Rabu, 08 Februari 2012

DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” TENTANG GERAKAN EKUMENE

DEKRIT UNITATIS REDINTEGRATIO”
TENTANG GERAKAN EKUMENE
Oleh: Vitalis Letsoin

                Sejarah telah mencatat bagaimana Gereja mengalami perpecahan. Pada tahun 1054, skisma terjadi antara Gereja Barat dan Gereja Timur. Ini berlanjut pada abad ke-16 dengan gerakan Reformasi. Peristiwa yang memilukan ini mendorong Gereja-gereja untuk membangun usaha-usaha yang memungkinkan terciptanya relasi antar mereka. Berkembanglah kemudian apa yang disebut gerakan ekumene. Gereja-gereja Protestan mengkoordinasikan usaha di antara mereka dalam Dewan Gereja-gereja se-Dunia [World Council of Churhes] pada tingkat nasional dan internasional. Gereja Katolik pun demikian, sejak Konsili Vatikan II Gereja merumuskan sikapnya yang tegas untuk mendukung gerakan ekumene. Bahkan Konsili Vatikan II sendiri merupan konsili ekumenis karena bertujuan memulihkan kesatuan seluruh umat Kristen di muka bumi [bahkan juga seluruh umat manusia].[1] Namun, bagaimana sesungguhnya sikap dan pandangan Gereja Katolik terhadap gerakan yang berkembang di kalangan Gereja-gereja Protestan itu? Kesatuan Kristen seperti apa yang hendak didorong oleh Gereja Katolik? Secara kritis bagian ini akan menjelaskan perkembangan sikap ekumenis Gereja Katolik sebelum dan sesudah Vatikan II, serta prinsip-prinsip kesatuan yang tercantum dalam dekrit Unitatis Redintegratio sebagai pedoman partisipasi umat Katolik dalam gerakan ekumene.

 2.1. Perkembangan Sikap Ekumenis Gereja Katolik Sampai Konsili Vatikan II
            Konsili Vatikan II dapat dikatakan merupakan titik tolak hidup Gereja Katolik yang ekumenis. Dengan titik tolak, tidak dimaksudkan bahwa seakan-akan hidup Gereja Katolik yang ekumenis tidak pernah ada sebelumnya. Sikap ekumenis sebagaiman dicetuskan Vatikan II mempunyai akar pada Tradisi hidup Gereja, terutama tampak dari kesaksian para Bapa Gereja, juga para misionaris dan ajaran para Paus yang menunjukan sikap positif Gereja Katolik terhadap saudara-saudari yang terpisah. Memang ajaran yang menunjukan sikap positif terhadap mereka itu, bersifat sporadis, tersebar dan kurang menjadi sikap dasar yang menonjol. Sikap yang menonjol seringkali kebalikannya, eksklusivisme, triumphalisme, dan semacamnya. Akibatnya, Gereja Katolik sebelum Vatikan II tampak tertutup dan kurang memandang positif Gereja-gereja lain.

2.1.1. Sikap Gereja Katolik Sebelum Konsili Vatikan II
              Selama abad ke-19 gerakan ekumene belum dirasakan sebagai kewajiban oleh Gereja Katolik. Dilatarbelakangi oleh Konsili Vatikan I, Gereja Katolik menyatakan sikap tegas tentang keesaannya, yakni Gereja yang satu-satunya, kudus, Katolik dan rasuli [apostolik]. Setiap orang yang memisahkan diri dari Gereja Katolik sebenarnya mereka telah memutuskan hubungan dengan Gereja yang benar.[2] Bagi Gereja Katolik, gerakan ekumene tidak lain dari kembalinya saudara-saudari yang terpisah itu ke dalam Gereja Katolik, dan selama di samping Gereja Katolik masih terdapat Gereja-gereja lain, maka ekumene yang sempurnah belum ada.[3] Pemikiran inilah, yang berakar dalam ajaran Gereja Katolik tentang Gereja, yang kemudian melatarbelakangi sikap Gereja Katolik untuk tidak turut serta dalam usaha-usaha dan gerakan yang menamakan diri ekumene. Bahkan di dalam Ensiklik Mortalium Animos tahun 1928, kepausan dengan tegas melarang keterlibatan umat Katolik dalam gerakan ekumene. Meskipun pada konferensi Faith and Order di Edinbur (1937) terdapat lima orang Katolik yang hadir, tetapi ditekankan bahwa mereka tidak mewakili Gereja Katolik.[4]
              Gereja Katolik menamakan dirinya “Ecclesia Catholica” yang mengumumkan bahwa dialah satu-satunya Gereja yang benar. Kepada Gereja-gereja reformasi [Protestan] Gereja Katolik menyatakan bahwa dia saajalah gembala kebenaran Tuhan, dan kepadanya diserahi tugas mengajar, memelihara dan mewartakan keselamatan Allah.[5] Oleh karena itu setiap Gereja yang memisahkan diri dari Gereja Katolik mesti menyadari kesesatannya dan berkewajiban untuk menggabungkan diri kembali di dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik memandang perpecahan yang terjadi dalam tubuh Gereja-gereja Protestan sebagai kutukan, hal itu karena mereka telah memisahkan diri dari satu-satunya Gereja yang menyelematkan. Pada prinsipnya, “di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan” [extra Ecclesia nulla salus], sehingga barang siapa yang memisahkan diri dari Gereja Katolik maka anathema sit-lah dia [terkutuklah dia].[6] Singktanya, Gereja Katolik merumuskan dirinya sebagai satu tubuh, Kristus adalah kepala Gereja, dan wakilnya, paus, serta seluruh umat sebagai anggota-anggotanya. Kristuslah yang memerintah atas Gereja yang kelihatan ini.[7]
              Sebelum Konsili Vatikan II perhatian Gereja Katolik terhadap gerakan ekumene adalah urusan pribadi orang-orang Katolik. Terutama, dilatarbelakangi oleh situasi Perang Dunia II, beberapa orang Katolik dan Protestan di Jerman, Belanda dan Perancis mencari hubungan yang lebih akrab melalui pertemuan dan pusat-pusat studi demi usaha bersama meyelesaikan krisis akibat perang. Meskipun demikian, dalam ensiklik “Mortalim Animos" paus secara terang-terangan melukiskan perkumpulan-perkumpulan itu sebagai perkumpulan sembarangan orang, baik Kristen maupun bukan Kristen.[8]  Tampaklah bahwa Gereja Katolik tetap pada prinsip keesaannya, sehingga setiap hubungan ataupun persekutuan yang menyebut diri ekumene harus lahir dari keesaan Gereja Katolik.

2.1.2. Konsili Vatikan II; Sikap Ekumenis
              Di balik sikap Gereja yang radikal, sebenarnya telah ada keterbukaan ke arah persatuan Gereja. Pertama-tama dapat disebutkan usaha-usaha Gereja Katolik untuk mengadakan percakapan bilatelar dengan Gereja-gereja yang terpisah, yakni Orthodoks Timur dan Gereja Anglikan. Untuk hubungan dengan Gereja-gereja Timur didirikan pada tahun 1917 Congregatio pro Ecclesia Orintali [Perhimpunan untuk Gereja Timur] dan pada tahun 1923 didirikan Institut Timur di Roma. Baru pada zaman paus Yohanes XXIII sikap anathema [pengutukan] timbal balik (1054) dicabut dari dua belah pihak pada tahun 1965 setelah pertemuan antara paus Paulus VI dan patriakh Constantinopel di Yerusalem (1964). Sedangkan mengenai hubungan dengan Gereja Anglikan diadakan percakapan di Mechelen [sekarang Malines, Belgia] antara 1921 dan 1925, namun tidak berhasil. Baru sesudah konsili Vatikan II percakapan antara Gereja Katolik dan Gereja Anglikan mulai lagi. Dibentuklah suatu panitia bersama yang menghasilkan laporan terakhir pada tahun 1982. Di dalamnya terlihat kemajuan besar dalam saling mengakui sakramen, tetapi Pimpinan Paus dan pengakuan Keuskupan Anglikan sebagai keuskupan sah tetap merupakan pokok-pokok yang sulit.[9] Kembali lagi pada gerakan ekumene sebagaimana yang dibahas dalam tulisan ini [Gereja Katolik dan Gereja-gereja Protestan], sejak Konsili Vatikan II usaha-usaha ekumenis mulai mendapat wajahnya yang kongkrit. Memang Protestan menjadi sangat gencar dalam gerakan ekumene, namun di dalam tubuh Gereja Katolik sendiri terdapat delapan hari yang secara resmi ditetapkan paus untuk mendoakan persatuan Gereja-gereja, serta penderitaan umat manusia akibat Perang Dunia II [setiap tahun dalam bulan Januari, tanggal 18-25]. [10] 
              Penunjukan paus Yohanes XXIII[11] menduduki tahta kepausan dikatakan membuka zaman baru dalam keseluruhan sejarah hidup Gereja. Pada tanggal 25 Januari 1959, Paus memaklumkan rencana untuk mengadakan konsili ekumene. [Catatan; kata “ekumene” dapat menyebabkan beberapa kekeliruan. Kata ekumene dalam khotbah paus pada hari itu berarti konsili umum, bukan konsili persatuan. Tetapi pada waktu itu gerakan ekumene kuat dan mengartikan konsili ekumene sebagai konsili persatuan].[12] Paus sangat berminat terhadap wujud persatuan, tetapi konsili baru dimaklumkan untuk membaharui Gereja Katolik. Tentunya Gereja yang diperbaharui, hendaknya menggalang persatuan baru dengan Gereja dan golongan bukan Katolik.[13] Walaupun Konsili Vatikan II merupan konsili untuk Gereja Katolik, paus Yohanes Paulus XXIII berpendapat bahwa pembaharuan Gereja tidak mungkin kalau “saudara-saudara yang terpisah” tidak dilibatkan. Untuk itu didirikan pada tahun 1960 Sekretariat untuk Pembinaan Persatuan Kristen [Promoting Christian Unity].[14] Dan sebagai juru bicara paus untuk gerakan itu, sekaligus pemimpin sekretariat ialah Kardinal Bea.[15] Walaupun persatuan dengan Tahta Petrus tetap dipertahankan sebagai bentuk keesaan yang paling sempurnah, namun hal ini tidak lagi merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendorong terciptanya kesatua Kristen.[16] Konsili Vatikan II telah memungkinkan Gereja Katolik berkembang ke arah baru yang tak terbayangkan sebelumnya.

2.1.3. Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Ekumumenisme
Khusus mengenai gerakan ekumene, Konsili Vatikan II mengeluarkan dekrit yang bernama “Unitatis Redintegratio” [Pemulihan Kembali Kesatuan], yang mendobrak isoleman Roma dan mengajak orang-orang Katolik untuk bekerja sama dengan saudara-saudara yang terpisah. Oleh panitia pelaksana Konsili Vatikan II disiapkan tiga dokumen pada bulan Desember 1961 yang kemudian disatukan menjadi dekrit. Pertama, dokumen tentang Ekumenisitas Gereja yang menjelaskan keesaan dalam pluralitas sebagai hakikat Gereja. Kedua, dukumen yang berisikan usul-usul praktis bagi pelaksanaan gerakan ekumene, dan ketiga dokumen tentang Ekumene Gereja Katolik. Setelah membahas ketiga dukumen ini pada bulan Desember 1962, konsili kemudian memutuskan bahwa ketiga dokumen ini harus disatukan menjadi Dekrit tentang Ekumenisme. Konsep untuk dekrit ini dibicarakan pada tahun 1963 dan 1964, dan pada 21 November 1964 dekrit ini diproklamasikan oleh paus.[17] Suatu dokumen yang dalam kalimat pertama dengan tegas berkata; pemulihan kesatuan antara segenap orang Kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Vatikan II [UR 1].
 Selain Unitatis Redintegratio, semangat ekumenis didorong juga oleh Konstitusi Dogmatis tentang Gereja  [de Ecclesia] dan Terang Dunia [Lumen Gentium], yang mengubah pemahaman Konsili Vatikan I tentang Gereja. Gereja Katolik menyadari bahwa di luar batas-batasnya terdapat orang-orang Kristen yang merupakan umat Allah, sehingga Gereja Katolik wajib memelihara hubungan persaudaraan dengan mereka. Terutama gerakan ekumene tidak hanya inisiatif Gereja-gereja untuk bersatu, tetapi sejatinya merupakan kehendak dan karya Allah sendiri.[18] Sebagaimana telah dijelaskan pada bab I, istilah ekumenisme tidak berarti berbeda dengan ekumene. Tidak dimaksudkan bahwa gerakan ekumene dipandang sebagai aliran [isme] di samping aliran dan ideologi-ideologi lain, tetapi merupaka sikap ekumenis Gereja Katolik mendukung gerakan ekumene yang sedang berkembang. Gereja Katolik tidak bermaksud mengusahakan gerakan ekumene sendiri sebagai saingan terhadap gerakan ekumene yang suda ada, tetapi ingin menemukan asas-asas Katolik untuk berpartisipasi dalam gerakan ekumene yang sedang berlanggsung.[19]

2.2. Ekumene; Pemulihan Kesatuan Kristen
            Yeng dimaksudkan dengan gerakan ekumene ialah: “kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi, diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen [dan seterusnya sebagaimana diuraikan panjang-lebar dalam dekrit UR 4]”. Dari penjelasan ini tampak bahwa, berbicara tentang ekumene tak terlepas dari perbincangan tentang Kesatuan Kristen, sebab ekumene dan Kesatuan Kristen mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan ekumene adalah mewujudkan Kesatuan Kristen. Lantas kesatuan macam apakah yang hendak dicapai di dalam gerakan ekumen tersebut? Apakah kesatuan dipahami sebagai kesatuan yang nampak, sehingga tujuan gerakan ekumene baru tercapai pada saat di dunia ini hanya tinggal satu Gereja saja, yaitu Gereja Kristus yang Esa? Ataukah cukup kesatuan dipahami sebagai kesatuan di dalam Roh, yaitu semua Gereja mau mengaku diri satu di dalam Yesus Kristus? Demi dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, atau merumuskan inti gagasan Kesatuan Kristen, di bawah ini akan diuraikan prinsip-prinsip Katolik tentang Kesatuan Kristen yang terdapat dalam dekrit Unitatis Redintegratio.

2.2.1. Prinsip-Prinsip Katolik Untuk Kesatuan Kristen
Berbicara tentang partisipasi Gereja Katolik dalam gerakan ekumen, maka harus juga bicara tentang prinsip-prinsip ekumene yang menjadi dasar pijak bagi seluruh umat Katolik di dalam gerakan itu. Karena jika tidak, maka katolisitas umat Katolik akan menjadi kabur dan kehilangan arah. Gagasan tentang Kesatuan Kristen yang mau dipulihkan lewat gerakan ekumene sebenarnya memiliki landasan yang amat kuat dalam Kitab Suci. Bahkan Kesatuan Kristen merupan hakekat dari Gereja itu sendiri, oleh karena Kesatuan Kristen merupakan kehendak sekaligus pemberian Allah. Kesatuan Kristen merupakan doa Yesus yang terus menerus, yang dibangun atas dasar iman, harap, dan kasih [UR 2] dalam sikap saling menghormati dan solidaritas, tetapi terutama suatu kesatuan organik seperti Pokok Anggur dan ranting-rantingnya (Yoh 15:4); Yesus sebagai Kepala, dan Gereja sebagai angota-anggotanya.[20] Partisipasi Gerja Katolik mendukung gerakan ekumene pertama-tama karena Gereja percaya bahwa Kristus telah mendirikan Gereja yang satu dan tunggal, sementara banyak persekutuan Kristen hanya menampakan diri sebagai pusaka warisan Kristus [UR 1].



2.2.1.1. Kesatuan Kristen Adalah Kesatuan Triniter
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “Pola dan Prinsip terluhur Kesatuan Kristen ialah kesatuan Allah yang Tunggal dalm tiga Pribadi, Bapa Putera, dan Roh Kudus” [UR 2].[21] Maka, pada dasarnya gerakan ekumene sebagai usaha pemulihan Kesatuan Kristen adalah panggilan menghadirkan kesatuan Allah Tritunggal ke dalam hidup Gereja. Dengan kata lain, Kesatuan Kristen adalah Gereja yang Satu dan Tunggal [UR 2] itu sendiri yang berakar dalam Tritunggal Maha Kudus, yang dihimpun dan dibangun oleh Yesus, serta dibimbing oleh Roh Kudus. Sehingga Kesatuan Kristen hanya mungkin dalam relasinya dengan Tritunggal, yang berbagi dan mewujudkan dalam hidup umat beriman kedalaman hidup Bapa, Putra dan Roh Kudus sendiri. Hanya dalam relasi inilah umat beriman bisa saling mengenal, saling memperhatikan dan berbagi satu sama lain.[22]
Paus Benediktus XVI menegaskan, “Yesus adalah simbol Kesatuan Kristen dan antar Kesatuan Kristen dengan Allah sendiri. Kesatuan seluruh umat Kristen hanya mungkin terjadi karena bersama dan di dalam Kristus”. Sehingga gerakan ekumene [atau pemulihan Kesatuan Kristen] adalah usaha perdamaian di dalam Kristus, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Penyelamat [UR 1]. Paus menambahkan, sejak awal Gereja Katolik memandang panggilan untuk membangun Kesatuan Kristen berciri ekaristik [Perjamuan Malam Terakhir Yesus], karena dari sanalah Yesus membangun umat Allah yang baru; umat Perjanjian Baru. Perjamuan Malam itu bagi Gereja Katolik menjadi pusat kesatuan umat Allah yang baru. Sehingga ekaristi merupakan perwujudan Kesatuan Kristen [UR 2], yaitu umat Perjanjian Baru yang membangun kesatuan hidup dengan Allah dan dengan Kristus sebagai pusatnya.[23] Dan melalui Roh Kudus umat beriman didirong ke dalam kehidupan Yesus yang penuh rahmat [iman-harap-kasih] serta mengamalkan kunai-kurnia itu dalam relasi timbal balik satu sama lain, bahkan ke seluruh dunia sebagai karya misi Gereja.[24]

2.2.1.2. Kesatuan Kristen Adalah Kesatuan Iman
Kesatuan Kristen pada hakikatnya adalah kesatuan iman, oleh karena dibangun oleh Yesus lewat kesediaan orang-orang untuk dibabtis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus [Kesatuan Triniter].[25]  Melalui Roh Kudus, mereka dikumpulkan dalam persekutuan umat beriman dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat [UR 2]. Persekutuan ini disebut persekutuan umat beriman sebab dikumpulkan oleh Roh Kudus yang memegang iman yang satu, memberitakan injil yang satu, memecahkan roti yang satu, berdoa bersama dan hidup bersama dalam pelayanan kepada segala manusia.[26] Memang Allah berkenan menghimpun kembali umat-Nya dan membuat mereka menjadi satu tubuh, namun perwujudan kongkrit harus berkembang dan disempurnahkan terus-menerus. Itulah sebabnya kesatuan iman harus mendorong semua orang Kristen untuk mencari persekutuan [atau Communio] dengan semua saudara dalam iman.[27] Dalam persekutuan inilah setiap Gereja menggumuli panggilan dan cita-cita yang satu, yaitu membangun Gereja Allah yang kelihatan dan bersifat universal dan diutus ke seluruh dunia [UR 4].
Kesatuan Kristen adalah kesatuan iman yang mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Sehingga kesatuan Kristen bukan pertama-tama keseragaman, lebih tepat bila kesatuan itu dimengerti sebagai persekutuan dalam persaudaraan, saling meneguhkan dan melengkapi dalam penghayatan iman. Dan karena kekayaan iman serta keanekaan budaya, maka kesatuan yang nyata berarti keanekaragaman, baik dalam pengungkapan iman yang liturgis, maupun dalam perwujudan persekutuan dalam organisasi Gereja. Singkatnya, usaha pemulihan Kesatuan Kristen sebagai persekutuan umat beriman bukan pertama-tama mencari kesatuan lahiriah, melainkan kesadaran akan kesatuan iman karena rahmat injili.[28] Kesatuan Kristen dalam bentuk persekutuan umat beriman terarah pada kesatuan yang jauh melampaui batas-batas Gereja, dan terarah kepada kesatuan semua orang yang “berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2im 2:22).
Catatan: Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa Gereja Protestan melihat hubungan ekumenis itu terdapat hanya dalam Kitab Suci, terutama dalam kesatuan iman rasuli. Tetapi bagi Gereja Katolik selain Kitab Suci sebagai pegangan, Gereja juga hidup dalam keseluruhan “tradisi” historis, turun-temurun anatar para rasul dan pengganti mereka yaitu para uskup. Itulah sebabnya Kristus mengangkat Santo Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan [LG 18].[29] Sehingga usaha pemulihan Kesatuan Kristen harus juga mendorong terciptanya kesatuan dalam hirarki [kepemimpinan] Gereja sebagai prinsip kesatuan lahiriah Gereja itu sendiri. Yang dimaksud dengan hirarki Gereja, tidak tertutup pada paus, para uskup, imam dan diakon, tetapi para pendeta juga dan semua orang yang dengan berkat sakramen tahbisan diutus untuk menggembalakan umat Allah menuju kesatuan yang sempurnah dalam Kristus [UR 2].[30]

2.2.1.3. Kesatuan Kristen Adalah Kesatuan Dalam Roh
            Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “Perpecahan dalam tubuh Gereja Kristus [Gereja yang Satu dan Tunggal] telah ada sejak semula, dan merupakan perkara yang sangat dicela [UR 3]. Gereja Katolik percaya bahwa perpecahan itu sendiri bukan merupakan perkara yang dikehendaki Allah, melainkan perbuatan Gereja sebagai umat berdosa [disebut dosa perpecahan], dan mereka yang hidup terpisah dari Gereja Katolik tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan atas dosa tersebut. Mereka harus diterima sebagai saudara-saudara dalam Kristus [UR 3]. Gereja Katolik melihat adanya karya keselamatan Allah dalam Gereja-gereja yang terpisah, sebab dengan Sakramen Permandian yang sah, mereka pun masuk dalam persekutuan umat beriman.[31] Sehingga partisipasi Gereja dalam usaha pemuliahan Kesatuan Kristen [atau gerakan ekumene] berangkat dari kesadaran ini, terutama atas keyakinan bahwa usaha itu sendiri merupakan karya Roh Kudus mempersatukan kembali tubuh Kristus. Meskipun perpecahan dalam tubuh Gereja yang satu dan Tunggal, tetapi Roh Kudus tetap berkarya. Bahkan dalam dekrit Unitatis Redintegratio dengan sangat bagus dikatakan, “Atas rahmat Roh Kudus, di mana-mana banyak sekali orang yang terdorong untuk memulihkan kesatuan segenap umat Kristen [UR 1] melalui doa dan pewartaan. Maka itu Konsili Vatikan II mengundang segenap umat Katolik untuk mengenal tanda-tanda zaman, dan secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis [UR 4].[32]
Kesatuan Kristen adalah kesatuan dalam Roh sebagai satu Tubuh Kristus yang disebut Kesatuan Rohani. Untuk menjelaskan hal ini Donald Guhtrie memberikan masukan yang berarti;
Roh yang dijanjikan kepada semua murid untuk tinggal di dalam mereka menjamin adanya satu tubuh yang terdiri dari orang-orang yang menyerahkan diri untuk tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan kesaksian tentang Kristus (Yoh 15:27). Tujuan ini tidak memerlukan suatu organisasi untuk mencapainya, tetapi harus ada perasaan kesatuan yang kuat, yang bergantung bukan pada kepandaian manusia, melainkan pada kuasa Roh Kudus.[33]
Di sini, Guthrie secara tegas menekankan “rasa kesatuan” ketimbang “organisasi yang menyatukan”, dan “kesatuan karena Roh” ketimbang “kesatuan karena usaha manusia”. Itulah sebabnya Kesatuan Kristen sebagai kesatuan rohani bercorak tidak kelihatan namun dapat dirasakan, karena kesatuan rohani bukan pertama-tama karena usaha manusia [orang-orang Kristen] tetapi semata-mata bergantung pada kuasa Roh Kudus. Dengan kata lain, Kesatuan Kristen merupakan hasil dari karya Roh Kudus, yang membimbing perasaan kesatuan sebagai umat beriman dan menciptakan persekutuan di antara mereka [UR 2]. Meskipun demikian, usaha untuk mencapai kesatuan rohani [atau kesatuan dalam Roh Kudus] yang sejati bukanlah tanpa perjuangan. Terdapat bermacam-macam perbedaan, baik ajaran maupun tata susunan organisasi, yang seringkali menjadi penghalang [UR 3]. Sehingga untuk mencapai hal itu, setiap orang Kristen harus memiliki kehidupan rahmat [iman, harap dan kasih] serta anugerah-anugerah batin lainnya yang merupakan kekayaan rohani yang dapat menyumbang bagi terciptanya Kesatuan Kristen.[34]

2.2.2. Kesatuan Kristen Lebih Tepat Disebut Communio
Sebagai pamungkas pandangan Konsili Vatikan II tentang gerakan ekumene adalah merumuskan Kesatuan Kristen sebagai communio. Kata ini merupakan terjemahan Latin dari kata Yunani koinonia yang berarti persekutuan. Di satu pihak communio berarti hubungan atau persekutuan dengan Allah melalui Yesus Kristus dalam sakramen-sakramen, tetapi di pihak lain bisa juga berarti kesatuan seluruh umat beriman akan Kristus, yakni persekutuan Gereja-gereja setempat dengan pusat Gereja universal di Roma, dan persekutuan dengan Gereja-gereja bukan Katolik. Communio sebagai persekutuan seluruh umat Kristen menunjuk pada keanekaragaman para anggotanya dan keanekaramanan dalam cara berkomunikasi, sebab “Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman. Roh Kuduslah yang membagi-bagikan aneka rahmat dan pelayanan, serta memperkaya Gereja Kristus dengan pelbagai anugerah [UR 2].[35]
Paus Benediktus XVI menegaskan, “Kesatuan Kristen berciri komunitaris, suatu communio dengan ketiga pribadi ilahi dan seluruh umat manusia. Sehingga kesatuan yang hendak dibangun berdasar kesatuan ilahi ini bukan kesatuan administratif, lebih tepat disebut persekutuan umat beriman dalam Kristus”.[36] Jika Kesatuan Kristen merupakan persekutuan atau communion seluruh umat beriman, maka lebih cocok bila Kesatuan Kristen dipahami sebagai kesatuan dalam kepelbagaian, dengan menegaskan bahwa setiap Gereja bukanlah bagian, melainkan wujud setempat yang utuh dari Gereja Kristus. Bukan kesatuan yang ditampilkan dalam bentuknya yang nyata sebagai satu Gereja yang esa yang disebut kesatuan struktural, tetapi kesatuan di dalam Roh sebagai Tubuh Kristus, yang disebut kesatuan rohani. Singkatnya, Kristen Kesatuan bukan kesatuan keseragaman, melainkan persekutuan dalam persaudaraan, saling meneguhkan dan melengkapi dalam penghayatan iman.[37]

2.2.2. Ekumene Dan Rekonsiliasi
Sejak Konsili Vatikan II Gereja Katolik tidak lagi melihat dirinya sendiri dan tidak tertutup dalam dirinya sendiri, dengan paham persekutuan [communio] dalam Kristus, Gereja membuka diri dan melihat dirinya dalam hubungan dengan orang-orang Kristen lain, [bahkan dengan seluruh umat manusia]. Partisipasi Gereja Katolik dalam gerakan ekumene menurut cara-cara yang digariskan dalam dekrit Unitatis Redintegratio merupakan landasan utama bagi pemulihan Kesatuan Kristen. Meskipun sebagai suatu gejala yang khusus dan terbilang baru, namun gerakan ekumene merupakan bagian dari sejarah keselamatan yang diperuntuhkan Tuhan bagi bangsa manusia.[38] Roh Kudus mengajarkan bahwa akar dari perpecahan antar Gereja-gereja adalah dosa serta kesombongan manusia, namun Roh Kudus sendiri tetap mendorong untuk saling mengampuni dan mengusahakan perdamaian satu dengan yang lain [UR 3]. Bahakan Yohanes Paulus II mengatakan, “Apa yang mempersatukan kita [orang-orang Kristen] itu lebih besar dari apa yang menceraikan kita”.[39] Sehingga yang paling pokok dalam gerakan tersebut bukan ditentukan oleh kecepatan untuk mempersatukan semua Gereja yang terpisah, melainkan pada partisipasi aktif, serta dorongan untuk saling mengampuni satu sama lain.
Gerakan ekumene harus menginsafkan umat manusia bahwa Gereja ada dalam pengembaraan menuju pada kepenuhan terakhir dalam Kristus, dan meskipun Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, namun perwujudan kongrit harus menjadi dimensi manusiawi yang tetap mendorong Gereja untuk membaharui dirinya. Bagi Gereja Katolik sendiri, cita-cita ekumenis itu terbilang sangat kuat dan mendalam, hal itu terungkap dalam sikap dan partisipasi Gereja mengusahakan saling pengertian dengan saudara-saudari yang terpisah. Ada pula keinginan untuk mengusahakan tindakan-tindakan kongkrit berupa pewartaan, kegiatan, bahkan juga doa bersama sesuai kehendak Kristus. Meskipun itu, bagi Gereja Katolik masih terdapat beberapa hambatan yang tidak dapat disembunyikan, bahkan masih merongrong segalah usaha untuk mencapai Kesatuan Kristen yang sejati. Itulah sebabnya, Konsili Vatikan II merumuskan beberapa pendekatan demi menghilangkan segala akar dan sebab-musabab dari perpecahan.

2.2.2.1. Ekumene; Mencari Kesepakatan Eklesiologis
Dalam usaha mencari kesepakatan eklesiologis, Gereja-gereja menemukan kesulitan berkaitan dengan peristilahan. Sebagai contoh istilah “katolik” yang selain menunjuk pada suatu konsep teologis tentang sifat Gereja, tetapi juga dipakai sebagai nama untuk Gereja Katolik Roma. Di Indonesia, istilah “kristen” sering diartikan sebagai nama untuk Gereja-gereja Protestan, namun bisa juga menunjuk pada umat Kristus pada umumnya, termasuk juga Gereja Katolik.[40] Demikian juga kesulitan yang besar hadir pada konsepsi eklesiologis, terutama karena tidak adanya defenisi resmi maupun rumusan jelas yang menjadi kesepakatan bersama. Secara praktis, dalam tubuh Gereja sendiri terdapat berbagai kesamaan, tetapi juga ada perbedaan. Kesamaan tampak dalam peraturan-peraturan dan konsili-konsili. DGD merumuskan eklesiologis sebagai persekutuan antara Gereja-gereja yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan penebus menurut Alkitab dan oleh karena itu berusaha bersama-sama memenuhi panggilan demi kemuliaan satu Tuhan, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.[41] Hal senada dibicarakan oleh konsili dalam dekrit Unitatis Redintegratio tentang eklesiologis sebagai semua orang yang menyembah Allah Tritunggal dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penebus mereka. Hal mana mereka lakukan tidak hanya secara perseorangan tetapi juga selaku anggota persekutuan-persekutuan yang menerima Injil, dan yang dihargai bukan hanya sebagai Gereja mereka sendiri tetapi juga sebagai Gereja Allah [UR 20].
Dari dua rumusan ini nampak kesamaan yang mendasar, pertama mengenai hal mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penebus. Ternyata semua Gereja, baik Katolik maupun Protestan, sama-sama menyembah Tuhan yang satu, yakni Allah, Putera dan Roh Kudus [Tritunggal], dan yang dilakukan oleh seluruh umat Kristus. Konsili mencatata, merupakan suka-cita yang besar oleh karena kerinduan akan persatuan dengan Kristus, mereka terdorong untuk semakin mengusahakan kesatuan seluruh Gereja Kristus, dan member kesaksian iman yang benar di tengah-tengah dunia [UR 20]. Itulah sebabnya Kesatuan Kristen merupakan kesatuan yang mungkin terwujud karena kesatuan iman akan Kristus tersebut. Kedua mengenai semua hal yang berdasarkan Alkitab sebagai Sabda Allah yang tertulis dan menjadi dasar iman akan Yesus Kristus. Konsili berbicara sebagaimana Sabda Allah menjelma untuk kita, misteri itu jugalah yang terkandung dalam Kitab Suci mendorong saudara-saudari yang terpisah merenungkan hidup Kristus serta karya keselamatan, terutama misteri wafat dan kebangkitan-Nya [UR 21].[42]Meskipun kesamaan dapat dirajut, ada pula beberapa perbedaan tetap menjadi perbincangan penting, terutatama hal-hal menyangkut hubungan antar Gereja dan Alkitab, jabatan rohani dalam Gereja, sakramen-sakramen serta konsep teologi. Namun, harus diakui bahwa perbedaan-perbedaan tersebut merupakan perkembangan dari tradisi yang berlainan.
Dalam rangka mencari kesepakatan eklesiologis yang dimaksud, Hans Kung memberikan beberapa prinsip dasar yang dapat disimpulkan sebagai berikut: Menurutnya, kesatuan realitas gerejani yang sudah ada harus diakui, yaitu bahwa dalam Kristus kita disatukan karena iman. Oleh karena iman akan Kristus melalui babtis, orang-orang Kristen menjadi saudara-saudari dalam Tuhan, sehingga Kesatuan Kristen menjadi kesatuan iman. Dalam iman kepada Kristus setiap Gereja mengakui satu Bapa, satu Putera, dan satu Roh Kudus, serta menerima Injil sebagai satu-satunya sumber hidup iman Gereja. Oleh karena itu, Kesatuan Kristen harus dikembangkan dari kesatuan yang sudah ada itu dan tidak membuat kesatuan yang seolah-olah baru sama sekali. Pengetahuan serta pengakuan akan kesatuan yang sudah ada dalam Kristus itu memanggil umat seluruhnya untuk mencari kesatuan itu. Namun kesatuan itu secara asasi adalah karya Allah, sehingga dengan kekuatan manusia sendiri cita-cita itu tak mungkin dicapai. Dengan demikian usaha merajut Kesatuan Kristen mesti dilakukan dalam doa yang terus-menerus, agar Gereja ditebus dari kejahatan perpecahan.[43]
Karya kesatuan harus mulai dalam Gereja sendiri, sebab Kesatuan Kristen tak bisa dilaksanakan dengan meninggalkan Gereja sendiri dan menggabungkan diri pada Gereja lain. Kesetiaan pada Gereja sendiri akan menjadi titik tolak keterlibatan yang lebih besar pada usaha Gereja-gereja membangun Gereja Kristus yang benar. Cita-cita kesatuan yang sejati berarti kesediaan memperbaharui Gereja sendiri dengan memenuhi permintaan dari Gereja-gereja lainnya. Kesatuan merupakan proses ke depan, dengan saling memberi dan menerima sehingga unsur-unsur yang sama akan semakin jelas dan berkembang.[44] Kebenaran tidak boleh dikurbankan tetapi harus ditemukan kembali. Gereja yang meninggalkan kebenaran berarti meninggalkan diri sendiri, dan kesatuan adalah usaha menemukan kebenaran terus menerus. Gereja yang ingin menemukan kesatuan dengan Gereja-gereja lain harus menjadi pencinta dan pengikut kebenaran. Inilah Gereja yang mengakui dengan rendah hati bahwa dirinya bukanlah pernyataan seluruh kebenaran, melainkan yang harus dipimpin lagi secara baru oleh Roh Kebenaran menuju ke segala kebenaran. Pedoman untuk kesatuan adalah injil, yang dari padanya seruruh Gereja menimba kebenaran yang berasal dari pesan-pesan injil itu, yang juga adalah Tuhan sendiri.[45]



2.2.2.2. Ekumene: Mencari Hirarki Kebenaran-Kebenaran
Pendekatan dogmatis eklesiologis lebih berefleksi ke dalam dan bersifat subjektif. Sekarang akan dilihat pendekatan yang lebih bersifat objektif untuk menelaah kebenaran-kebenaran dalam iman Kristen guna menyusunnya dalam tata hirarkis. Istilah hirarkis kebenaran-kebenaran ditemukan dalam dekrit Unitatis Redintegratio: “Dalam membanding-bandingkan ajaran-ajaran hendaklah mereka [para teolog] ingat bahwa terdapat tata susunan atau hirarki kebenaran-kebanaran ajaran Katolik, sebab berlain-lainanlah hubungannya dengan dasar iman Kristen [UR 11]. Di samping perhatian kepada kesamaan serta perbedaan di dalam tubuh umat Kristen, sangat pentinglah memberi perhatian pada tata hirarkis dari kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Beberapa kebenaran termasuk Tujuan Akhir, misteri Tritunggal Maha Kudus, Inkarnasi dan Penebusan, serta Cinta Kasih Allah. Ada pula kebenaran-kebenaran yang tergolong dalam sarana-sarana menuju keselamatan seperti; sakramen-sakramen, susunan Hirarkis Gereja, Tata Apostolik dan lain sebagainya. Kebenaran-kebenaran ini diberikan Yesus selama masa persiaraan-Nya di dunia. Demikian dengan menunjuk pada kebenaran-kebenaran tersebut hendak diperlihatkan kesatuan yang sudah ada dan sekaligus juga perbedaan-perbedaannya.[46]

2.2.2.3. Ekumene: Mencari Hakekat Kristianisme
Bernard Lombart mengemukakan bahwa problem dogmatis yang pokok dalam usaha-usaha ekumenis adalah mencari hakekat kristianisme. Dia membedakan ekumene sebagai bidang teologis, dan ekumene sebagai semangat. Teologi Ekumene bertugas memberi ilham dan bimbingan karya apostolik, serta bertugas menghubungkan karya Allah dalam tata keselamatan dan karya Allah dalam kesatuan seluruh umat Kristen. Ekumene sebagai ilmu pengetahuan perlu menggambarkan kenyataan-kenyataan historis umat Kristen, selain itu juga menyajikan pandangan sintesis mengenai kesatuan dan universalitas Gereja, problem-problem khusus dan sarana-sarana serta cara-cara yang dapat menuntun ke arah kesatuan umat Kristen dan kepenuhan Gereja. Ekumene ilmiah pertama-tama harus melihat dan membatasi problem ekumene, yang meliputi problem historis, problem hubungan antar kelompok pengaku iman, problem dogmatis, problem mengenai missi Gereja dan ibadatnya maupun problem psikologis dan sosiologis Gereja.[47] Usaha-usaha ekumenis hendak mensistimatisir macam-macam bentuk kristianisme dengan membanding-bandingkan dan menggolongkannya. Untuk itu usah harus dimulai dari kenyataan historis dan langkah demi langkah diungkapkan segi-segi baru dalam problem ekumenis. Yang menjadi problem dogmatis adalah hakekat kristianisme, yang sifatnya tunggal namun memiliki banyak bentuk. Di sinilah muncul problem keanekaragaman pengakuan dan kesatuan iman. Dan hanya melalui konfrontasi dalam berbagai segi yang disertai keterbukaan diharapkan bahwa kristianisme semakin diwujudkan.[48]

Kesimpulan   
            Sampai Konsili Vatikan II, hubungan antara Gereja Katolik dan tradisi Kristen yang lain mengalami jalan buntu, sebab Gereja Katolik masih kokoh dengan pandangannya bahwa "tidak ada keselamatan di luar Gereja [Katolik]". Barulah sejak Konsili Vatikan II hubungan itu dibangun, terutama atas kesadaran bahwa perpecahan Gereja sangat bertentangan dengan kehendak Allah. Konsili Vatikan II membuka pintu Gereja Katolik untuk menerima saudara-saudari Gereja Kristen lain [bahkan seluruh umat manusia] untuk masuk dalam kehidupan Yesus yang penuh cinta kasih. Dekrit Unitatis Redintegratio [Pemulihan Kesatuan Kristen] menjadi bukti keputusan Vatikan II tentang sikap ekumenis Gereja Katolik. Meskipun konsili diadakan dengan maksud utama membuat perubahan dalam tubuh Gereja Katolik, namun tujuan ekumenis tetap menjadi sikap dasar yang mendesak untuk dibicarakan dalam Vatikan II. Konsili Vatikan II menyatakan, Kesatuan Kristen merupakan karya Allah dalam diri Yesus Kristus melalui Roh Kudus, sehingga kesatuan pertama-tama bukanlah usaha manusia atau Gereja-gereja tetapi atas dorongan dan prakarsa ilahi. Itulah sebabnya peran Roh Kudus menjadi pusat seluruh langkah gerakan ekumene, bahkan Kesatuan Kristen yang dipulihkan lewat gerakan ekumene merupakan karya Roh Kudus sendiri. Dengan hadirnya Roh Kudus dalam diri umat Kristen, Allah memanggil setiap orang beriman akan Dia untuk masuk dalam persekutuan atau communio.dengan Kristus, dan membangun Kesatuan Kristen yang otentik atas itu.










[1] Bdk. Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ, Menerobos Pintu Sempit; Nafas Ilahi Dalam Gereja KAJ  (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 78.
[2]Bdk. Drs. P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint: Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 69.

[3] Bdk. Ibid
[4] Bdk. Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),  hlm. 91.

[5]Bdk. Dr. J. Verkuyl, Apakah Beda Gereja Roma Katolik dan Reformasi? (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), hlm. 7.

[6]Idem

[7] Bdk. Drs. P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint: Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 69.
[8] Bdk. Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),  hlm. 90.

[9] Bdk. Ibid

[10]Bdk. Walter M. Abbott, SJ, Ekumenism , dalam The Document of Vatican II – All Sixteen Official Texts Promulgated Council 1963-1965 (Amerika: Assoication Press, 1966), hlm. 337.

[11]Yohanes XXIII 1881-1963 (lahir di Sott il Monte, Italia) adalah Paus Gereja Katolik Roma sejak 28 Oktober 1958 hingga 3 Juni 1963. Ia sering disebut "Paus Yohanes Yang Baik" dan juga dihargai oleh orang Anglikan dan Protestan berkat jasanya untuk menyatukan gereja yang pecah. Paus ini memaklumkan Konsili Vatikan II yang kemudian menghasilkan reformasi atas doktrin-doktrin Gereja Katolik dan ditingkatkannya rekonsiliasi antar umat beragama, suatu hal yang pada waktu itu tidak terbayangkan muncul dari kekuasaan tertinggi Tahta Suci. Walaupun masa pemerintahannya hanya singkat saja (sekitar 5 tahun lamanya), Paus Yohanes XXIII dianggap sebagai salah satu Paus terbesar yang pernah ada dalam sejarah Gereja Katolik. Bdk. “Paus Yohanes XIII” dalam http://id.wikipedia.org/ (diunduh pada tanggal 18 Desember 2011 Pkl. 02.35 WITA)

[12] Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hlm. 25.

[13] Bdk. Ibid

[14]Sekretariat untuk Memajukan Kesatuan Kristen (Promoting Christian Unity) merupakan salah satu komisi persiapan Konsili Vatikan II.  Didirakan oleh paus Yohanes XXIII pada tahun 1960. Tugas sekeretariat ini adalah mengadakan hubungan dengan Gereja-gereja lain, mengundang tamu-tamu dari Gereja-gereja lain untuk Konsili Vatikan II, serta mengutus peninjau-peninjau Katolik ke siding-sidang ekumenis yang dilaksanakan oleh Gereja-gereja Protestan. Setelah Konsili Vatikan II sekretariat keesaan ini mengeluarkan Directorium (petunjuk) ekumene, jilid pertama mengenai hubungan-hubungan ekumenis pada tingkat lokal dan jilid kedua mengenai pendidikan teologi. Dalam Konstitusi Apostolik Pastor Bonus (28 Juni 1988), paus Yohanes Paulus II mengubah sekretariat ini menjadi Dewan Kepausan untuk Memajukan Kesatuan Kristiani (The Pontifical Council For Promoting Christian Uniti/PCPCU). Dewan ini memiliki peran ganda: pertama, promosi dalam Gereja Katolik semangat ekumenis otentik menurut dekrit konsili Unitatis Redintegratio; kedua, untuk mengembangkan dialog dan kerjasama dengan Gereja-gereja lain dan Komuni Dunia. Bdk. “Dewan Kepausan untuk Memajukan Kesatuan Kristiani” dalam http://id.wikipedia.org/ (diunduh pada tanggal 17 Desember 2011 Pkl. 20.00 WITA)

[15]Kardinal Bea dilahirkan 1881 di Jerman Selatan, lalu masuk Serikat Yesus dan menjadi Profesor Exsegese, Rektor Biblicum di Roma dan pemimpin panitia untuk Kitab Suci. Prof. Bea menjadi Kardinal dan pemimpin Sekretariat untuk Pembinaan Persatuan Kristen. Bdk. Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hlm. 26

[16] Bdk. Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),  hlm. 92.

[17] Bdk. Ibid

[18] Bdk. Ibid

[19] Bdk. Ibid

[20] Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab Dalam Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003) hlm. 170

[21] Bdk. Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 344.

[22] Bdk. Mgr. Ignatius Suharyo, Gereja Yang Melayani Dengan Rendah Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 136.

[23] Bdk. Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI (Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 87.

[24] Bdk. Mgr. Ignatius Suharyo, Gereja Yang Melayani Dengan Rendah Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 136.

[25] Bdk. Mgr. Ignatius Suharyo, The Chatolic Way (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 16.

[26] Bdk. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 107.

[27] Bdk. Ibid, hlm. 345.

[28] Bdk. Ibid

[29] Bdk. Ibid, hlm. 347.

[30] Bdk. Konferensi Wali Gereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 69.

[31] Bdk. Dr. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),  hlm. 104.

[32] Bdk. Ibid, hlm. 105.

[33] Bdk. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru; Eklesiologi, Eskatologi, Etika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) hlm. 48.

[34]Dr. Josef Koningsmann, dalam Gerakan dan Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 30.

[35] Bdk. Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 340.

[36] Bdk. Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI (Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 94

[37] Bdk. Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 346

[38]Dr. Josef Koningsmann, dalam Gerakan dan Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 30.

[39]Bdk. “Ekumene Gereja Katolik menurut salah satu Gereja Protestan” http://katolisitas.org (diunduh pada tanggal 2 Jnuari 2012 Pkl. 03.00 WITA)

[40] Bdk. Arend Th. Van Leeuwen, Agama Kristen Dalam Sejarah Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm. 46.

[41] Bdk. Dr. Jan S. Aritongan & Dr. Chr. De Jonge, Apa Dan Bagaimana Gereja; Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hlm. 54.

[42] Bdk. Ibid

[43] Bdk. Hans Kung, Theology for the Third Millennium; An Ecumenical View (Knopf Doubleday Publishing Group, 2011) hlm. 441.

[44] Bdk. Ibid

[45] Bdk. Ibid, hlm. 442.

[47] Bdk. Ibid, hlm. 309.

[48] Bdk. Ibid, hlm. 337.

7 komentar:

  1. sundul77.com Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya
    sundul77.com Adalah Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya, Game Slot Mesin, Agen Sbobet, Agen Ibcbet, Agen Mansion88 sundul77 Merupakan Salah Satu Bandar Bola, Bandar Casino, Poker Online Terpercaya IDNSPORT. Kelebihan Bandar Bola Terbesar www.sundul77.com Desain Website Menarik, Live Casino Online 24 Jam Non-Stop Bersama Dealer Eropa & Dealer Asia..
    Situs Agen Bola Terbaik | Judi Casino Online | poker uang asli | Bandar Slot Terpercaya, Game Slot Mesin, Agen Sbobet, Agen Ibcbet, Agen Mansion88
    Bolagaming mempunyai tim berpengalaman dalam melayani setiap member yang bergabung di situs judi taruhan bola terbaik ini. Kami menyediakan customer service online 24 jam yang akan menemani anda dan membantu memberikan arahan kepada anda agar mudah saat melakukan pendaftaran. Anda bisa memilih jenis permainan judi taruhan online apa saja sesuai keinginan anda.
    Ayo Bergabung Bersama Situs Judi Taruan Bola Terlengkap Bolagaming
    situs agen bola terbaik,judi casino online,poker uang asli,poker uang asli,agen ibcbet

    BalasHapus
  2. I think most people would agree with your 119 127 162 8099 apk scr888 casino game 4 article. I am going to bookmark this web site so I can come back and read more articles. Keep up the good work!

    BalasHapus
  3. This is really great news. Thank you for sharing tm.scr888 android it with us!

    BalasHapus
  4. Subsequently, after spending dl.918kiss.com ลิงค์โหลดเกมส์ many hours on the internet at last We've uncovered an individual that definitely does know what they are discussing many thanks a great deal wonderful post.

    BalasHapus
  5. This is really ultra test xr reviews great news. Thank you for sharing it with us!

    BalasHapus
  6. m.scr888 casino download apk If pussy888 you scr888 casino download could www.scr888.com.login message 918kiss game me with any www.scr888.com hints how to win scr888 & tips on how you made your blog look this cool, I would be appreciative scr888 online games download!Great blog you have here - market is very slow - Hopefully things will begin picking back up

    BalasHapus