PESRAUDARAAN KRISTEN
SEBAGAI TUJUAN GERAKAN EKUMENE
Oleh: Vitalis Letsoin
Gerakan ekumene Protestan semakin
mendapat bentuknya yang kongkrit dalam kerja sama dengan Gereja Katolik.
Terutama sejak Vatikan II, Gereja Katolik dengan jujur mengakui kesalahannya sebagai salah satu penyebab
perpecahan Gereja Kristus dan merumuskan sikap
tegas mendukung gerakan ekumene. Dokumen konsili tentang Pemulihan Kesatuan
[Unitatis Redintegratio] menjadi bukti sikap ekumenis Gereja Katolik. Gerakan
ekumene itu sendiri merupakan karya Allah memperbaiki jubah Yesus yang tersobek-sobek akibat perpecahan Gereja, dan itu
Allah lakukan melalui Roh Kudus. Atas dorongan dan karya Roh Kudus, Allah
membangun communio atau persekutuan
umat beriman dalam kasih persaudaraan. Itulah sebabnya tujuan gerakan ekumene
adalah membangun communio yang di
dalamnya hidup dan berkembang kasih persaudaraan Kristen. Meskipun usaha
membangun persaudaraan Kristen merupakan usaha Trinitaris [Allah-Putera-Roh
Kudus], namun perwujudan kongrit harus berkembang dan disempurnahkan
terus-menerus. Oleh karena itu, tindakan-tindakan kongkrit serta sikap praktis harus segera ditunjukan, terutama kemauan untuk berkumunikasi satu-sama lain, melakukan tindakan-tindakan kasih, serta keinginan untuk menghindari segala prasangka negatif.
Gereja Katolik sendiri, dalam dekrit Unitatis Redintegratio, merumuskan
beberapa prinsip bagi pelaksanaan gerakan ekumene, yang merupakan sikap dan
tindakan kongkrit Gereja membangun persaudaraan Kristen yang sejati.
3.1.
Persaudaraan Kristen; Sebuah Visi Ekumenis
Persaudaraan di antara umat manusia tidak selayaknya
dikaitkan dengan agama masing-masing. Setiap manusia memiliki kodrat transenden
yang sama, berawal dan berakhir pada titik yang satu dan sama. Sehingga semua
perbedaan yang kasat mata sepertinya tidaklah tampak demikian di hadapan Allah.
Oleh karena itu, segala bentuk perbuatan diskriminatif yang disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan yang kasat mata, sama sekali tidak sesuai dengan kehendak
Allah.[1] Tantangan
untuk hidup dalam persaudaraan dengan semua orang memang bukan hal mudah, jangankan
dengan orang-orang yang beragama lain, hidup dalam persaudaraan dengan sesama umat
Kristen yang berbeda Gereja saja sulit untuk dijalani dengan tulus
hati. Berbicara tentang persaudaraan Kristen tidak bisa dilepaskan dari
konteks ekumene, sebab tujuan gerakan ekumene adalah membangun persekutuan
[communio] umat Kristen dalam kasih persaudaraan. Di sini umat Kristen sebaiknya
lebih berhati-hati dalam merenungkan apa yang tersirat dari ekumene itu, dalam
arti ajaran dan juga ekumene spiritual [dalam satu Roh], serta kompetensi dari
para pesertanya. Namun, apapun juga bentuk dan arah ekumene, ada hal-hal
yang tidak boleh diabaikan, terutama unsur “hati nurani” tetap merupakan
prinsip utama yang memungkinkan relasi persaudaraan Kristen yang sehat dan
harmonis terbangun.
3.1.1. Gagasan
Persaudaraan
Persaudaraan
adalah kebutuhan utama umat manusia dalam relasinya satu sama lain, sebab manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa keberadaan
makhluk lain. Akar dari konsep persaudaraan adalah konsep saudara
yang berarti hubungan atau pertalian darah antar individu dalam suatu masyarakat.
Namun itu hanya satu aspeknya atau arti sempit dari kata itu. Saudara juga bisa
dipahami secara lebih luas, sebagai sesama manusia, siapa saja yang ada di sekitar, yang karena satu dan lain hal terjalin
erat satu
sama lain.[2] Santo
Fransiskus Assisi memahami kata saudara secara jauh lebih luas dari pada siapa pun. Ia melihat seluruh
ciptaan sebagai saudara dan saudarinya. Dalam pandangan Fransiskus, segala sesuatu yang ada di dalam alam
raya yang maha besar ini, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, saling berhubungan [interrelated] karena
semuanya mempunyai akar dan sumber yang satu dan sama, yakni yang ilahi sang pencipta
sendiri. Karena itu sepatutnya semua unsur ciptaan hidup dalam keharmonisan dan
keseimbangan, keharmonisan dalam hubungan antar manusia dan antar manusia
dengan alam dan seluruh isinya.[3]
Dari sudut biblis kata saudara ini mempunyai
makna yang sangat dalam, terutama ketika dihubungkan dengan kata akh [alef-qames-khet] dalam bahasa Ibrani. Dalam tulisan
Ibrani kuno setiap huruf melambangkan suatu ide. Orang Ibrani biasa berpikir
konkret, sehingga ide abstrak pun digambarkan dengan sesuatu yang konkret.
Huruf alef adalah sebuah gambar
kepala sapi jantan yang bertanduk [konkret]. Orang Ibrani menggunakannya sebagai simbol “kekuatan” [abstrak]. Sedangkan huruf khet adalah sebuah gambar dinding tenda [konkret] yang melambangkan “pemisah” dan
“pelindung” [abstrak].[4]
Orang Ibrani di masa lalu hidup sebagai suku bangsa nomaden, sehingga kondisi ini
tidak memungkinkan mereka untuk membangun rumah permanen. Tenda adalah
rumahnya. Bagian-bagian tenda meliputi atap, dinding, dan pintu. Dinding adalah
bagian samping tenda,
terbuat dari
tenunan bulu domba yang dirajut dengan kuat, yang berfungsi untuk memisahkan
antara bagian dalam dan bagian luar tenda, di samping fungsinya sebagai
pelindung bagi orang yang tinggal di dalamnya dari serangan binatang buas.
“Saudara” yang dianalogikan dengan dinding tenda, memiliki peran dan fungsi
“melindungi”. Ia harus melindungi segenap anggota keluarga dari pihak lain yang
mengancam jiwa mereka. Jika ada musuh yang menyerang, maka ia akan berdiri di
posisi antara musuh dan keluarganya. Ia tidak akan membiarkan musuh berhadapan
langsung dengan keluarganya, bahkan ia rela menjadi “tameng” bagi keluarganya, asal nyawa
keluarganya selamat. Dengan demikian kata “saudara” mengandung makna bersedia
berkorban, bahkan rela mati bagi saudara yang lain.[5]
Sementara bila ditinjau dari sudut etimologi, kata
saudara dalam bahwa Indonesia berasal dari bahasa Sanskrit, sa
[satu] dan udara
[rahim, perut
atau ibu]. Karena itu, saudara artinya mereka yang menyusui pada ibu
yang satu dan sama, berbagi rahim, hidup dalam satu rumah, menanggung
penderitaan dan membagi kegembiraan bersama.[6]
Kalau pandangan ini ditarik lebih jauh, dengan menempatkan ibu bumi sebagai
rahim dan penyalur kehidupan, maka semua penghuni alam semesta adalah sesama saudara.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka persaudaraan berarti suatu pertalian antar individu
yang saling menghargai, menghormati, mencintai, dan melindungi. Suatu pertalian yang
mendorong orang untuk melakukan hal-hal terbaik yang dapat dia lakukan untuk
sesamanya tanpa pretensi untuk mencari keuntungan pribadi.[7]
Suatu
pertalian yang berakar pada cinta kasih sebagai jiwanya, dan cinta itu bukan cinta karena harta, kedudukan, atau cinta karena balas jasa, tetapi cinta yang bersumber dan
berasal dari Allah. [8]
Perasaan kasih sayang atau cinta di dalam diri manusia melandasi persaudaraan. Allah mengajarkan setiap orang untuk saling mengasihi satu
sama lain, bahkan apa saja yang dikasihi oleh Allah. Sehingga kasih kepada
sesama adalah perwujudan dari kasih kepada Allah, sebab bukti nyata seseorang
mengasihi Allah adalah mengasihi sesamanya.[9]
Bukankah hidup dalam kasih persaudaraan antar sesama merupakan bagian dari kesempurnaan iman? Setiap orang dipanggil untuk menemukan wajah Allah dan
mencintai Allah dalam relasinya dengan sesama. Inilah arti terdalam dari
persaudaraan, bahwa setiap orang mesti mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri, yang merupakan perwujudan iman dan mengantar pada
kehidupan kasih yang sempurnah manusia dengan Allah. Itulah sebabnya, setiap orang dipanggil untuk mendorong
terciptanya suatu masyarakat atau lingkungan sosial yang saling mencintai
karena Allah. Dalam konteks ekumene, setiap Gereja dipanggil untuk membangun
persaudaaraan Kristen yang dilandasi pada cinta kasih dan iman yang satu, yakni
iman akan Kristus.[10]
3.1.2. Persaudaraan
Kristen Berarti Bersaudara Dalam Kristus
Hidup dalam relasi cinta kasih antar sesama manusia, bahkan
dengan seluruh ciptaan, merupakan inti orisinil dari gagasan tentang
persaudaraan. Bahkan jika gagasan itu mengandung makna bersedia berkorban,
bahkan rela mati bagi saudara yang lain, maka itulah yang disebut
persaudaraan sejati. Bukankah Yesus Kristus telah menunjukan hal itu saat memberikan
diri-Nya sebagai saudara semua orang di kayu salib? Itulah hakikat sejati dari
persaudaraan dalam segala dimensinya. Sehingga persaudaraan Kristen adalah hubungan
timbal balik antar Gereja dalam cinta kasih Kristus itu sendiri.[11]
Pertama-tama kasih itu adalah Allah sendiri yang hidup dan bertumbuh dalam
pribadi Yesus Kristus. Allah menghendaki agara setiap orang bersatu dengan-Nya dalam
ikatan kasih yang berbuah dalam kesatuan dan persaudaraan dengan sesama. Itulah
sebabnya, Allah sendiri rela menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus agar memungkinkan
keselamatan terjadi bagi manusia.[12]
Dengan menjadi manusia dalam diri Yesus, Allah rela masuk dalam realitas dunia
dan sepenuhnya bersatu dengan manusia. Sepenuh-penuhnya Yesus solider dengan
Allah dan melaksanakan kehendak Bapa-nya, sepenuh-penuhnya juga Yesus bersatu
dengan dunia dan menjadi sesama manusia dalam kasih dan pelayanan. Yesus
menjadi saudara dan solider dengan segala pengalaman batin manusia, hingga pada
puncak kasih-Nya yaitu ketika rela menjadi kurban penebusan dosa demi keselamatan
saudara-saudaranya.[13]
Dengan
memberikan hidup-Nya untuk berkurban bagi kepentingan orang banyak, Yesus
menunjukan suatu mutu cinta kasih yang baru dan radikal dalam relasi antar
manusia. Dengan cara itu, Yesus mengajak seluruh umat-Nya untuk hidup dalam keteladanan
menyerahkan hidup bagi sesama dengan motivasi cinta kasih.[14]
Menurut Schumann, “keagungan dan ke-Allahan Yesus bukan terletak pada kenyataan
kebangkitan-Nya, bukan juga pada kehebatan-Nya membuat mujizat, melainkan pada
keberadaan-Nya sebagai hamba dan pelayan bagi dunia. Sehingga, persaudaraan
Kristen pada dasarnya harus lahir dari pilihan mengikuti kehidupan Yesus
sebagai manusia, bukan dalam perilaku keilahian Yesus”.[15]
Schumann menambahkan, identitas Kristen ialah kasih, karena itu orang-orang Kristen
adalah mereka yang merawat dan mengabarkan kasih itu. Dengan kata lain,
seseorang menjadi sungguh-sungguh Kristen bila dia semakin menjadi manusia kasih, dan perbuatan mengasihi
itu baru menjadi Kristiani jika dilakukan dengan motivasi bahwa Yesus pun telah
mengasihinya.[16]
Singkatnya, persaudaraan Kristen berarti hubungan saling mengasihi dan
bersyukur bersama dalam Kristus, dan hanya di dalam Kristus segala pertikaian,
perpecahan dan pelanggaran diperdamaikan.
3.1.2.1. Kehidupan
Gereja Perdana Sebagai Model
Keselamatan atau kehidupan sejati hanya dapat
terjadi dalam kesatuan dan persaudaraan dengan Kristus. Itulah sebabnya,
konsili mengajak seluruh umat Kristen untuk belajar dari kehidupan Gereja
Perdana sebagai model kesatuan dan persaudaraan Kristen yang sejati. Kesatuan
dan persaudaraan Kristen dengan sangat bagus dilukiskan oleh Paulus menunjuk
pada kehidupan Gereja perdana. Kehidupan para
murid Yesus pada masa Gereja perdana dipenuhi dengan kasih persaudaraan. Mereka saling
memperhatikan satu sama lain, bukan hanya dalam pergaulan, tetapi juga dalam hal kebutuhan-kebutuhan hidup
sehari-hari. Mereka rela menjual miliknya untuk dibagikan kepada yang
membutuhkan. Pola hidup yang penuh kasih persaudaraan itu ditandai pula dengan
hidup doa untuk memuliakan Allah. Iman mereka sungguh diwujudkan dalam hidup
penuh kasih kepada orang-orang di sekitarnya. Mereka disukai semua orang dan
jumlah mereka dari hari ke hari makin bertambah banyak. Para murid Yesus
sebagai kawanan kecil yang hidup di tengah masyarakat yang tidak seiman mencoba
hidup dengan cara mempererat persaudaraan di antara mereka. Mereka tidak
leluasa untuk bisa menyampaikan kabar baik kepada orang lain atau bahkan untuk
mengakui diri sebagai pengikut Yesus. Masyarakat sekitarnya pada waktu itu
masih mencurigai kegiatan mereka.[17]
Setiap hari mereka berkumpul untuk berdoa. Mereka
melakukan apa yang diperintahkan Yesus ketika masih bersama mereka. Selain doa
untuk memuliakan Allah, mereka juga merayakan ekaristi dengan memecah-mecahkan roti untuk
mengenangkan Yesus. Hidup doa ternyata menguatkan mereka dalam persatuan dan
kasih persaudaraan karena roh Tuhan berkarya di antara mereka. Kawanan kecil
itu saling memperhatikan kehidupan dan kebutuhan sesama. Mereka tidak
membiarkan apabila salah satu saudara mereka menderita. Kehidupan mereka
diwarnai dengan saling menolong sebagai saudara. Hal itu terwujud dengan
kerelaan mereka untuk menjual milik mereka dan dibagikan kepada orang lain yang
membutuhkan.[18]
Kumpulan orang yang percaya pada Kristus itu merasa
sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata bahwa sesuatu dari
kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan
mereka bersama (Kis 4:32). Pola hidup
mereka menarik perhatian banyak orang yang belum mengenal Yesus. Banyak orang
tertarik kepada hidup persaudaraan mereka dan disukai semua orang. Buah yang
nampak dari persaudaraan tersebut ialah bahwa jumlah mereka dari hari ke hari
bertambah banyak. Kehidupan dan persaudaraan seperti yang dialami para murid
Yesus pada masa Gereja Perdana itulah yang harus diupayakan oleh Gereja-gereja. Setiap Gereja dipanggil untuk hidup dalam kasih
persaudaraan,
baik di internal Gereja itu sendiri, maupun dalam hubungan dengan Gereja lain, tentu dengan
semangat ekumene.[19]
3.1.2.2. Bertumbuh
Dalam Roh Yang Menghidupkan
Kesatuan
Kristen pertama-tama bukanlah persatuan karena keseragaman tetapi persatuan
dalam roh. Melalui Roh Kudus Yesus memanggil dan menghimpun umat beriman untuk
mengambil bagian dalam misteri kasih-Nya dan menikmati kehidupan sejati yang
desediakan Allah. Roh itu tinggal di hati umat beriman, memenuhi dan membimbing
Gereja menuju persekutuan sempurnah dalam Kristus (UR 2). Roh itu merupakan Roh
Allah sendiri, sehingga dengan tinggal di hati umat beriman maka Allah tidaklah
berada jauh. Melalui Sakramen Permandian Roh Kudus dicurahkan dalam hati setiap
orang Kristen, yang mengubah hakikat rohani dalam dirinya dari manusia lama
menjadi manusia baru dalam Kristus. Hidup dan bertumbuh dalam Roh berarti
memiliki hati yang terbuka untuk hidup dalam kasih persaudaraan yang ekumenis.
Roh itu juga yang membakar hati setiap orang beriman untuk tetap hidup dan
bersemangat dalam karya pewartakan kehidupan Kristus di tengah-tengah dunia.[20]
Hidup dalam persaudaraan Kristen
berarti hidup dalam Roh yang menghidupkan. Sehingga setiap Gereja mesti
mengajak umatnya untuk berserah hati kepada kehadiran Roh Kudus yang membaharui
dan mempersatukan Gereja, serta membimbing kepada kehidupan sejati yang
dijanjikan. Hanya dalam keterarahan kepada karya ilahi itu kehidupan Kristen
menjadi berbuah. Sehingga persaudaraan Kristen bukan hanya karena alasan iman
yang satu, yakni iman akan Kristus, namun lebih kongkrtit dari itu Gereja hidup
dalam kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan dan
kesetiaan, kelemah-lembutan dan penguasaan diri satu sama lain.[21]
Dengan dorongan dan karya Roh Kudus, setiap orang beriman diajak untuk hidup
lebih berdasarkan persekutuan dan persaudaraan yang mengatasi
perbedaan-perbedaan yang ada dalam kenyataan hidup; seperti perbedaan
sosial-ekonomi, perbedaan posisi dalam hidup, perbedaan budaya serta perbedaan
kepribadian yang cenderung memecah belah. Sehingga menjadi orang Kristen
berarti memiliki tujuan yang sama, yaitu membangun persaudaraan anak-anak Allah
dimana setiap karunia Roh dan kekayaan hidup dipakai untuk pelayanan satu sama
lain.[22]
3.2. Ekumene; Bertumbuh Bersama Dalam Kasih Persaudaraan
Persaudaraan adalah ungkapan dasar dari kasih
sebagai perintah tertinggi dan terutama dalam segala relasi manusia. Dalam
konteks ekumene, persaudaraan mesti mengikat relasi antar seluruh umat Kristen
dalam kasih, keadilan dan kedamaian. Namun relasi di antara seluruh umat Kristen
tidak selayaknya dikaitkan dengan hidup rukun yang manis. Gereja selalu hidup
dalam tantangan dan hambatan, juga ketegangan untuk merajut persaudaraan
anak-anak Allah. Orang-orang Kristen seringkali hidup dalam rasa curiga, dendam
dan sikap tidak menghormati satu sama lain yang seringkali menghambat
terbentuknya kesatuan dan persaudaraan. Tidak cukup memiliki pemahaman dan
pengetahuan tentang Gereja dan persekutuan lain secara benar dan seimbang
seringkali juga menyebabkan kurangnya penghargaan dan sekaligus memunculkan
sikap-sikap curiga yang berlebihan. Sikap merasa diri cukup atau merasa
Gerejanya paling sempurnah dapat juga memunculkan sikap-sikap defensif dan
agresif. Adanya kecenderungan untuk berpolemik bila mengungkapkan keyakinan
teologis Gerejanya. Tantangan persaudaraan juga bisa muncul dalam berbagai
praktek penyebaran iman yang menyinggung Gereja dan persekutuan Kristen lain.
Namun, dibalik tantangan-tantangan ini Roh Kudus tetap berkarya mendorong
Gereja-gereja untuk keluar dari kegelapan menuju kehidupan baru, yakni
kehidupan kasih persaudaraan di dalam Kristus.
3.2.1. Dengan
Persaudaraan Mengolah Konflik Masa Lalu Untuk Keselamatan Bersama
Usaha
untuk membangun persaudaraan Kristen merupakan panggilan seluruh Gereja. Setiap orang tersangkut di dalam usaha ini menurut
kemampuan masing-masing, baik di bidang Teologi maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Setiap Gereja [Katolik dan Gereja-gereja
Protestan] sama-sama dipanggil untuk memberi petunjuk bagaimana orang bersikap,
dan memberi peringatan tentang apa yang sebaikanya tidak dilakukan orang.
Masing-masing Gereja menawarkan ajaran, aturan, larangan, petunjuk dan pedoman
hidup yang berbeda-beda, namun semua yang diajarkan itu mengarah pada kebaikan,
kebenaran dan keselamatan bersama.[23]
Zaman perpecahan dan konflik antar Gereja telah berlalu, suatu kondisi yang
disebabkan oleh ulah dan dosa manusia. Sejak Vatikan II, Gereja Katolik hadir
sebagai saudara bagi semua orang, dan membuat pemulihan atas segala akibat yang
disebabkan oleh perselisihan yang telah menghancurkan persaudaraan, kerukunan
dan kedamaian hidup bersama. Hubungan timbal balik antar Gereja seharusnya
tidak tertutup, tetapi diperlukan adanya keterbukaan, terutama kesediaan untuk
berkomunikasi satu sama lain. Situasi ketegangan bahkan juga konflik-konflik
teologis antar Gereja merupakan indikasi dari belum adanya keterbukaan untuk
meleburkan segala perbedaan yang ada. Dengan keterbukaan satu sama lain,
orang-orang Kristen dapat memenuhi kerinduannya untuk menemukan kebahagiaan dan
keselamatan bersama. Mgr. P.C. Mandagi dalam bukunya “Umat Yang Terkasih”
berulangkali menekankan pertobatan, rekonsiliasi, dan pemulihan sebagai jalan
membangun persaudaraan antar sesama manusai. Bertumbuh dalam kasih persaudaraan
Kristiani berarti menyadari keterbatasan, kelemahan dan dosa yang menyebabkan
perpecahan, serta menemukan akar penyebab perpecahan untuk dipulihkan bersama.[24]
3.2.1.1.
Pertobatan Batin
Panggilan
ekumenis Gereja adalah untuk bertobat
atas dosa perpecahan yang telah terjadi di dalam tubuh Gereja
Kristus. Karena itu, Gereja yang
menolak memulihkan “ketidak-beresan” seperti konflik dan permusuhan antar
Gereja, sama dengan menolak untuk hidup dalam keselamatan bersama yang
disediakan Allah.[25] Pertobatan
batin [= conversio interna] atau seringkali disebut juga sebagai “ekumene spiritual”,
pada hakikatnya merupakan kembalinya hati manusia untuk berpaling dan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Pertobatan batin adalah perubahan
mental yang begitu mendalam dan batiniah, yang membawa pada perubahan kehidupan
lahiriah.[26]
Sehingga pertobatan batin
yang tulus dan murni membawa
Gereja-gereja kepada kekudusan hidup, dan menjadi
alasan bagi terciptanya persaudaraan sejati umat Kristen. Konsili menegaskan, “tidak ada ekumene yang murni tanpa ada suatu tobat batin
yang mendalam [UR 7]”, maka Kesatuan Kristen yang sempurnah hanya mungkin
dalam pertobatan batin.[27]
Ajakan bangkit dari kejatuhan dan perpecahan Gereja
melalui pertobatan batin yang mendalam merupakan ajakan Allah sendiri untuk
umatnya masuk dalam “hidup baru”, yakni hidup dalam communio atau persekutuan dalam Kristus. Pertobatan menuju “hidup
baru” adalah hidup dalam jiwa yang baru,
penyangkalan diri serta kemurahan hati, dan sikap penuh persaudaraan terhadap sesama manusia
[UR 7].[28] Pertobatan
menuju “hidup baru”, yakni hidup secara pantas
dengan selalu bersikap rendah hati dan lemah lembut, serta saling membantu dalam cinta kasih dengan
saudara-saudari seiman dalam Kristus.[29]
Konsili mengatakan, “pertobatan batin itu merupakan permohonan ampun, baik kepada Alla maupun kepada sesama. Maka konsili
mengajak seluruh umatnya untuk dengan rendah hati mohon
pengampunan dari Allah dan dari saudara-saudari seiman dalam Kristus. Hanya
dalam sikap demikian Gereja mampu menjawab kebutuhan injil, yaitu bersatu di
dalam Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dan semakin mampu juga Gereja meningkatkan
persaudaraan timbal balik dalam cinta kasih.
Bukankah persaudaraan merupakan inti panggilan Gereja membangun Kesatuan
Kristen sebab merupakan tanda yang merujuk pada asal usul ilahi pewartaan
Kristiani dan membuka hati kepada iman? Oleh karena itu, efektifitas hidup
rohani tergantung dari mutu pertobatan batin. Semakin setiap anggota Gereja
masuk dalam pertobatan batin yang tulus, semakin besarlah karunia rahmat yang
mendorong dia untuk membangun persaudaraan Kristiani yang sejati.[30]
3.2.1.2. Doa
Bersama, Jalan Menuju Persaudaraan Kristen
Konsili Vatikan II menegaskan arti penting dari doa sebagai hubungan atau
komunikasi antara manusia dengan Kristus. Hubungan itu berupa kumunikasi iman,
sebab di dalam doa, tidak masalah satu atau dua orang yang berkumpul, jika
dilakukan dalam nama Kristus serta dengan iman yang sungguh, maka di situ Allah
hadir [UR 8].[31]
Komunikasi iman itu bisa dilakukan secara pribadi, tetapi juga bisa dalam
kebersamaan umat beriman. Gereja Katolik sendiri sering melakukan doa-doa
bersama demi memupuk kebersamaan di dalam kasih Yesus Kristus. Sehingga tobat
batin, kesucian hidup dan kehidupan doa mesti dipandang sebagai semangat gerakan ekumene batin [UR 8].[32]
Umat Katolik telah terbisa untuk berkumpul dalam doa bagi
kesatuan Gereja, kesatuan yang dengan mendesak dimintakan Kristus sendiri dari
Bapa-Nya, malam menjelang wafat-Nya agar semua menjadi satu
(Yoh 17:21).[33]
Demikian pula kesempatan-kesempatan tertentu dan istimewa ketika menjalankan
pertemuan-pertemuan ekumenis sangat dianjurkan agar umat Katolik bersatu padu
dengan saudara-saudari dari Gereja-gereja lain dalam doa bersama, yang
merupakan alat yang sangat berdaya guna memperoleh rahmat persatuan.[34]
Gereja Katolik melihat dirinya sebagai persekutuan iman, yang
bersama dengan Gereja-gereja lain disebut persekutuan persaudaraan orang-orang
yang menerima Yesus dengan iman dan cinta kasih.[35]
Hal itu berarti seluruh Gereja mesti menghidupi komunikasi antar sesama bersaudara
dan antar seluruh Gereja dengan Kristus, dan komunikasi itu hanya mungkin
karena Roh Kudus. Dikatakan bahwa doa bagi kesatuan Gereja merupakan kumunikasi
iman yang berlangsung di dalam Roh Kudus. Sebab yang berdoa sebetulnya bukan manusia melainkan Roh
Allah sendiri.
3.2.1.3. Kesaksian
Hidup
Gagasan
tentang kesaksian hidup atau keteladanan hidup dengan sangat bagus dijelaskan
oleh Romo Albertus Sujoko MSC, dalam bukunya “Identitas Yesus & Misteri
Manusia”. Menurutnya, keteladanan merupakan pokok penting dalam Moralitas
Kristiani, sebab doa dan korban secara langsung terarah kepada Allah,
keteladanan hidup justru langsung terarah kepada sesama. Keteladanan secara
psikologis dapat memberi pengaruh yang paling efektif bagi kehidupan moral
melebihi segala kata-kata atau pengajaran teologis yang manis dan menarik,[36]
karena itu dapat sangat membantu bagi usaha pembangunan kesatuan dan
persaudaraan Kristen. Pentingnya keteladanan dalam kesatuan dan persaudaraan
Kristen bersumber pada Yesus Kristus sebagai pusat dan model hidup Kristiani.[37]
Selain Gereja Perdana dapat menjadi model hidup Yesus, orang-orang kudus
menyatakan keserupaan mereka dengan Yesus secara lebih menonjol. Sehingga
penghormatan Gereja Katolik kepada orang-orang kudus pertama-tama berkaitan
dengan keteladanan hidup mereka menunjukan kasih Allah di tengah-tengah dunia.
Para kudus yang sederhana dan rendah hati menjadi terang yang menyinari
saudara-saudarinya untuk berusahan menjadi gambaran Yesus. Kesaksian hidup
melalui keteladanan adalah wujud cinta kasih persaudaraan. Orang yang secara
personal berusaha hidup baik, secara sosial bisa menjadi contoh bagi sesama.
Dalam konteks ekumene, keteladanan hidup seperti itu wajar diharapkan kepada
mereka yang menjadi panutan orang banyak karena jabatan pelayanan yang diemban.[38]
Meskipun itu, bahwa setiap orang Kristen tersangkut dalam panggilan menghidupi
keteladanan Yesus, dan dengan motivasi itu membangun kesatuan dan persaudaraan
Kristen.
3.2.2. Bertumbuh
Bersama Dalam Persaudaraan Kristen Melalui Dialog
Dialog adalah norma dan cita-cita yang
diperkenalkan kepada Gereja oleh paus Paulus VI dalam ensiklik Ecclesiam Suam
(1964). Pengertiannya dirumuskan secara matang dalam dokumen Dialogue and Mission (1984) dan dukumen Dialogue and proclamation (1991). Dengan
tegas dikatakan bahwa dialog menunjuk pada berbagai hubungan yang bersifat
positif dan konstruktif dengan pribadi-pribadi dan jemaat dari agama lain [DP
9], dalam semangat mau saling memahami dan memperkaya satu sama lain [DM 3].
Mereka yang menjalin hubungan bukanlah sistem religius melainkan umat beriman
yang berakar secara mendalam pada kekayaan rohaninya sendiri. Dialog menunjuk
pada kesaksian yang diberikan dan diterima demi perkembangan rohani dan
pengalaman iman, sekaligus juga upaya untuk menghilangkan prasangka dan salah
paham.[39]
Dialog yang sejati dijalankan dalam lingkup
kebenaran dan dan kebebasan, sehingga dialog tidak hanya demi memajukan kerja
sama dan sikap terbuka namun lebih dalam dari itu mendorong demi untuk
menggapai kebenaran dan kehidupan, kesucian, keadilan, kasih dan perdamaian,
serta aneka dimensi dari Kerajaan Allah [DP 80]. Atau seperti dikatakan paus
Yohanes Paulus II, dialog dalam level paling mendalam pada prinsipnya ialah dialog keselamatan. Yang dimaksudkan
adalah dialog yang terus menerus berusaha menemukan, memperjelas, dan memahami
tanda-tanda Allah dalam persatuan manusia sepanjang masa. Dialog keselamatan
merupakan sharing keselamatan
sehingga setiap orang yang terlibat dipanggil untuk saling membagi pengalaman keselamatannya.[40]
Gereja Katolik
berangkat dari semangat ini untuk bersahabat dengan semua Agama. Dalam konteks
ekumene, Gereja membuka diri mendorong terciptanya persaudaraan Kristiani
melalui dialog yang membawa pada keselematan putra-putri Allah. Ekumene harus
membentuk setiap orang Kristen untuk memiliki kecakapan berdialog. Setiap orang
Kristen dipanggil dalam misi mewartakan hidup Kristus secara benar di
tengah-tengah dunia, sehingga Gereja-gereja yang meletakan dasarnya pada iman
akan Kristus mesti hidup bersama dalam kerja sama memupuk “kecakapan
berdialog”. Kecakapan dialog meliputi kesaksian hidup orang Kristen yang dari
padanya kehidupan Yesus terpancar. Bila kesaksian hidup menjadi prasyarat
seorang Kristen memiliki kecakapan berdialog maka hidup kasih persaudaraan
Kristiani menjadi langkah pertama yang mesti segera diambil oleh seluruh
Gereja. Misi pewartaan hidup Kristus tidak akan berhasil jika Gereja-gereja
masih tetap hidup dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Setiap orang
Kristen harus membuka diri, keluar dari keterpecahan, keterisolasian untuk
menemukan saudaranya. Dalam persaudaraan Kristen sama-sama mengusahakan
kecakapan dialog yang efektif bagi karya pewartaan keselamatan Allah.
Untuk
menekankan pokok dialog sebagai sarana membangun persaudaraan Kristen, Konsili
Vatikan II meminta agar Gereja Katolik dan
Gereja-gereja Protestan mesti bekerja sama meningkatkan pengertian dan pemahaman satu sama lain.
Konsili Vatikan II mendorong Gereja Katolik kepada keterbukaan diri bagi
Gereja-gereja lain, untuk mencari dan mengenal, mempelajari ajaran, hidup
rohani, dan unsur-unsur positif pada saudara-saudari yang terpisah
melalui dialog. Dialog
itu desebut dialog ekumenis menunjuk pada komunikasi
iman kedua belah pihak. Dialog ekumenis bersifat mendengar dan menjawab, mencoba mengerti dan
dimengerti, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan terbuka terhadap pertanyaan.
Dilog ekumenis
merupakan proses belajar untuk memberi kesaksian bersama tentang tugas yang
telah dipercayakan Kristus kepada Gereja-Nya.[41]
Mengenai
dialog ekumene itu sendiri, Konsili Vatikan II mengajarkan “melalui cara-cara
itu Gereja Katolik menjelaskan kepada saudara-saudarinya tentang kebenaran yang
telah ditemukannya sehingga saling membantu dalam mencari kebenaran
[DH 3]. Dasar dialog itu adalah kesadaran bahwa rahmat Allah
berkarya dalam diri setiap manusia, sehingga dialog penting dilaksanakan agar
seluruh Gereja Kristus dengan sepenuhnya dapat menanggapi tawaran rahmat Allah itu
[GS 62]. Maka dialog ekumene bukanlah konfrontasi untuk
ajaran-ajaran Gereja yang berbeda-beda, melainkan dialog hidup atau “temu
hati”, yang semakin terbuka untuk sapaan Allah. Di situ orang tidak mengaburkan
atau menyembunyikan pendapat dan keyakinan Gerejanya, namun dapat
mengemukakannya, tanpa memaksakan pendapatnya sendiri kepada orang lain. [42]
3.2.3. Bertumbuh
Bersama Dalam Persaudaraan Melalui Pendidikan Ekumene
Dewasa ini telah ada perluasan
pemahaman mengenai cakupan, arti dan praktek ekumene, hubungan ekumene dan
kerja sama ekumene. Ketika dimulia, gerakan ini lebih bertujuan untuk membangun
kerja sama dan rasa persaudaraan antara orang-orang Kristen Protestan, sehingga
dengan demikian bersifat intra-konfensional.
Segera ada kepedulian untuk memperluas kerja sama dengan Gereja Katolik,
sehingga berubah menjadi inter-konfensional.
Dengan lebih banyak tantangan yang disebabkan oleh kemajuan sains dan
teknologi, konflik ideologi, dan kesadaran akan agama-agama lain, perhatian
gerakan ekumene kemudian harus mencakup area-area seperti itu. Di satu pihak
Gereja dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia, tetapi
di pihak Gereja berhadapan dengan situasi zaman yang bisa saja dapat
mengaburkan panggilannya.[43]
Itulah sebabnya perlu pembinaan dan pendidikan ekumenis yang bertujuan memberi
wawasan tentang wajah zaman yang sedang berkembang. Di samping itu, pembinaan
dan pendidikan ekumene juga penting bagu pembangunan kesatuan dan persaudaraan
Kristen.
Pendidikan ekumenis tidak sama dengan Pendidikan
Agama [pada umumnya], Pendidikan Kristen ataupun Pendidikan Agama Katolik. Yang
dimaksud dengan pendidikan ekumenis dalam tulisan ini adalah pendidikan yang
berkaitan dengan gerakan ekumene, karena itu merupakan proses penyadaran akan
dimensi-dimensi ekumene. Untuk itu, setiap Gereja harus membuka diri dalam
semangat ekumene demi mengusahakan pembaharuan yang menjawab situasi zaman.[44]
Bahkan konsili mengajak seluruh umat Katolik untuk memperbaharui dirinya terus
menerus dan membentuk wajah Gereja yang lebih manusiawi dan mampu bergaul
dengan dunia yang sedang berkembang. Pendidikan
ekumene merupakan tugas seluruh Gereja, sehingga konsili mendorong dibukanya
kuliah-kuliah untuk pendidikan ekumene. Terutama kepada calo-calon pemimpin
umat harus diberi kuliah dan pandangan ekumene
yang memadai, sehingga mereka dapat
memperoleh pandangan objektif tanpa polemik dan prasangka
[UR 10]. Tetapi lebih dari semua-usaha-usah yang bersifat teoretis itu,
pendidikan ekumenis perlu lebih banyak praksis dialog dengan saudara-saudari
kaum beriman, menjalin persahabatan, memupuk keakraban, dan membangun kerja
sama di segala bidang yang bisa dilakukan bersama.[45]
Kesimpulan
Gerakan ekumene diadakan untuk
memupuk usaha-usaha menghindari kata-kata, penilaian-penilaian, serta
tindakan-tindakan yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok
dengan situasi saudara-saudari yang terpisah [UR 4]. Tujuannya adalah membangun
kesatuan dan persaudaraan yang dilandasi cinta kasih Kristus, yang bercermin
pada kehidupan Gereja Perdana, dan yang hidup menurut keutamaan-keutamaan Roh
Kudus. Oleh karena itu, kegiatan ini tak pernah dapat meninggalkan doa bersama
untuk persatuan umat Kristen, bahkan pertobatan batin serta keteladanan hidup
merupakan sikap-sikap dasar yang tak bisa diabaikan. Bertumbuh bersama dalam
kasih persaudaraan merupakan panggilan setiap orang beriman, sehingga demi
mencapai itu penting diadakan dialog dan pedidikan ekumenis tentang segala
dimensi kehidupan Kristus demi terciptanya kesatuan otentik umat beriman dalam
Kristus.
[1] Bdk. Memperjuangkan Mimpi
Persaudaraan Sejati dalam http://filsafat.kompasiana.com
(diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Pkl. 14.20)
[2]Bdk. Ibid
[3] Bdk.
Ibid
[4]Bdk.
“Saudara” (Gali Kata Alkitab dalam Tinjauan Tulisan Ibrani Kuno) dalam http://sabdaspace.org
(diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Pkl. 15.20 WITA)
[5] Bdk.
Ibid
[6] Bdk.
Memperjuangkan Mimpi Persaudaraan Sejati dalam http://filsafat.kompasiana.com
(diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Pkl. 14.20)
[7] Bdk. Ibid
[8] Bdk.
J. Darminta, SJ, Dewasa Dan Sempurnah
Dalam Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 23
[9]Bdk. Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia (Yogyakarta:
Kanisius, 2009) hlm. 414.
[10] Bdk.
Ibid
[11] Bdk.
J. Darminta, SJ, Dewasa Dan Sempurnah
Dalam Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 23.
[12] Bdk.
Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang
Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 39.
[13] Bdk.
Ibid
[14] Bdk.
Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia
(Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 442.
[15] Bdk.
Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Agama
Dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003) hlm. 377.
[16] Bdk.
Ibid
[17] Bdk.
I. Marsana Windhu, Awal Persahabatan
Dengan Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm. 61.
[18] Bdk.
Ibid
[19] Bdk.
Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang
Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 37.
[20] Bdk.
Ibid, hlm. 52.
[21] Bdk.
Ibid, hlm. 54
[22] J.
Darminta, SJ, Dewasa Dan Sempurnah Dalam
Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 20
[23] Bdk.
Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Agama
Dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003) hlm. 360.
[24] Bdk.
Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang
Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 37.
[25] Bdk.
Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, Dialog
Interreligius (Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 189.
[26] Bdk.
Yosef Lalu, Pr, Makna Hidup Dalam Terang
Iman Katolik: Seri 3 (Yogyakarta: Kanisius, 2010) hlm. 55.
[27]Dr.
Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek
Ekumene, ( Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 32
[28] Bdk.
Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Umat Yang
Terkasih (Jakarta: Hati Baru, 2009) hlm. 119.
[29] Bdk.
Ibid, hlm. 120.
[30] Bdk.
F. Hartono, SJ, Bentuk-Bentuk Komunitas
(Yogyakarta: Kanisius, 2008) hlm. 48.
[31]Bdk. Komisi
Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab
Dalam Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003) hlm. 171.
[32] Bdk.
Ibid
[33]Bdk. Walter
M. Abbott, SJ, Ekumenism , dalam The
Document of Vatican II – All Sixteen Official Texts Promulgated Council
1963-1965, Amerika: Assoication Press, 1966), hal. 337
[34]Bdk. Dr.
Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek
Ekumene, ( Ende, Nusa Indah, 1986), hal. 32
[35] Bdk.
Ibid
[36] Bdk.
Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia
(Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 432.
[37] Bdk.
Ibid
[38] Bdk.
Ibid
[39] Bdk.
B. Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ, Menerobos Pintu Sempit Nafas Ilahi Dalam KAJ (Yogyakarta: Kanisius,
2009) hlm. 80
[40] Bdk.
F.X.E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama
Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm. 103.
[41]Bdk. Dr.
Josef Koningsmann, Gerakan dan Praktek
Ekumene, (Ende, Nusa Indah, 1986), hlm. 41.
[42] Bdk.
B. Agus Rukiyanto, SJ & T.A. Deshi Ramadhani, SJ, Menerobos Pintu Sempit Nafas Ilahi Dalam KAJ (Yogyakarta: Kanisius,
2009) hlm. 80.
[43] Bdk.
Hope S. Antone, Pendidikan Kristen
Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) hlm. 62.
[44] Bdk.
Ibid
[45] Bdk.
F.X.E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama
Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm. 103.
While the Indian Premier League’s major appeal is still its high-quality cricket, the event has also supplied fans with various types of entertainment throughout the years. Analysis, interviews, contests, advertisements, and songs have all contributed to the brand’s allure.
BalasHapus