Rabu, 08 Februari 2012

PESRAUDARAAN KRISTEN SEBAGAI TUJUAN GERAKAN EKUMENE

PESRAUDARAAN KRISTEN
SEBAGAI TUJUAN GERAKAN EKUMENE
 Oleh: Vitalis Letsoin
Gerakan ekumene Protestan semakin mendapat bentuknya yang kongkrit dalam kerja sama dengan Gereja Katolik. Terutama sejak Vatikan II, Gereja Katolik dengan jujur mengakui kesalahannya sebagai salah satu penyebab perpecahan Gereja Kristus dan merumuskan sikap tegas mendukung gerakan ekumene. Dokumen konsili tentang Pemulihan Kesatuan [Unitatis Redintegratio] menjadi bukti sikap ekumenis Gereja Katolik. Gerakan ekumene itu sendiri merupakan karya Allah memperbaiki jubah Yesus yang tersobek-sobek akibat perpecahan Gereja, dan itu Allah lakukan melalui Roh Kudus. Atas dorongan dan karya Roh Kudus, Allah membangun communio atau persekutuan umat beriman dalam kasih persaudaraan. Itulah sebabnya tujuan gerakan ekumene adalah membangun communio yang di dalamnya hidup dan berkembang kasih persaudaraan Kristen. Meskipun usaha membangun persaudaraan Kristen merupakan usaha Trinitaris [Allah-Putera-Roh Kudus], namun perwujudan kongrit harus berkembang dan disempurnahkan terus-menerus. Oleh karena itu, tindakan-tindakan kongkrit serta sikap praktis harus segera ditunjukan, terutama kemauan untuk berkumunikasi satu-sama lain, melakukan tindakan-tindakan kasih, serta keinginan untuk menghindari segala prasangka negatif. Gereja Katolik sendiri, dalam dekrit Unitatis Redintegratio, merumuskan beberapa prinsip bagi pelaksanaan gerakan ekumene, yang merupakan sikap dan tindakan kongkrit Gereja membangun persaudaraan Kristen yang sejati.

3.1. Persaudaraan Kristen; Sebuah Visi Ekumenis
Persaudaraan di antara umat manusia tidak selayaknya dikaitkan dengan agama masing-masing. Setiap manusia memiliki kodrat transenden yang sama, berawal dan berakhir pada titik yang satu dan sama. Sehingga semua perbedaan yang kasat mata sepertinya tidaklah tampak demikian di hadapan Allah. Oleh karena itu, segala bentuk perbuatan diskriminatif yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang kasat mata, sama sekali tidak sesuai dengan kehendak Allah.[1] Tantangan untuk hidup dalam persaudaraan dengan semua orang memang bukan hal mudah, jangankan dengan orang-orang yang beragama lain, hidup dalam persaudaraan dengan sesama umat Kristen yang berbeda Gereja saja sulit untuk dijalani dengan tulus hati. Berbicara tentang persaudaraan Kristen tidak bisa dilepaskan dari konteks ekumene, sebab tujuan gerakan ekumene adalah membangun persekutuan [communio] umat Kristen dalam kasih persaudaraan. Di sini umat Kristen sebaiknya lebih berhati-hati dalam merenungkan apa yang tersirat dari ekumene itu, dalam arti ajaran dan juga ekumene spiritual [dalam satu Roh], serta kompetensi dari para pesertanya. Namun, apapun juga bentuk dan arah ekumene, ada hal-hal yang tidak boleh diabaikan, terutama unsur “hati nurani” tetap merupakan prinsip utama yang memungkinkan relasi persaudaraan Kristen yang sehat dan harmonis terbangun.

3.1.1. Gagasan Persaudaraan
            Persaudaraan adalah kebutuhan utama umat manusia dalam relasinya satu sama lain, sebab manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain. Akar dari konsep persaudaraan adalah konsep saudara yang berarti hubungan atau pertalian darah antar individu dalam suatu masyarakat. Namun itu hanya satu aspeknya atau arti sempit dari kata itu. Saudara juga bisa dipahami secara lebih luas, sebagai sesama manusia, siapa saja yang ada di sekitar, yang karena satu dan lain hal terjalin erat satu sama lain.[2] Santo Fransiskus Assisi memahami kata saudara secara jauh lebih luas dari pada siapa pun. Ia melihat seluruh ciptaan sebagai saudara dan saudarinya. Dalam pandangan Fransiskus, segala sesuatu yang ada di dalam alam raya yang maha besar ini, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, saling berhubungan [interrelated] karena semuanya mempunyai akar dan sumber yang satu dan sama, yakni yang ilahi sang pencipta sendiri. Karena itu sepatutnya semua unsur ciptaan hidup dalam keharmonisan dan keseimbangan, keharmonisan dalam hubungan antar manusia dan antar manusia dengan alam dan seluruh isinya.[3] 
Dari sudut biblis kata saudara ini mempunyai makna yang sangat dalam, terutama ketika dihubungkan dengan  kata akh [alef-qames-khet] dalam bahasa Ibrani. Dalam tulisan Ibrani kuno setiap huruf melambangkan suatu ide. Orang Ibrani biasa berpikir konkret, sehingga ide abstrak pun digambarkan dengan sesuatu yang konkret. Huruf alef adalah sebuah gambar kepala sapi jantan yang bertanduk [konkret]. Orang Ibrani menggunakannya sebagai simbol “kekuatan” [abstrak]. Sedangkan huruf khet adalah sebuah gambar dinding tenda [konkret] yang melambangkan “pemisah” dan “pelindung” [abstrak].[4] Orang Ibrani di masa lalu hidup sebagai suku bangsa nomaden, sehingga kondisi ini tidak memungkinkan mereka untuk membangun rumah permanen. Tenda adalah rumahnya. Bagian-bagian tenda meliputi atap, dinding, dan pintu. Dinding adalah bagian samping tenda, terbuat dari tenunan bulu domba yang dirajut dengan kuat, yang berfungsi untuk memisahkan antara bagian dalam dan bagian luar tenda, di samping fungsinya sebagai pelindung bagi orang yang tinggal di dalamnya dari serangan binatang buas. “Saudara” yang dianalogikan dengan dinding tenda, memiliki peran dan fungsi “melindungi”. Ia harus melindungi segenap anggota keluarga dari pihak lain yang mengancam jiwa mereka. Jika ada musuh yang menyerang, maka ia akan berdiri di posisi antara musuh dan keluarganya. Ia tidak akan membiarkan musuh berhadapan langsung dengan keluarganya, bahkan ia rela menjadi “tameng” bagi keluarganya, asal nyawa keluarganya selamat. Dengan demikian kata “saudara” mengandung makna bersedia berkorban, bahkan rela mati bagi saudara yang lain.[5]
Sementara bila ditinjau dari sudut etimologi, kata saudara dalam bahwa Indonesia berasal dari bahasa Sanskrit, sa [satu] dan udara [rahim, perut atau ibu]. Karena itu, saudara artinya mereka yang menyusui pada ibu yang satu dan sama, berbagi rahim, hidup dalam satu rumah, menanggung penderitaan dan membagi kegembiraan bersama.[6] Kalau pandangan ini ditarik lebih jauh, dengan menempatkan ibu bumi sebagai rahim dan penyalur kehidupan, maka semua penghuni alam semesta adalah sesama saudara. Berdasarkan pemahaman di atas, maka persaudaraan berarti suatu pertalian antar individu yang saling menghargai, menghormati, mencintai, dan melindungi. Suatu pertalian yang mendorong orang untuk melakukan hal-hal terbaik yang dapat dia lakukan untuk sesamanya tanpa pretensi untuk mencari keuntungan pribadi.[7] Suatu pertalian yang berakar pada cinta kasih sebagai jiwanya, dan cinta itu bukan cinta karena harta, kedudukan, atau cinta karena balas jasa, tetapi cinta yang bersumber dan berasal dari Allah. [8]
Perasaan kasih sayang atau cinta di dalam diri manusia melandasi persaudaraan. Allah mengajarkan setiap orang untuk saling mengasihi satu sama lain, bahkan apa saja yang dikasihi oleh Allah. Sehingga kasih kepada sesama adalah perwujudan dari kasih kepada Allah, sebab bukti nyata seseorang mengasihi Allah adalah mengasihi sesamanya.[9] Bukankah hidup dalam kasih persaudaraan antar sesama merupakan bagian dari kesempurnaan iman? Setiap orang dipanggil untuk menemukan wajah Allah dan mencintai Allah dalam relasinya dengan sesama. Inilah arti terdalam dari persaudaraan, bahwa setiap orang mesti mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, yang merupakan perwujudan iman dan mengantar pada kehidupan kasih yang sempurnah manusia dengan Allah. Itulah sebabnya, setiap orang dipanggil untuk mendorong terciptanya suatu masyarakat atau lingkungan sosial yang saling mencintai karena Allah. Dalam konteks ekumene, setiap Gereja dipanggil untuk membangun persaudaaraan Kristen yang dilandasi pada cinta kasih dan iman yang satu, yakni iman akan Kristus.[10]

3.1.2. Persaudaraan Kristen Berarti Bersaudara Dalam Kristus
Hidup dalam relasi cinta kasih antar sesama manusia, bahkan dengan seluruh ciptaan, merupakan inti orisinil dari gagasan tentang persaudaraan. Bahkan jika gagasan itu mengandung makna bersedia berkorban, bahkan rela mati bagi saudara yang lain, maka itulah yang disebut persaudaraan sejati. Bukankah Yesus Kristus telah menunjukan hal itu saat memberikan diri-Nya sebagai saudara semua orang di kayu salib? Itulah hakikat sejati dari persaudaraan dalam segala dimensinya. Sehingga persaudaraan Kristen adalah hubungan timbal balik antar Gereja dalam cinta kasih Kristus itu sendiri.[11] Pertama-tama kasih itu adalah Allah sendiri yang hidup dan bertumbuh dalam pribadi Yesus Kristus. Allah menghendaki agara setiap orang bersatu dengan-Nya dalam ikatan kasih yang berbuah dalam kesatuan dan persaudaraan dengan sesama. Itulah sebabnya, Allah sendiri rela menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus agar memungkinkan keselamatan terjadi bagi manusia.[12] Dengan menjadi manusia dalam diri Yesus, Allah rela masuk dalam realitas dunia dan sepenuhnya bersatu dengan manusia. Sepenuh-penuhnya Yesus solider dengan Allah dan melaksanakan kehendak Bapa-nya, sepenuh-penuhnya juga Yesus bersatu dengan dunia dan menjadi sesama manusia dalam kasih dan pelayanan. Yesus menjadi saudara dan solider dengan segala pengalaman batin manusia, hingga pada puncak kasih-Nya yaitu ketika rela menjadi kurban penebusan dosa demi keselamatan saudara-saudaranya.[13]
Dengan memberikan hidup-Nya untuk berkurban bagi kepentingan orang banyak, Yesus menunjukan suatu mutu cinta kasih yang baru dan radikal dalam relasi antar manusia. Dengan cara itu, Yesus mengajak seluruh umat-Nya untuk hidup dalam keteladanan menyerahkan hidup bagi sesama dengan motivasi cinta kasih.[14] Menurut Schumann, “keagungan dan ke-Allahan Yesus bukan terletak pada kenyataan kebangkitan-Nya, bukan juga pada kehebatan-Nya membuat mujizat, melainkan pada keberadaan-Nya sebagai hamba dan pelayan bagi dunia. Sehingga, persaudaraan Kristen pada dasarnya harus lahir dari pilihan mengikuti kehidupan Yesus sebagai manusia, bukan dalam perilaku keilahian Yesus”.[15] Schumann menambahkan, identitas Kristen ialah kasih, karena itu orang-orang Kristen adalah mereka yang merawat dan mengabarkan kasih itu. Dengan kata lain, seseorang menjadi sungguh-sungguh Kristen bila dia semakin menjadi manusia kasih, dan perbuatan mengasihi itu baru menjadi Kristiani jika dilakukan dengan motivasi bahwa Yesus pun telah mengasihinya.[16] Singkatnya, persaudaraan Kristen berarti hubungan saling mengasihi dan bersyukur bersama dalam Kristus, dan hanya di dalam Kristus segala pertikaian, perpecahan dan pelanggaran diperdamaikan.

3.1.2.1. Kehidupan Gereja Perdana Sebagai Model
Keselamatan atau kehidupan sejati hanya dapat terjadi dalam kesatuan dan persaudaraan dengan Kristus. Itulah sebabnya, konsili mengajak seluruh umat Kristen untuk belajar dari kehidupan Gereja Perdana sebagai model kesatuan dan persaudaraan Kristen yang sejati. Kesatuan dan persaudaraan Kristen dengan sangat bagus dilukiskan oleh Paulus menunjuk pada kehidupan Gereja perdana. Kehidupan para murid Yesus pada masa Gereja perdana dipenuhi dengan kasih persaudaraan. Mereka saling memperhatikan satu sama lain, bukan hanya dalam pergaulan, tetapi juga dalam hal kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka rela menjual miliknya untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Pola hidup yang penuh kasih persaudaraan itu ditandai pula dengan hidup doa untuk memuliakan Allah. Iman mereka sungguh diwujudkan dalam hidup penuh kasih kepada orang-orang di sekitarnya. Mereka disukai semua orang dan jumlah mereka dari hari ke hari makin bertambah banyak. Para murid Yesus sebagai kawanan kecil yang hidup di tengah masyarakat yang tidak seiman mencoba hidup dengan cara mempererat persaudaraan di antara mereka. Mereka tidak leluasa untuk bisa menyampaikan kabar baik kepada orang lain atau bahkan untuk mengakui diri sebagai pengikut Yesus. Masyarakat sekitarnya pada waktu itu masih mencurigai kegiatan mereka.[17]
Setiap hari mereka berkumpul untuk berdoa. Mereka melakukan apa yang diperintahkan Yesus ketika masih bersama mereka. Selain doa untuk memuliakan Allah, mereka juga merayakan ekaristi dengan memecah-mecahkan roti untuk mengenangkan Yesus. Hidup doa ternyata menguatkan mereka dalam persatuan dan kasih persaudaraan karena roh Tuhan berkarya di antara mereka. Kawanan kecil itu saling memperhatikan kehidupan dan kebutuhan sesama. Mereka tidak membiarkan apabila salah satu saudara mereka menderita. Kehidupan mereka diwarnai dengan saling menolong sebagai saudara. Hal itu terwujud dengan kerelaan mereka untuk menjual milik mereka dan dibagikan kepada orang lain yang membutuhkan.[18] Kumpulan orang yang percaya pada Kristus itu merasa sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama (Kis 4:32). Pola hidup mereka menarik perhatian banyak orang yang belum mengenal Yesus. Banyak orang tertarik kepada hidup persaudaraan mereka dan disukai semua orang. Buah yang nampak dari persaudaraan tersebut ialah bahwa jumlah mereka dari hari ke hari bertambah banyak. Kehidupan dan persaudaraan seperti yang dialami para murid Yesus pada masa Gereja Perdana itulah yang harus diupayakan oleh Gereja-gereja. Setiap Gereja dipanggil untuk hidup dalam kasih persaudaraan, baik di internal Gereja itu sendiri, maupun dalam hubungan dengan Gereja lain, tentu dengan semangat ekumene.[19]

3.1.2.2. Bertumbuh Dalam Roh Yang Menghidupkan
            Kesatuan Kristen pertama-tama bukanlah persatuan karena keseragaman tetapi persatuan dalam roh. Melalui Roh Kudus Yesus memanggil dan menghimpun umat beriman untuk mengambil bagian dalam misteri kasih-Nya dan menikmati kehidupan sejati yang desediakan Allah. Roh itu tinggal di hati umat beriman, memenuhi dan membimbing Gereja menuju persekutuan sempurnah dalam Kristus (UR 2). Roh itu merupakan Roh Allah sendiri, sehingga dengan tinggal di hati umat beriman maka Allah tidaklah berada jauh. Melalui Sakramen Permandian Roh Kudus dicurahkan dalam hati setiap orang Kristen, yang mengubah hakikat rohani dalam dirinya dari manusia lama menjadi manusia baru dalam Kristus. Hidup dan bertumbuh dalam Roh berarti memiliki hati yang terbuka untuk hidup dalam kasih persaudaraan yang ekumenis. Roh itu juga yang membakar hati setiap orang beriman untuk tetap hidup dan bersemangat dalam karya pewartakan kehidupan Kristus di tengah-tengah dunia.[20]
            Hidup dalam persaudaraan Kristen berarti hidup dalam Roh yang menghidupkan. Sehingga setiap Gereja mesti mengajak umatnya untuk berserah hati kepada kehadiran Roh Kudus yang membaharui dan mempersatukan Gereja, serta membimbing kepada kehidupan sejati yang dijanjikan. Hanya dalam keterarahan kepada karya ilahi itu kehidupan Kristen menjadi berbuah. Sehingga persaudaraan Kristen bukan hanya karena alasan iman yang satu, yakni iman akan Kristus, namun lebih kongkrtit dari itu Gereja hidup dalam kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan dan kesetiaan, kelemah-lembutan dan penguasaan diri satu sama lain.[21] Dengan dorongan dan karya Roh Kudus, setiap orang beriman diajak untuk hidup lebih berdasarkan persekutuan dan persaudaraan yang mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada dalam kenyataan hidup; seperti perbedaan sosial-ekonomi, perbedaan posisi dalam hidup, perbedaan budaya serta perbedaan kepribadian yang cenderung memecah belah. Sehingga menjadi orang Kristen berarti memiliki tujuan yang sama, yaitu membangun persaudaraan anak-anak Allah dimana setiap karunia Roh dan kekayaan hidup dipakai untuk pelayanan satu sama lain.[22]

3.2. Ekumene; Bertumbuh Bersama Dalam Kasih Persaudaraan
Persaudaraan adalah ungkapan dasar dari kasih sebagai perintah tertinggi dan terutama dalam segala relasi manusia. Dalam konteks ekumene, persaudaraan mesti mengikat relasi antar seluruh umat Kristen dalam kasih, keadilan dan kedamaian. Namun relasi di antara seluruh umat Kristen tidak selayaknya dikaitkan dengan hidup rukun yang manis. Gereja selalu hidup dalam tantangan dan hambatan, juga ketegangan untuk merajut persaudaraan anak-anak Allah. Orang-orang Kristen seringkali hidup dalam rasa curiga, dendam dan sikap tidak menghormati satu sama lain yang seringkali menghambat terbentuknya kesatuan dan persaudaraan. Tidak cukup memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang Gereja dan persekutuan lain secara benar dan seimbang seringkali juga menyebabkan kurangnya penghargaan dan sekaligus memunculkan sikap-sikap curiga yang berlebihan. Sikap merasa diri cukup atau merasa Gerejanya paling sempurnah dapat juga memunculkan sikap-sikap defensif dan agresif. Adanya kecenderungan untuk berpolemik bila mengungkapkan keyakinan teologis Gerejanya. Tantangan persaudaraan juga bisa muncul dalam berbagai praktek penyebaran iman yang menyinggung Gereja dan persekutuan Kristen lain. Namun, dibalik tantangan-tantangan ini Roh Kudus tetap berkarya mendorong Gereja-gereja untuk keluar dari kegelapan menuju kehidupan baru, yakni kehidupan kasih persaudaraan di dalam Kristus.

3.2.1. Dengan Persaudaraan Mengolah Konflik Masa Lalu Untuk Keselamatan Bersama
            Usaha untuk membangun persaudaraan Kristen merupakan panggilan seluruh Gereja. Setiap orang tersangkut di dalam usaha ini menurut kemampuan masing-masing, baik di bidang Teologi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Setiap Gereja [Katolik dan Gereja-gereja Protestan] sama-sama dipanggil untuk memberi petunjuk bagaimana orang bersikap, dan memberi peringatan tentang apa yang sebaikanya tidak dilakukan orang. Masing-masing Gereja menawarkan ajaran, aturan, larangan, petunjuk dan pedoman hidup yang berbeda-beda, namun semua yang diajarkan itu mengarah pada kebaikan, kebenaran dan keselamatan bersama.[23] Zaman perpecahan dan konflik antar Gereja telah berlalu, suatu kondisi yang disebabkan oleh ulah dan dosa manusia. Sejak Vatikan II, Gereja Katolik hadir sebagai saudara bagi semua orang, dan membuat pemulihan atas segala akibat yang disebabkan oleh perselisihan yang telah menghancurkan persaudaraan, kerukunan dan kedamaian hidup bersama. Hubungan timbal balik antar Gereja seharusnya tidak tertutup, tetapi diperlukan adanya keterbukaan, terutama kesediaan untuk berkomunikasi satu sama lain. Situasi ketegangan bahkan juga konflik-konflik teologis antar Gereja merupakan indikasi dari belum adanya keterbukaan untuk meleburkan segala perbedaan yang ada. Dengan keterbukaan satu sama lain, orang-orang Kristen dapat memenuhi kerinduannya untuk menemukan kebahagiaan dan keselamatan bersama. Mgr. P.C. Mandagi dalam bukunya “Umat Yang Terkasih” berulangkali menekankan pertobatan, rekonsiliasi, dan pemulihan sebagai jalan membangun persaudaraan antar sesama manusai. Bertumbuh dalam kasih persaudaraan Kristiani berarti menyadari keterbatasan, kelemahan dan dosa yang menyebabkan perpecahan, serta menemukan akar penyebab perpecahan untuk dipulihkan bersama.[24]

3.2.1.1. Pertobatan Batin
            Panggilan ekumenis Gereja adalah untuk bertobat atas dosa perpecahan yang telah terjadi di dalam tubuh Gereja Kristus. Karena itu, Gereja yang menolak memulihkan “ketidak-beresan” seperti konflik dan permusuhan antar Gereja, sama dengan menolak untuk hidup dalam keselamatan bersama yang disediakan Allah.[25] Pertobatan batin [= conversio interna] atau seringkali disebut juga sebagai ekumene spiritual”, pada hakikatnya merupakan kembalinya hati manusia untuk berpaling dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Pertobatan batin adalah perubahan mental yang begitu mendalam dan batiniah, yang membawa pada perubahan kehidupan lahiriah.[26] Sehingga pertobatan batin yang tulus dan murni membawa Gereja-gereja kepada kekudusan hidup, dan menjadi alasan bagi terciptanya persaudaraan sejati umat Kristen. Konsili menegaskan, “tidak ada ekumene yang murni tanpa ada suatu tobat batin yang mendalam [UR 7]”, maka Kesatuan Kristen yang sempurnah hanya mungkin dalam pertobatan batin.[27]
Ajakan bangkit dari kejatuhan dan perpecahan Gereja melalui pertobatan batin yang mendalam merupakan ajakan Allah sendiri untuk umatnya masuk dalam “hidup baru”, yakni hidup dalam communio atau persekutuan dalam Kristus. Pertobatan menuju “hidup baru” adalah hidup dalam jiwa yang baru, penyangkalan diri serta kemurahan hati, dan sikap penuh persaudaraan terhadap sesama manusia [UR 7].[28] Pertobatan menuju “hidup baru”, yakni hidup secara pantas dengan selalu bersikap rendah hati dan lemah lembut, serta saling membantu dalam cinta kasih dengan saudara-saudari seiman dalam Kristus.[29] Konsili mengatakan, “pertobatan batin itu merupakan permohonan ampun, baik kepada Alla maupun kepada sesama. Maka konsili mengajak seluruh umatnya untuk dengan rendah hati mohon pengampunan dari Allah dan dari saudara-saudari seiman dalam Kristus. Hanya dalam sikap demikian Gereja mampu menjawab kebutuhan injil, yaitu bersatu di dalam Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dan semakin mampu juga Gereja meningkatkan persaudaraan timbal balik dalam cinta kasih. Bukankah persaudaraan merupakan inti panggilan Gereja membangun Kesatuan Kristen sebab merupakan tanda yang merujuk pada asal usul ilahi pewartaan Kristiani dan membuka hati kepada iman? Oleh karena itu, efektifitas hidup rohani tergantung dari mutu pertobatan batin. Semakin setiap anggota Gereja masuk dalam pertobatan batin yang tulus, semakin besarlah karunia rahmat yang mendorong dia untuk membangun persaudaraan Kristiani yang sejati.[30]

3.2.1.2. Doa Bersama, Jalan Menuju Persaudaraan Kristen
            Konsili Vatikan II menegaskan arti penting dari doa sebagai hubungan atau komunikasi antara manusia dengan Kristus. Hubungan itu berupa kumunikasi iman, sebab di dalam doa, tidak masalah satu atau dua orang yang berkumpul, jika dilakukan dalam nama Kristus serta dengan iman yang sungguh, maka di situ Allah hadir [UR 8].[31] Komunikasi iman itu bisa dilakukan secara pribadi, tetapi juga bisa dalam kebersamaan umat beriman. Gereja Katolik sendiri sering melakukan doa-doa bersama demi memupuk kebersamaan di dalam kasih Yesus Kristus. Sehingga tobat batin, kesucian hidup dan kehidupan doa mesti dipandang sebagai semangat gerakan ekumene batin [UR 8].[32]
            Umat Katolik telah terbisa untuk berkumpul dalam doa bagi kesatuan Gereja, kesatuan yang dengan mendesak dimintakan Kristus sendiri dari Bapa-Nya, malam menjelang wafat-Nya agar semua menjadi satu (Yoh 17:21).[33] Demikian pula kesempatan-kesempatan tertentu dan istimewa ketika menjalankan pertemuan-pertemuan ekumenis sangat dianjurkan agar umat Katolik bersatu padu dengan saudara-saudari dari Gereja-gereja lain dalam doa bersama, yang merupakan alat yang sangat berdaya guna memperoleh rahmat persatuan.[34] Gereja Katolik melihat dirinya sebagai persekutuan iman, yang bersama dengan Gereja-gereja lain disebut persekutuan persaudaraan orang-orang yang menerima Yesus dengan iman dan cinta kasih.[35] Hal itu berarti seluruh Gereja mesti menghidupi komunikasi antar sesama bersaudara dan antar seluruh Gereja dengan Kristus, dan komunikasi itu hanya mungkin karena Roh Kudus. Dikatakan bahwa doa bagi kesatuan Gereja merupakan kumunikasi iman yang berlangsung di dalam Roh Kudus. Sebab yang berdoa sebetulnya bukan manusia melainkan Roh Allah sendiri.

3.2.1.3. Kesaksian Hidup
            Gagasan tentang kesaksian hidup atau keteladanan hidup dengan sangat bagus dijelaskan oleh Romo Albertus Sujoko MSC, dalam bukunya “Identitas Yesus & Misteri Manusia”. Menurutnya, keteladanan merupakan pokok penting dalam Moralitas Kristiani, sebab doa dan korban secara langsung terarah kepada Allah, keteladanan hidup justru langsung terarah kepada sesama. Keteladanan secara psikologis dapat memberi pengaruh yang paling efektif bagi kehidupan moral melebihi segala kata-kata atau pengajaran teologis yang manis dan menarik,[36] karena itu dapat sangat membantu bagi usaha pembangunan kesatuan dan persaudaraan Kristen. Pentingnya keteladanan dalam kesatuan dan persaudaraan Kristen bersumber pada Yesus Kristus sebagai pusat dan model hidup Kristiani.[37] Selain Gereja Perdana dapat menjadi model hidup Yesus, orang-orang kudus menyatakan keserupaan mereka dengan Yesus secara lebih menonjol. Sehingga penghormatan Gereja Katolik kepada orang-orang kudus pertama-tama berkaitan dengan keteladanan hidup mereka menunjukan kasih Allah di tengah-tengah dunia. Para kudus yang sederhana dan rendah hati menjadi terang yang menyinari saudara-saudarinya untuk berusahan menjadi gambaran Yesus. Kesaksian hidup melalui keteladanan adalah wujud cinta kasih persaudaraan. Orang yang secara personal berusaha hidup baik, secara sosial bisa menjadi contoh bagi sesama. Dalam konteks ekumene, keteladanan hidup seperti itu wajar diharapkan kepada mereka yang menjadi panutan orang banyak karena jabatan pelayanan yang diemban.[38] Meskipun itu, bahwa setiap orang Kristen tersangkut dalam panggilan menghidupi keteladanan Yesus, dan dengan motivasi itu membangun kesatuan dan persaudaraan Kristen.
           
3.2.2. Bertumbuh Bersama Dalam Persaudaraan Kristen Melalui Dialog
            Dialog adalah norma dan cita-cita yang diperkenalkan kepada Gereja oleh paus Paulus VI dalam ensiklik Ecclesiam Suam (1964). Pengertiannya dirumuskan secara matang dalam dokumen Dialogue and Mission (1984) dan dukumen Dialogue and proclamation (1991). Dengan tegas dikatakan bahwa dialog menunjuk pada berbagai hubungan yang bersifat positif dan konstruktif dengan pribadi-pribadi dan jemaat dari agama lain [DP 9], dalam semangat mau saling memahami dan memperkaya satu sama lain [DM 3]. Mereka yang menjalin hubungan bukanlah sistem religius melainkan umat beriman yang berakar secara mendalam pada kekayaan rohaninya sendiri. Dialog menunjuk pada kesaksian yang diberikan dan diterima demi perkembangan rohani dan pengalaman iman, sekaligus juga upaya untuk menghilangkan prasangka dan salah paham.[39]
Dialog yang sejati dijalankan dalam lingkup kebenaran dan dan kebebasan, sehingga dialog tidak hanya demi memajukan kerja sama dan sikap terbuka namun lebih dalam dari itu mendorong demi untuk menggapai kebenaran dan kehidupan, kesucian, keadilan, kasih dan perdamaian, serta aneka dimensi dari Kerajaan Allah [DP 80]. Atau seperti dikatakan paus Yohanes Paulus II, dialog dalam level paling mendalam pada prinsipnya ialah dialog keselamatan. Yang dimaksudkan adalah dialog yang terus menerus berusaha menemukan, memperjelas, dan memahami tanda-tanda Allah dalam persatuan manusia sepanjang masa. Dialog keselamatan merupakan sharing keselamatan sehingga setiap orang yang terlibat dipanggil untuk saling membagi pengalaman keselamatannya.[40]
            Gereja Katolik berangkat dari semangat ini untuk bersahabat dengan semua Agama. Dalam konteks ekumene, Gereja membuka diri mendorong terciptanya persaudaraan Kristiani melalui dialog yang membawa pada keselematan putra-putri Allah. Ekumene harus membentuk setiap orang Kristen untuk memiliki kecakapan berdialog. Setiap orang Kristen dipanggil dalam misi mewartakan hidup Kristus secara benar di tengah-tengah dunia, sehingga Gereja-gereja yang meletakan dasarnya pada iman akan Kristus mesti hidup bersama dalam kerja sama memupuk “kecakapan berdialog”. Kecakapan dialog meliputi kesaksian hidup orang Kristen yang dari padanya kehidupan Yesus terpancar. Bila kesaksian hidup menjadi prasyarat seorang Kristen memiliki kecakapan berdialog maka hidup kasih persaudaraan Kristiani menjadi langkah pertama yang mesti segera diambil oleh seluruh Gereja. Misi pewartaan hidup Kristus tidak akan berhasil jika Gereja-gereja masih tetap hidup dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Setiap orang Kristen harus membuka diri, keluar dari keterpecahan, keterisolasian untuk menemukan saudaranya. Dalam persaudaraan Kristen sama-sama mengusahakan kecakapan dialog yang efektif bagi karya pewartaan keselamatan Allah.
            Untuk menekankan pokok dialog sebagai sarana membangun persaudaraan Kristen, Konsili Vatikan II meminta agar Gereja Katolik dan Gereja-gereja Protestan mesti bekerja sama meningkatkan pengertian dan pemahaman satu sama lain. Konsili Vatikan II mendorong Gereja Katolik kepada keterbukaan diri bagi Gereja-gereja lain, untuk mencari dan mengenal, mempelajari ajaran, hidup rohani, dan unsur-unsur positif pada saudara-saudari yang terpisah melalui dialog. Dialog itu desebut dialog ekumenis menunjuk pada komunikasi iman kedua belah pihak. Dialog ekumenis bersifat mendengar dan menjawab, mencoba mengerti dan dimengerti, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan terbuka terhadap pertanyaan. Dilog ekumenis merupakan proses belajar untuk memberi kesaksian bersama tentang tugas yang telah dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya.[41]
            Mengenai dialog ekumene itu sendiri, Konsili Vatikan II mengajarkan “melalui cara-cara itu Gereja Katolik menjelaskan kepada saudara-saudarinya tentang kebenaran yang telah ditemukannya sehingga saling membantu dalam mencari kebenaran [DH 3]. Dasar dialog itu adalah kesadaran bahwa rahmat Allah berkarya dalam diri setiap manusia, sehingga dialog penting dilaksanakan agar seluruh Gereja Kristus dengan sepenuhnya dapat menanggapi tawaran rahmat Allah itu [GS 62]. Maka dialog ekumene bukanlah konfrontasi untuk ajaran-ajaran Gereja yang berbeda-beda, melainkan dialog hidup atau “temu hati”, yang semakin terbuka untuk sapaan Allah. Di situ orang tidak mengaburkan atau menyembunyikan pendapat dan keyakinan Gerejanya, namun dapat mengemukakannya, tanpa memaksakan pendapatnya sendiri kepada orang lain. [42]

3.2.3. Bertumbuh Bersama Dalam Persaudaraan Melalui Pendidikan Ekumene
            Dewasa ini telah ada perluasan pemahaman mengenai cakupan, arti dan praktek ekumene, hubungan ekumene dan kerja sama ekumene. Ketika dimulia, gerakan ini lebih bertujuan untuk membangun kerja sama dan rasa persaudaraan antara orang-orang Kristen Protestan, sehingga dengan demikian bersifat intra-konfensional. Segera ada kepedulian untuk memperluas kerja sama dengan Gereja Katolik, sehingga berubah menjadi inter-konfensional. Dengan lebih banyak tantangan yang disebabkan oleh kemajuan sains dan teknologi, konflik ideologi, dan kesadaran akan agama-agama lain, perhatian gerakan ekumene kemudian harus mencakup area-area seperti itu. Di satu pihak Gereja dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia, tetapi di pihak Gereja berhadapan dengan situasi zaman yang bisa saja dapat mengaburkan panggilannya.[43] Itulah sebabnya perlu pembinaan dan pendidikan ekumenis yang bertujuan memberi wawasan tentang wajah zaman yang sedang berkembang. Di samping itu, pembinaan dan pendidikan ekumene juga penting bagu pembangunan kesatuan dan persaudaraan Kristen.
Pendidikan ekumenis tidak sama dengan Pendidikan Agama [pada umumnya], Pendidikan Kristen ataupun Pendidikan Agama Katolik. Yang dimaksud dengan pendidikan ekumenis dalam tulisan ini adalah pendidikan yang berkaitan dengan gerakan ekumene, karena itu merupakan proses penyadaran akan dimensi-dimensi ekumene. Untuk itu, setiap Gereja harus membuka diri dalam semangat ekumene demi mengusahakan pembaharuan yang menjawab situasi zaman.[44] Bahkan konsili mengajak seluruh umat Katolik untuk memperbaharui dirinya terus menerus dan membentuk wajah Gereja yang lebih manusiawi dan mampu bergaul dengan dunia yang sedang berkembang. Pendidikan ekumene merupakan tugas seluruh Gereja, sehingga konsili mendorong dibukanya kuliah-kuliah untuk pendidikan ekumene. Terutama kepada calo-calon pemimpin umat harus diberi kuliah dan pandangan ekumene yang memadai, sehingga mereka dapat memperoleh pandangan objektif tanpa polemik dan prasangka [UR 10]. Tetapi lebih dari semua-usaha-usah yang bersifat teoretis itu, pendidikan ekumenis perlu lebih banyak praksis dialog dengan saudara-saudari kaum beriman, menjalin persahabatan, memupuk keakraban, dan membangun kerja sama di segala bidang yang bisa dilakukan bersama.[45]

Kesimpulan
            Gerakan ekumene diadakan untuk memupuk usaha-usaha menghindari kata-kata, penilaian-penilaian, serta tindakan-tindakan yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah [UR 4]. Tujuannya adalah membangun kesatuan dan persaudaraan yang dilandasi cinta kasih Kristus, yang bercermin pada kehidupan Gereja Perdana, dan yang hidup menurut keutamaan-keutamaan Roh Kudus. Oleh karena itu, kegiatan ini tak pernah dapat meninggalkan doa bersama untuk persatuan umat Kristen, bahkan pertobatan batin serta keteladanan hidup merupakan sikap-sikap dasar yang tak bisa diabaikan. Bertumbuh bersama dalam kasih persaudaraan merupakan panggilan setiap orang beriman, sehingga demi mencapai itu penting diadakan dialog dan pedidikan ekumenis tentang segala dimensi kehidupan Kristus demi terciptanya kesatuan otentik umat beriman dalam Kristus.




[1] Bdk. Memperjuangkan Mimpi Persaudaraan Sejati dalam http://filsafat.kompasiana.com (diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Pkl. 14.20)
[2]Bdk. Ibid

[3] Bdk. Ibid

[4]Bdk. “Saudara” (Gali Kata Alkitab dalam Tinjauan Tulisan Ibrani Kuno) dalam http://sabdaspace.org (diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Pkl. 15.20 WITA)

[5] Bdk. Ibid

[6] Bdk. Memperjuangkan Mimpi Persaudaraan Sejati dalam http://filsafat.kompasiana.com (diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Pkl. 14.20)

[7] Bdk. Ibid

[8] Bdk. J. Darminta, SJ, Dewasa Dan Sempurnah Dalam Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 23

[9]Bdk. Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 414.

[10] Bdk. Ibid
[11] Bdk. J. Darminta, SJ, Dewasa Dan Sempurnah Dalam Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 23.

[12] Bdk. Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 39.

[13] Bdk. Ibid
[14] Bdk. Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 442.

[15] Bdk. Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Agama Dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hlm. 377.

[16] Bdk. Ibid

[17] Bdk. I. Marsana Windhu, Awal Persahabatan Dengan Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm. 61.

[18] Bdk. Ibid

[19] Bdk. Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 37.

[20] Bdk. Ibid, hlm. 52.

[21] Bdk. Ibid, hlm. 54

[22] J. Darminta, SJ, Dewasa Dan Sempurnah Dalam Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 20

[23] Bdk. Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Agama Dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hlm. 360.

[24] Bdk. Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 37.
[25] Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Interreligius (Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 189.

[26] Bdk. Yosef Lalu, Pr, Makna Hidup Dalam Terang Iman Katolik: Seri 3 (Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 55.

[27]Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek Ekumene, ( Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 32

[28] Bdk. Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 119.

[29] Bdk. Ibid, hlm. 120.

[30] Bdk. F. Hartono, SJ, Bentuk-Bentuk Komunitas (Yogyakarta: Kanisius, 2008) hlm. 48.

[31]Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab Dalam Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003) hlm. 171.

[32] Bdk. Ibid

[33]Bdk. Walter M. Abbott, SJ, Ekumenism , dalam The Document of Vatican II – All Sixteen Official Texts Promulgated Council 1963-1965, Amerika: Assoication Press, 1966), hal. 337

[34]Bdk. Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek Ekumene, ( Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 32

[35] Bdk. Ibid

[36] Bdk. Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 432.

[37] Bdk. Ibid
[38] Bdk. Ibid

[39] Bdk. B. Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ, Menerobos Pintu Sempit Nafas Ilahi Dalam KAJ (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 80

[40] Bdk. F.X.E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm. 103.

[41]Bdk. Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hlm. 41.

[42] Bdk. B. Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ, Menerobos Pintu Sempit Nafas Ilahi Dalam KAJ (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 80.

[43] Bdk. Hope S. Antone, Pendidikan Kristen Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) hlm. 62.

[44] Bdk. Ibid

[45] Bdk. F.X.E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm. 103.

1 komentar:

  1. While the Indian Premier League’s major appeal is still its high-quality cricket, the event has also supplied fans with various types of entertainment throughout the years. Analysis, interviews, contests, advertisements, and songs have all contributed to the brand’s allure.

    BalasHapus