rasuli. Tetapi bagi Gereja Katolik selain Kitab Suci sebagai
pegangan, Gereja juga hidup dalam keseluruhan “tradisi” historis, turun-temurun
anatar para rasul dan pengganti mereka yaitu para uskup. Itulah sebabnya
Kristus mengangkat Santo Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas
para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus
menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan
[LG 18].[29]
Sehingga usaha pemulihan Kesatuan Kristen harus juga mendorong terciptanya
kesatuan dalam hirarki [kepemimpinan] Gereja sebagai prinsip kesatuan lahiriah
Gereja itu sendiri. Yang dimaksud dengan hirarki Gereja, tidak tertutup pada
paus, para uskup, imam dan diakon, tetapi para pendeta juga dan semua orang
yang dengan berkat sakramen tahbisan diutus untuk menggembalakan umat Allah
menuju kesatuan yang sempurnah dalam Kristus [UR 2].[30]
2.2.1.3. Kesatuan
Kristen Adalah Kesatuan Dalam Roh
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “Perpecahan dalam tubuh Gereja Kristus
[Gereja yang Satu dan Tunggal] telah ada sejak semula, dan merupakan perkara
yang sangat dicela [UR 3]. Gereja Katolik percaya bahwa perpecahan itu sendiri
bukan merupakan perkara yang dikehendaki Allah, melainkan perbuatan Gereja
sebagai umat berdosa [disebut dosa
perpecahan], dan mereka yang hidup terpisah dari Gereja Katolik tidak dapat
sepenuhnya dipersalahkan atas dosa tersebut. Mereka harus diterima sebagai saudara-saudara
dalam Kristus [UR 3]. Gereja Katolik melihat adanya karya keselamatan Allah
dalam Gereja-gereja yang terpisah, sebab dengan Sakramen Permandian yang sah,
mereka pun masuk dalam persekutuan umat beriman.[31]
Sehingga partisipasi Gereja dalam usaha pemuliahan Kesatuan Kristen [atau gerakan ekumene] berangkat dari
kesadaran ini, terutama atas keyakinan bahwa usaha itu sendiri merupakan karya
Roh Kudus mempersatukan kembali tubuh Kristus. Meskipun perpecahan dalam tubuh
Gereja yang satu dan Tunggal, tetapi Roh Kudus tetap berkarya. Bahkan dalam
dekrit Unitatis Redintegratio dengan sangat bagus dikatakan, “Atas rahmat Roh
Kudus, di mana-mana banyak sekali orang yang terdorong untuk memulihkan
kesatuan segenap umat Kristen [UR 1] melalui doa dan pewartaan. Maka itu
Konsili Vatikan II mengundang segenap umat Katolik untuk mengenal tanda-tanda
zaman, dan secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis [UR 4].[32]
Kesatuan Kristen adalah kesatuan dalam Roh sebagai satu
Tubuh Kristus yang disebut Kesatuan Rohani. Untuk menjelaskan hal ini Donald
Guhtrie memberikan masukan yang berarti;
Roh yang dijanjikan kepada semua murid untuk tinggal di dalam mereka
menjamin adanya satu tubuh yang terdiri dari orang-orang yang menyerahkan diri
untuk tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan kesaksian tentang Kristus (Yoh
15:27). Tujuan ini tidak memerlukan suatu organisasi untuk mencapainya, tetapi
harus ada perasaan kesatuan yang kuat, yang bergantung bukan pada kepandaian
manusia, melainkan pada kuasa Roh Kudus.[33]
Di sini, Guthrie secara tegas menekankan “rasa kesatuan”
ketimbang “organisasi yang menyatukan”, dan “kesatuan karena Roh” ketimbang
“kesatuan karena usaha manusia”. Itulah sebabnya Kesatuan Kristen sebagai
kesatuan rohani bercorak tidak kelihatan namun dapat dirasakan, karena kesatuan
rohani bukan pertama-tama karena usaha manusia [orang-orang Kristen] tetapi
semata-mata bergantung pada kuasa Roh Kudus. Dengan kata lain, Kesatuan Kristen
merupakan hasil dari karya Roh Kudus, yang membimbing perasaan kesatuan sebagai
umat beriman dan menciptakan persekutuan di antara mereka [UR 2]. Meskipun
demikian, usaha untuk mencapai kesatuan rohani [atau kesatuan dalam Roh Kudus] yang sejati bukanlah tanpa
perjuangan. Terdapat bermacam-macam perbedaan, baik ajaran maupun tata susunan
organisasi, yang seringkali menjadi penghalang [UR 3]. Sehingga untuk mencapai
hal itu, setiap orang Kristen harus memiliki kehidupan rahmat [iman, harap dan kasih] serta anugerah-anugerah batin
lainnya yang merupakan kekayaan rohani yang dapat menyumbang bagi terciptanya
Kesatuan Kristen.[34]
2.2.2. Kesatuan Kristen
Lebih Tepat Disebut Communio
Sebagai pamungkas pandangan Konsili Vatikan II
tentang gerakan ekumene adalah merumuskan Kesatuan Kristen sebagai communio. Kata ini merupakan terjemahan
Latin dari kata Yunani koinonia yang
berarti persekutuan. Di satu pihak communio
berarti hubungan atau persekutuan dengan Allah melalui Yesus Kristus dalam
sakramen-sakramen, tetapi di pihak lain bisa juga berarti kesatuan seluruh umat
beriman akan Kristus, yakni persekutuan Gereja-gereja setempat dengan pusat
Gereja universal di Roma, dan persekutuan dengan Gereja-gereja bukan Katolik. Communio sebagai persekutuan seluruh
umat Kristen menunjuk pada keanekaragaman para anggotanya dan keanekaramanan
dalam cara berkomunikasi, sebab “Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman,
dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat
beriman. Roh Kuduslah yang membagi-bagikan aneka rahmat dan pelayanan, serta memperkaya
Gereja Kristus dengan pelbagai anugerah [UR 2].[35]
Paus Benediktus XVI menegaskan, “Kesatuan Kristen
berciri komunitaris, suatu communio
dengan ketiga pribadi ilahi dan seluruh umat manusia. Sehingga kesatuan yang
hendak dibangun berdasar kesatuan ilahi ini bukan kesatuan administratif, lebih
tepat disebut persekutuan umat beriman dalam Kristus”.[36]
Jika Kesatuan Kristen merupakan persekutuan atau communion seluruh umat beriman, maka lebih cocok bila Kesatuan
Kristen dipahami sebagai kesatuan dalam kepelbagaian, dengan menegaskan bahwa
setiap Gereja bukanlah bagian, melainkan wujud setempat yang utuh dari Gereja
Kristus. Bukan kesatuan yang ditampilkan dalam bentuknya yang nyata sebagai
satu Gereja yang esa yang disebut kesatuan struktural, tetapi kesatuan di dalam
Roh sebagai Tubuh Kristus, yang disebut kesatuan rohani. Singkatnya, Kristen
Kesatuan bukan kesatuan keseragaman, melainkan persekutuan dalam persaudaraan,
saling meneguhkan dan melengkapi dalam penghayatan iman.[37]
2.2.2. Ekumene Dan Rekonsiliasi
Sejak Konsili
Vatikan II Gereja Katolik tidak lagi melihat dirinya sendiri dan tidak tertutup
dalam dirinya sendiri, dengan paham persekutuan [communio]
dalam Kristus, Gereja membuka diri dan melihat dirinya
dalam hubungan dengan orang-orang Kristen lain, [bahkan dengan seluruh umat
manusia]. Partisipasi
Gereja Katolik dalam gerakan ekumene menurut cara-cara yang digariskan dalam
dekrit Unitatis Redintegratio merupakan landasan utama bagi pemulihan Kesatuan
Kristen. Meskipun sebagai suatu gejala yang khusus dan terbilang baru, namun
gerakan ekumene merupakan bagian dari sejarah keselamatan yang diperuntuhkan
Tuhan bagi bangsa manusia.[38]
Roh Kudus mengajarkan bahwa akar dari perpecahan antar Gereja-gereja adalah
dosa serta kesombongan manusia, namun Roh Kudus sendiri tetap mendorong untuk
saling mengampuni dan mengusahakan perdamaian satu dengan yang lain [UR 3].
Bahakan Yohanes Paulus II mengatakan, “Apa yang mempersatukan kita [orang-orang
Kristen] itu lebih besar dari apa yang menceraikan kita”.[39]
Sehingga yang paling pokok dalam gerakan tersebut bukan ditentukan oleh
kecepatan untuk mempersatukan semua Gereja yang terpisah, melainkan pada partisipasi
aktif, serta dorongan untuk saling mengampuni satu sama lain.
Gerakan ekumene harus menginsafkan umat manusia bahwa
Gereja ada dalam pengembaraan menuju pada kepenuhan terakhir dalam Kristus, dan
meskipun Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, namun perwujudan kongrit
harus menjadi dimensi manusiawi yang tetap mendorong Gereja untuk membaharui
dirinya. Bagi Gereja Katolik sendiri, cita-cita ekumenis itu terbilang sangat
kuat dan mendalam, hal itu terungkap dalam sikap dan partisipasi Gereja mengusahakan
saling pengertian dengan saudara-saudari yang terpisah. Ada pula keinginan
untuk mengusahakan tindakan-tindakan kongkrit berupa pewartaan, kegiatan,
bahkan juga doa bersama sesuai kehendak Kristus. Meskipun itu, bagi Gereja
Katolik masih terdapat beberapa hambatan yang tidak dapat disembunyikan, bahkan
masih merongrong segalah usaha untuk mencapai Kesatuan Kristen yang sejati.
Itulah sebabnya, Konsili Vatikan II merumuskan beberapa pendekatan demi
menghilangkan segala akar dan sebab-musabab dari perpecahan.
2.2.2.1. Ekumene;
Mencari Kesepakatan Eklesiologis
Dalam usaha mencari kesepakatan
eklesiologis, Gereja-gereja menemukan kesulitan berkaitan dengan peristilahan.
Sebagai contoh istilah “katolik” yang selain menunjuk pada suatu konsep
teologis tentang sifat Gereja, tetapi juga dipakai sebagai nama untuk Gereja
Katolik Roma. Di Indonesia, istilah “kristen” sering diartikan sebagai nama untuk Gereja-gereja Protestan, namun
bisa juga menunjuk pada umat Kristus pada umumnya, termasuk juga Gereja Katolik.[40]
Demikian juga kesulitan yang besar hadir pada konsepsi eklesiologis, terutama
karena tidak adanya defenisi resmi maupun rumusan jelas yang menjadi
kesepakatan bersama. Secara praktis, dalam tubuh Gereja sendiri terdapat
berbagai kesamaan, tetapi juga ada perbedaan. Kesamaan tampak dalam
peraturan-peraturan dan konsili-konsili. DGD merumuskan eklesiologis sebagai
persekutuan antara Gereja-gereja yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan
penebus menurut Alkitab dan oleh karena itu berusaha bersama-sama memenuhi
panggilan demi kemuliaan satu Tuhan, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.[41]
Hal senada dibicarakan oleh konsili dalam dekrit Unitatis Redintegratio tentang
eklesiologis sebagai semua orang yang menyembah Allah Tritunggal dan mengakui
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penebus mereka. Hal mana mereka lakukan tidak
hanya secara perseorangan tetapi juga selaku anggota persekutuan-persekutuan
yang menerima Injil, dan yang dihargai bukan hanya sebagai Gereja mereka
sendiri tetapi juga sebagai Gereja Allah [UR 20].
Dari dua rumusan ini nampak
kesamaan yang mendasar, pertama mengenai hal mengakui Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan Penebus. Ternyata semua Gereja, baik Katolik maupun Protestan,
sama-sama menyembah Tuhan yang satu, yakni Allah, Putera dan Roh Kudus [Tritunggal],
dan yang dilakukan oleh seluruh umat Kristus. Konsili
mencatata, merupakan suka-cita yang besar oleh karena kerinduan akan persatuan
dengan Kristus, mereka terdorong untuk semakin mengusahakan kesatuan seluruh
Gereja Kristus, dan member kesaksian iman yang benar di tengah-tengah dunia [UR
20]. Itulah sebabnya Kesatuan Kristen merupakan kesatuan yang mungkin terwujud
karena kesatuan iman akan Kristus tersebut. Kedua
mengenai semua hal yang berdasarkan Alkitab sebagai Sabda Allah yang tertulis
dan menjadi dasar iman akan Yesus Kristus.
Konsili berbicara sebagaimana Sabda Allah menjelma untuk kita, misteri itu
jugalah yang terkandung dalam Kitab Suci mendorong saudara-saudari yang
terpisah merenungkan hidup Kristus serta karya keselamatan, terutama misteri
wafat dan kebangkitan-Nya [UR 21].[42]Meskipun kesamaan dapat dirajut, ada pula beberapa
perbedaan tetap menjadi perbincangan penting, terutatama hal-hal menyangkut
hubungan antar Gereja dan Alkitab, jabatan rohani dalam Gereja,
sakramen-sakramen serta konsep teologi. Namun, harus diakui bahwa
perbedaan-perbedaan tersebut merupakan perkembangan dari tradisi yang
berlainan.
Dalam rangka mencari
kesepakatan eklesiologis yang dimaksud, Hans Kung memberikan beberapa prinsip
dasar yang dapat disimpulkan sebagai berikut: Menurutnya, kesatuan realitas
gerejani yang sudah ada harus diakui, yaitu bahwa dalam Kristus kita disatukan
karena iman. Oleh karena iman akan Kristus melalui babtis, orang-orang Kristen
menjadi saudara-saudari dalam Tuhan, sehingga Kesatuan Kristen menjadi kesatuan
iman. Dalam iman kepada Kristus setiap Gereja mengakui satu Bapa, satu Putera,
dan satu Roh Kudus, serta menerima Injil sebagai satu-satunya sumber hidup iman
Gereja. Oleh karena itu, Kesatuan Kristen harus dikembangkan dari kesatuan yang
sudah ada itu dan tidak membuat kesatuan yang seolah-olah baru sama sekali.
Pengetahuan serta pengakuan akan kesatuan yang sudah ada dalam Kristus itu
memanggil umat seluruhnya untuk mencari kesatuan itu. Namun kesatuan itu secara
asasi adalah karya Allah, sehingga dengan kekuatan manusia sendiri cita-cita
itu tak mungkin dicapai. Dengan demikian usaha merajut Kesatuan Kristen mesti
dilakukan dalam doa yang terus-menerus, agar Gereja ditebus dari kejahatan
perpecahan.[43]
Karya kesatuan harus mulai dalam
Gereja sendiri, sebab Kesatuan Kristen tak bisa dilaksanakan dengan
meninggalkan Gereja sendiri dan menggabungkan diri pada Gereja lain. Kesetiaan
pada Gereja sendiri akan menjadi titik tolak keterlibatan yang lebih besar pada
usaha Gereja-gereja membangun Gereja Kristus yang benar. Cita-cita kesatuan
yang sejati berarti kesediaan memperbaharui Gereja sendiri dengan memenuhi
permintaan dari Gereja-gereja lainnya. Kesatuan merupakan proses ke depan,
dengan saling memberi dan menerima sehingga unsur-unsur yang sama akan semakin
jelas dan berkembang.[44]
Kebenaran tidak boleh dikurbankan tetapi harus ditemukan kembali. Gereja yang
meninggalkan kebenaran berarti meninggalkan diri sendiri, dan kesatuan adalah
usaha menemukan kebenaran terus menerus. Gereja yang ingin menemukan kesatuan
dengan Gereja-gereja lain harus menjadi pencinta dan pengikut kebenaran. Inilah
Gereja yang mengakui dengan rendah hati bahwa dirinya bukanlah pernyataan
seluruh kebenaran, melainkan yang harus dipimpin lagi secara baru oleh Roh Kebenaran
menuju ke segala kebenaran. Pedoman untuk kesatuan adalah injil, yang dari
padanya seruruh Gereja menimba kebenaran yang berasal dari pesan-pesan injil
itu, yang juga adalah Tuhan sendiri.[45]
2.2.2.2. Ekumene:
Mencari Hirarki Kebenaran-Kebenaran
Pendekatan dogmatis
eklesiologis lebih berefleksi ke dalam dan bersifat subjektif. Sekarang akan
dilihat pendekatan yang lebih bersifat objektif untuk menelaah
kebenaran-kebenaran dalam iman Kristen guna menyusunnya dalam tata hirarkis.
Istilah hirarkis kebenaran-kebenaran
ditemukan dalam dekrit Unitatis Redintegratio: “Dalam membanding-bandingkan ajaran-ajaran hendaklah
mereka [para teolog] ingat bahwa terdapat tata susunan atau hirarki
kebenaran-kebanaran ajaran Katolik, sebab berlain-lainanlah hubungannya dengan
dasar iman Kristen [UR 11]. Di samping perhatian kepada kesamaan serta perbedaan di
dalam tubuh umat
Kristen,
sangat pentinglah memberi perhatian pada tata hirarkis dari kebenaran-kebenaran
yang diwahyukan. Beberapa kebenaran termasuk Tujuan Akhir, misteri Tritunggal Maha Kudus, Inkarnasi dan Penebusan, serta Cinta Kasih Allah. Ada pula kebenaran-kebenaran yang tergolong
dalam sarana-sarana menuju keselamatan seperti; sakramen-sakramen, susunan Hirarkis Gereja, Tata Apostolik dan lain sebagainya. Kebenaran-kebenaran ini
diberikan Yesus selama masa persiaraan-Nya di dunia. Demikian dengan menunjuk
pada kebenaran-kebenaran tersebut hendak diperlihatkan kesatuan yang sudah ada dan sekaligus
juga perbedaan-perbedaannya.[46]
2.2.2.3. Ekumene:
Mencari Hakekat Kristianisme
Bernard Lombart mengemukakan
bahwa problem dogmatis yang pokok dalam usaha-usaha ekumenis adalah mencari
hakekat kristianisme. Dia membedakan ekumene sebagai bidang teologis, dan ekumene sebagai semangat. Teologi Ekumene bertugas memberi ilham dan bimbingan karya apostolik,
serta bertugas menghubungkan karya Allah dalam tata keselamatan dan karya Allah
dalam kesatuan seluruh umat Kristen. Ekumene sebagai ilmu pengetahuan perlu menggambarkan kenyataan-kenyataan
historis umat Kristen,
selain itu juga menyajikan pandangan sintesis mengenai
kesatuan dan universalitas Gereja, problem-problem khusus dan sarana-sarana serta
cara-cara yang dapat menuntun ke arah kesatuan umat Kristen dan kepenuhan Gereja. Ekumene ilmiah pertama-tama harus melihat dan membatasi problem
ekumene,
yang meliputi problem historis, problem hubungan antar kelompok pengaku iman, problem dogmatis,
problem mengenai missi Gereja dan ibadatnya maupun problem psikologis dan
sosiologis Gereja.[47]
Usaha-usaha ekumenis hendak mensistimatisir macam-macam bentuk kristianisme
dengan membanding-bandingkan dan menggolongkannya. Untuk itu usah harus dimulai
dari kenyataan historis dan langkah demi langkah diungkapkan segi-segi baru
dalam problem ekumenis. Yang menjadi problem dogmatis adalah hakekat
kristianisme, yang sifatnya tunggal namun memiliki banyak bentuk. Di sinilah
muncul problem keanekaragaman pengakuan dan kesatuan iman. Dan hanya melalui
konfrontasi dalam berbagai segi yang disertai keterbukaan diharapkan bahwa kristianisme semakin diwujudkan.[48]
Kesimpulan
Sampai Konsili Vatikan II, hubungan antara Gereja Katolik dan tradisi Kristen yang lain mengalami jalan buntu, sebab Gereja Katolik masih kokoh dengan pandangannya bahwa "tidak ada keselamatan di luar Gereja [Katolik]". Barulah sejak Konsili Vatikan II hubungan itu dibangun, terutama atas kesadaran bahwa perpecahan Gereja sangat bertentangan dengan kehendak Allah. Konsili Vatikan II membuka pintu Gereja Katolik untuk menerima saudara-saudari Gereja Kristen lain [bahkan seluruh umat manusia] untuk masuk dalam kehidupan Yesus yang penuh cinta kasih. Dekrit Unitatis Redintegratio [Pemulihan Kesatuan Kristen] menjadi bukti keputusan Vatikan II tentang sikap ekumenis Gereja Katolik. Meskipun konsili diadakan dengan maksud utama membuat perubahan dalam tubuh Gereja Katolik, namun tujuan ekumenis tetap menjadi sikap dasar yang mendesak untuk dibicarakan dalam Vatikan II. Konsili Vatikan II menyatakan, Kesatuan Kristen merupakan karya Allah dalam diri Yesus Kristus melalui Roh Kudus, sehingga kesatuan pertama-tama bukanlah usaha manusia atau Gereja-gereja tetapi atas dorongan dan prakarsa ilahi. Itulah sebabnya peran Roh Kudus menjadi pusat seluruh langkah gerakan ekumene, bahkan Kesatuan Kristen yang dipulihkan lewat gerakan ekumene merupakan karya Roh Kudus sendiri. Dengan hadirnya Roh Kudus dalam diri umat Kristen, Allah memanggil setiap orang beriman akan Dia untuk masuk dalam persekutuan atau communio.dengan Kristus, dan membangun Kesatuan Kristen yang otentik atas itu.
Sampai Konsili Vatikan II, hubungan antara Gereja Katolik dan tradisi Kristen yang lain mengalami jalan buntu, sebab Gereja Katolik masih kokoh dengan pandangannya bahwa "tidak ada keselamatan di luar Gereja [Katolik]". Barulah sejak Konsili Vatikan II hubungan itu dibangun, terutama atas kesadaran bahwa perpecahan Gereja sangat bertentangan dengan kehendak Allah. Konsili Vatikan II membuka pintu Gereja Katolik untuk menerima saudara-saudari Gereja Kristen lain [bahkan seluruh umat manusia] untuk masuk dalam kehidupan Yesus yang penuh cinta kasih. Dekrit Unitatis Redintegratio [Pemulihan Kesatuan Kristen] menjadi bukti keputusan Vatikan II tentang sikap ekumenis Gereja Katolik. Meskipun konsili diadakan dengan maksud utama membuat perubahan dalam tubuh Gereja Katolik, namun tujuan ekumenis tetap menjadi sikap dasar yang mendesak untuk dibicarakan dalam Vatikan II. Konsili Vatikan II menyatakan, Kesatuan Kristen merupakan karya Allah dalam diri Yesus Kristus melalui Roh Kudus, sehingga kesatuan pertama-tama bukanlah usaha manusia atau Gereja-gereja tetapi atas dorongan dan prakarsa ilahi. Itulah sebabnya peran Roh Kudus menjadi pusat seluruh langkah gerakan ekumene, bahkan Kesatuan Kristen yang dipulihkan lewat gerakan ekumene merupakan karya Roh Kudus sendiri. Dengan hadirnya Roh Kudus dalam diri umat Kristen, Allah memanggil setiap orang beriman akan Dia untuk masuk dalam persekutuan atau communio.dengan Kristus, dan membangun Kesatuan Kristen yang otentik atas itu.
[1] Bdk.
Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ, Menerobos Pintu Sempit; Nafas Ilahi Dalam Gereja KAJ (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 78.
[2]Bdk.
Drs. P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint:
Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 69.
[3] Bdk. Ibid
[4] Bdk.
Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
hlm. 91.
[5]Bdk. Dr.
J. Verkuyl, Apakah Beda Gereja Roma
Katolik dan Reformasi? (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), hlm. 7.
[6]Idem
[7] Bdk.
Drs. P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint:
Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 69.
[8] Bdk.
Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
hlm. 90.
[9] Bdk.
Ibid
[10]Bdk.
Walter M. Abbott, SJ, Ekumenism , dalam The
Document of Vatican II – All Sixteen Official Texts Promulgated Council
1963-1965 (Amerika: Assoication Press, 1966), hlm. 337.
[11]Yohanes XXIII 1881-1963 (lahir
di Sott il Monte, Italia) adalah Paus Gereja Katolik Roma sejak 28
Oktober 1958 hingga 3 Juni 1963. Ia sering disebut "Paus Yohanes Yang Baik" dan juga dihargai
oleh orang Anglikan dan Protestan berkat jasanya untuk menyatukan gereja yang pecah. Paus
ini memaklumkan Konsili Vatikan II yang
kemudian menghasilkan reformasi atas doktrin-doktrin Gereja
Katolik dan ditingkatkannya rekonsiliasi antar umat beragama, suatu hal yang
pada waktu itu tidak terbayangkan muncul dari kekuasaan tertinggi Tahta Suci. Walaupun masa pemerintahannya hanya singkat saja (sekitar 5 tahun lamanya),
Paus Yohanes XXIII dianggap sebagai salah satu Paus terbesar yang pernah ada
dalam sejarah Gereja Katolik. Bdk. “Paus Yohanes XIII” dalam http://id.wikipedia.org/
(diunduh pada tanggal 18 Desember 2011 Pkl. 02.35 WITA)
[12] Dr.
Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek
Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hlm. 25.
[13] Bdk.
Ibid
[14]Sekretariat
untuk Memajukan Kesatuan Kristen (Promoting Christian Unity) merupakan salah
satu komisi persiapan Konsili Vatikan II.
Didirakan oleh paus Yohanes XXIII pada tahun 1960. Tugas sekeretariat
ini adalah mengadakan hubungan dengan Gereja-gereja lain, mengundang tamu-tamu
dari Gereja-gereja lain untuk Konsili Vatikan II, serta mengutus
peninjau-peninjau Katolik ke siding-sidang ekumenis yang dilaksanakan oleh
Gereja-gereja Protestan. Setelah Konsili Vatikan II sekretariat keesaan ini
mengeluarkan Directorium (petunjuk)
ekumene, jilid pertama mengenai hubungan-hubungan ekumenis pada tingkat lokal
dan jilid kedua mengenai pendidikan teologi. Dalam Konstitusi Apostolik Pastor
Bonus (28 Juni 1988), paus Yohanes Paulus II mengubah sekretariat ini menjadi
Dewan Kepausan untuk Memajukan Kesatuan Kristiani (The Pontifical Council For Promoting Christian Uniti/PCPCU). Dewan ini
memiliki peran ganda: pertama, promosi dalam Gereja Katolik semangat ekumenis
otentik menurut dekrit konsili Unitatis
Redintegratio; kedua, untuk mengembangkan dialog dan
kerjasama dengan Gereja-gereja lain dan Komuni Dunia. Bdk. “Dewan Kepausan
untuk Memajukan Kesatuan Kristiani” dalam http://id.wikipedia.org/ (diunduh
pada tanggal 17 Desember 2011 Pkl. 20.00 WITA)
[15]Kardinal
Bea dilahirkan 1881 di Jerman Selatan, lalu masuk Serikat Yesus dan menjadi
Profesor Exsegese, Rektor Biblicum di Roma dan pemimpin panitia untuk Kitab
Suci. Prof. Bea menjadi Kardinal dan pemimpin Sekretariat untuk Pembinaan
Persatuan Kristen. Bdk. Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hlm. 26
[16] Bdk.
Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
hlm. 92.
[17] Bdk.
Ibid
[18] Bdk.
Ibid
[19] Bdk.
Ibid
[20] Bdk.
Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran
Alkitab Dalam Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003) hlm. 170
[21] Bdk.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman
Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 344.
[22] Bdk.
Mgr. Ignatius Suharyo, Gereja Yang
Melayani Dengan Rendah Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 136.
[23] Bdk.
Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI
(Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 87.
[24] Bdk.
Mgr. Ignatius Suharyo, Gereja Yang
Melayani Dengan Rendah Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 136.
[25] Bdk.
Mgr. Ignatius Suharyo, The Chatolic Way
(Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 16.
[26] Bdk.
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma
Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 107.
[27] Bdk.
Ibid, hlm. 345.
[28] Bdk. Ibid
[29] Bdk.
Ibid, hlm. 347.
[30] Bdk.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Kompendium
Katekismus Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 69.
[31] Bdk.
Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
hlm. 104.
[32] Bdk.
Ibid, hlm. 105.
[33] Bdk.
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru;
Eklesiologi, Eskatologi, Etika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) hlm. 48.
[34]Dr.
Josef Koningsmann, dalam Gerakan dan
Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 30.
[35] Bdk.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman
Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 340.
[36] Bdk.
Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI
(Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 94
[37] Bdk.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman
Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 346
[38]Dr.
Josef Koningsmann, dalam Gerakan dan
Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 30.
[39]Bdk.
“Ekumene Gereja Katolik menurut salah satu Gereja Protestan” http://katolisitas.org
(diunduh pada tanggal 2 Jnuari 2012 Pkl. 03.00 WITA)
[40] Bdk.
Arend Th. Van Leeuwen, Agama Kristen
Dalam Sejarah Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm. 46.
[41] Bdk.
Dr. Jan S. Aritongan & Dr. Chr. De Jonge, Apa Dan Bagaimana Gereja; Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009) hlm. 54.
[42] Bdk.
Ibid
[43] Bdk.
Hans Kung, Theology for the Third Millennium;
An Ecumenical View (Knopf Doubleday Publishing Group, 2011) hlm. 441.
[44] Bdk.
Ibid
[45] Bdk.
Ibid, hlm. 442.
[46]
Bdk. Thomas
H. Groome, Christian Religious Education
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) hlm. 301.
[47] Bdk.
Ibid, hlm. 309.
[48] Bdk.
Ibid, hlm. 337.
sundul77.com Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya
BalasHapussundul77.com Adalah Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya, Game Slot Mesin, Agen Sbobet, Agen Ibcbet, Agen Mansion88 sundul77 Merupakan Salah Satu Bandar Bola, Bandar Casino, Poker Online Terpercaya IDNSPORT. Kelebihan Bandar Bola Terbesar www.sundul77.com Desain Website Menarik, Live Casino Online 24 Jam Non-Stop Bersama Dealer Eropa & Dealer Asia..
Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya, Game Slot Mesin, Agen Sbobet, Agen Ibcbet, Agen Mansion88
Bolagaming mempunyai tim berpengalaman dalam melayani setiap member yang bergabung di situs judi taruhan bola terbaik ini. Kami menyediakan customer service online 24 jam yang akan menemani anda dan membantu memberikan arahan kepada anda agar mudah saat melakukan pendaftaran. Anda bisa memilih jenis permainan judi taruhan online apa saja sesuai keinginan anda.
Ayo Bergabung Bersama Situs Judi Taruan Bola Terlengkap Bolagaming
situs agen bola terbaik,judi casino online,poker uang asli,poker uang asli,agen ibcbet
I think most people would agree with your 119 127 162 8099 apk scr888 casino game 4 article. I am going to bookmark this web site so I can come back and read more articles. Keep up the good work!
BalasHapusThis is really great news. Thank you for sharing tm.scr888 android it with us!
BalasHapusSubsequently, after spending dl.918kiss.com ลิงค์โหลดเกมส์ many hours on the internet at last We've uncovered an individual that definitely does know what they are discussing many thanks a great deal wonderful post.
BalasHapusThis is really ultra test xr reviews great news. Thank you for sharing it with us!
BalasHapusm.scr888 casino download apk If pussy888 you scr888 casino download could www.scr888.com.login message 918kiss game me with any www.scr888.com hints how to win scr888 & tips on how you made your blog look this cool, I would be appreciative scr888 online games download!Great blog you have here - market is very slow - Hopefully things will begin picking back up
BalasHapusjoker123 apk new version can someone joker123 login tell me how joker123 test id to get the joker123 jackpot little avatars to appear in my comments download joker123 iphone section? thanks!
BalasHapus