LAHIRNYA GERAKAN EKUMENE
DI
LINGKUNGAN GEREJA-GEREJA PROTESTAN
Oleh: Vitalis Letsoin
Pertama-tama
istilah ekumene atau yang sering kita
kenal dengan gerakan ekumene
merupakan anak dari sebuah sejarah panjang Gereja. Kata ini merupakan padanan
dari kata “Katolik” dan “universal” untuk menujuk pada suatu gerakan mencari
keutuhan dan usaha mengumpulkan kembali demi menjaga integritas Gereja.
Terutama merupakan panggilan kepada kesatuan Gereja Kristus. Gerakan ekumene sebagai panggilan
pengintegrasian Gereja menemukan wajahnya ketika Gereja Katolik dan
Gereja-gereja Protestan mulai membuka diri satu sama lain untuk membangun
persaudaraan dalam kesatuan Gereja Kristus. Namun apakan sesungguhnya hakekat
gerakan ekumene itu, dan bagaiman lahirnya gerakan itu dalam lintasan sejarah
Gereja? Di dalam bagian ini akan diuraikan, pertama;
garis besar pemahaman tentang hakikat ekumene, dan kedua; tentang bagaimana ekumene sebagai gerakan mencari kesatuan
Kristen berlangsung dalam sejarah Gereja, terutama dibatasi pada
sejarah lahirnya ekumene dalam lingkungan Protestan.
1.1. Pengertian Ekumene
Banyak
orang membutuhkan informasi yang jelas tentang makna istilah ekumene, sebab istilah
itu sudah terlanjur digunakan secara tidak tepat oleh banyak lembaga. Dengan
menggunakan istilah ekumene sekedar untuk menujukkan bahwa lembaga tersebut
terdiri dari beberapa Gereja. Padahal, istilah ini sejak asali sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Gereja. Istilah ekumene berasal dari bahasa Yunani, yang secara geografis
dipakai untuk mengartikan dunia yang
didiami,[1]
dan bukan hubungan antar Gereja yang dikenal dewasa ini. Menurut catatan Dr. Abineno [teolog
Protestan & Ketua Umum Persekutuan
Gereja di Indonesia sejaka tahun 1964-1980], istilah ekumen telah
dipakai sejak abad ke-5 SM. Dalam kajiannya, istilah ini pernah diberi arti; kebudayaan, kerajaan, bahkan juga Gereja.[2]
Dengan demikian istilah ini memiliki beberapa perkembangan arti yang mesti
segera ditelusuri. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini, perlu pemahaman
tentang sejarah penggunaan istilah ekumene tersebut demi menghidari kekaburan
pemaknaan gerakan ekumen.
1.1.1. Perkembangan Arti
Istilah Ekumene
Istilah ekumene berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata oikos,
yang berarti “rumah” dan menein, yang
berarti “tinggal atau mendiami”.
Kedua kata ini jika digabungkan akan menjadi oikumene yang secara harafiah berarti “yang didiami”. Istiliah oikumene sering digabungkan dengan kata ge [disebut oikumene ge] yang berarti “dunia atau bumi”,[3]
tetapi kata benda ini sering tidak disebutkan secara eksplisi. Masyarakat
Yunani mula-mula menggunakan istilah oikumene
[selanjutnya disebut ekumene] untuk mengartikan “bagian bumi yang didiami
orang” [Lk. 4:5; Rom. 10:18; Ibr. 1:6]. Ketika itu orang-orang belum tahu
menahu tentang Asia, Amerika, Afrika dan apalagi
Australia. Bagian dunia paling penting yang mereka kenal ialah dunia sekitar
Laut Tengah, yakni seluruh wilayah Kekaisaran Romawi. Sehingga ekumen kemudian
mendapat arti seluruh Kekaisaran Romawi
[Kis. 24:5] dan semua penduduknya
[Kis. 17:6].[4]
Sekitar
abad ke-2 dan abad ke-3 [abad-abad awal lahirnya kekristenan], istilah ekumene
mulai dihubungkan dengan Gereja. Ekumene berarti seluruh dunia yang didiami dan yang dikuasai oleh Kekaisaran Romawi,
menjadi tempat Gereja menjalani misinya.[5]
Dengan kata lain, wilayah dimana Gereja berkarya untuk mewartakan injil adalah
ekumene. Gereja ekumene [atau Gereja
di dalam wilayah Kekaisaran Romawi] memiliki arti yang sama dengan Gereja
universal, sebab orang-orang Kristen Yunani dan Romawi hampir tidak menyadari
bahwa di luar batas-batas Kekaisaran Romawi juga tinggal orang-orang yang dapat
menjadi sasaran injil.[6]
Pada saat Gereja diakui oleh Kekaisaran, terutama ketika Kerajaan Romawi
menjadi “sama dengan” Kerajaan Gerejani, pemahaman tentang ekumene dan Gereja
menjadi satu pengertian. Sehingga istilah ekumene mendapat arti “Gereja
seluruhnya, yaitu Gereja yang dianggap dan diakui sebagai Gereja yang
kudus, Gereja yang sah, yakni Gereja
Katolik”. Ekumene duniawi berarti juga ekumene gerejani, dimana Gereja dan
Kekaisaran bersatu padu. Muncullah Imperium Kristen dimana kaisar mengurus
soal-soal politik dan bertindak sebagai pelindung Gereja, sedangkan paus
beserta para uskup mengurus bidang rohani.[7]
Selain
itu, istilah ekumene bisa saja berarti konsili.[8] Di
satu pihak, muncullah kelompok-kelompok dengan ajaran-ajarannya yang sesat.
Mereka membentuk Gerejanya sendiri yang kemudian oleh Gereja Katolik disebut
Gereja-gereja sesat. Namun di pihak lain, Kekaisaran [baik
Gereja dan Negara] menghendaki keesaan
dan keutuhan Gereja.[9] Sehingga
demi menanggulangi kesesatan-kesesatan itu diadakan beberapa
konsili yang bertujuan menjaga integritas Gereja. Konsili-konsili itu disebut “konsili ekumenis” oleh karena selain bertujuan menjaga keutuhan dan
integritas Gereja, dianggap mewakili seluruh Gereja dan mengambil keputusan
yang berlaku universal.[10]
Dengan kata lain, istilah ekumene disebut sebagai konsili sebab merupakan
pertemuan dari seluruh Gereja.
Barangkali Zinzendorf [seorang pelopor Gerakan Pietisme, 1700] sebagai orang pertama yang menggunakan istila ekumene di dalam arti yang lebih modern. Ia
menggabungkan istilah ekumene dengan keesaan Gereja;
“ekumene adalah keesaan Kristen yang melebihi perpecahan antar bangsa”.[11]
Namun, khususnya karena usaha Nathan Soderblom [uskup Gereja Lutheran Swedia
yang merupakan tokoh penting dalam gerakan ekumene sedunia,
1866-1931] pemahaman modern istilah ekumene mulai diterima secara
umum. Menurut Nathan, Gereja-gereja belum ekumenis kalau masih ada tembok-tembok pemisah di antara
Gereja-gereja Protestan, Orthodoks dan Gereja Katolik.[12]
Ekumene menyangkut kehidupan Gereja seluruhnya, terutama
usaha perdamaian dan saling pengertian di antara seluruh umat Kristen. Ekumene
berarti “Gereja-gereja yang bergumul bersama hingga mencapai keesaan injili dan
yang melalui sikapnya, kegiatannya, dan aktivitasnya mau membuktikan keesaan
yang asasi di dalam dunia dan masa kini.[13]
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk mempergunakan
istilah ekumene pada pengertian yang
lebih universal, yang tidak terbatas hanya untuk persekutuan orang Kristen
saja, melainkan seluruh umat ciptaan Tuhan.[14]
Pengertian ini sudah lebih dekat dengan pandangan Alkitab; ekumene berarti
“bumi dan segala isinya” atau seluruh dunia [Mzm 24:1; Kis 17:6; Why 16:14].
Tetapi di dalam lembaran lain dari Alkitab juga dikatakan bahwa “Kerajaan Allah
yang penggenapannya masih kita nantikan” itupun disebut dunia ekumene yang akan
datang [Ibr 2:5]. Atau seperti yang dikatakan Dr. Arie de Kuiper, bahwa Gereja
harus terbuka kepada ekumene yang akan datang dimana semua ciptaan disatukan di
dalam Kerajaan Allah, dan mengikuti Yesus ke arah itu.[15]
Singkatnya ekumene dalam level yang paling puncak adalah keesaan ciptaan di
dalam Yesus Kristus. Keesaan yang berproses secara dinamis menuju keutuhan dan
kesempurnyaanya di dalam Kerajaan Allah Bapa di surga.
1.1.2. Gerakan Ekumene
Secara singkat dapat
dikatakan bahwa istilah ekumene sejak
asali sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Gereja. Istilah ini dipakai
secara politis menunjuk pada wilayah atau bagian dunia yang disebut Kekaisaran
Romawi. Baru pada sekitar abad ke-19, istilah ini dipakai dalam arti Gereja dan
usaha persatuan Gereja Kristus. Kadang-kadang istilah ini dipakai dalam arti
yang lebih luas lagi, dari pada sekedar hubungan antar Gereja. Pengertian ini
telah mengarah pada pemahaman yang lebih jelas mengenai ekumene sebagai
keseluruhan dunia atau bumi yang didiami seluruh ciptaan Allah, termasuk
manusia dan makhluk lainnya. Meskipun beberapa arti
istilah ekumene di atas sudah dapat menunjukan hakikat dari gerakan ekumene,
namun dalam bagian ini perlu penjelasan defenitif atasnya.
Istilah
ekumene secara defenitif mulai dipakai sejak abad ke-20. Dalam hubungan dengan
ini, mengutip kembali pendapat uskup Nathan Soederblom [pemberi arti resmi dari
kata ekumene dan diterima umum] “ekumene adalah Gereja-gereja yang bersama-sama
bergumul sampai mencapai keesaan injili dan melalui sikap dan kegiatannya mau
membuktikan keesaan yang asasi ini di dalam dunia dan masa kini”.[16]
Dari penjelasan ini, barangkali sebuah defenisi tentang “gerakan ekumene” [atau ekumene sebagai gerakan yang
dibahas dalam tulisan ini] dapat dijelaskan demikian; Gerakan ekumene adalah
“usaha-usaha dan tanggung jawab dari keseluruhan hidup Gereja yang dengan
terus-menerus membuktikan rasa persaudaraan di dalam kesatuan Gereja, dan
kesatuan semesta sampai mencapai kesatuan yang sempunah di dalam Kristus.
Satu
catatan mengenai istilah ekumene di dalam Konsili Vatikan II. Di dalam beberapa
dokumen konsili [misalnya; Dekrit
Unitatis Redintegratio] dipakai istilah ekumenisme
yang secara konsep diartikan sebagai usaha pemulihan kesatuan umat Kristus, Dengan
kata lain, ekumenisme adalah usaha Gereja-gereja [Protestan, Orthodoks dan
Katolik, bahkan juga golongan-golongan bukan
Kristen dan seluruh ciptaan] untuk
membangun persatuan nyata di antara mereka. Konsili Vatikan II sendiri
merupakan Konsili Ekumenis, oleh karena selain dimaklumkan untuk membaharui
Gereja Katolik, Konsili ini menunjukan keterbukaan nyata untuk Gereja dan
golongan bukan Katolik demi persatuan baru yang universal.[17] Dengan
menggunakan istilah ekumenisme dapat menimbulkan kesan bahwa gerakan
ekumene dilihat sebagai suatu isme;
suatu ideologi teologis disamping ideologi-ideologi lain. Akat tetapi bukan itu
yang dimaksudkan. Ekumenisme menunjuk kepada gerakan ekumene, yaitu gerakan
historis yang dibahas di dalam tulisan ini.[18]
1.2. Sejarah Perkembangan
Gerakan Ekumene
Sejak awal Gereja suda mengalami
perpecahan. Bahkan sejarah mencatat bahwa “perpecahan Gereja itu umurnya bisa
dikatakan setua umur Gereja itu sendiri”.[19]
Artinya, sejak permulaan Gereja itu lahir telah terjadi perpecahan, sampai pada
zaman kita pun “Roh Perpecahan” terus membawa perpecahan di dalam
Gereja-gereja. Secara umum, dapat dikatakan perpecahan Gereja itu terjadi dalam dua
babakan sejerah Gereja. Pertama skisma Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Yunani,
yang secara tradisional mulai sejak tahun 1054. Dan
kedua pada abad
ke-16, ketika protes Martin Luther [seorang pastor dan teolog Kristen, 1483-1546]
terhadap Gereja Katolik mengakibatkan
Reformasi Protestan dan perpecahan baru kesatuan Gereja di Barat. Selanjutnya,
sejarah pun mencatat perpecahan-perpecahan yang semakin hebat setelah Reformasi
Protestan. Kenyataan yang tak bisa
disangal bahwa terdapat berbagai macam Gereja Kristen, yang bukan hanya berbeda satu dengan yang lain, tetapi saling bertentangan. Misalnya terdapat Gereja
Katolik, Gereja Orthodoks, Gereja Anglikan, Gereja Lutheran dan Calviniks, serta denominasional Gereja.[20]
Pertanyaan kemudian mencul, bagaimana usaha yang harus dilakukan untuk mempersatukan
Gereja-gereja yang terpecah belah ini? Meskipun Orthodoks bisa menunjukan sikap
ekumenis, namun bab ini hanya membatasi pada sejarah
gerakan ekumene Gereja-gereja Protestan,
tentu dalam keterkaitan dengan Gereja Katolik.
1.2.1. Akar-akar
Gerakan Ekumene Pada Abad-Abad Lalu Sampai Pada Konferensi Pekabaran Injil
Sedunia Di Edinburg (1910)[21]
Walaupun
Gereja berhadapa dengan kondisi keterpecahan namun selalu ada usaha
untuk merajut persatuan Gereja. Memang
usaha mempersatukan Gereja-gereja telah dimulai sejak abad-abad lampau. Kaisar-kaisar
Romawi Timur misalnya, menjaga keutuhan Gereja
dengan memakai tentara untuk membawa kembali setiap kelompok
Kristen yang tidak tunduk kepada paus. Calvin
[teolog
Kristen Perancis terkemuka
pada masa Reformasi Protestan,
1509-1564] menggunakan jalan lain dengan menekankan aspek Alkitab. Menurutnya, kesatuan
dapat diperoleh jika seluruh Gereja tunduk kepada Kuasa Alkitab. Namun usaha-usaha ini kurang membawa hasil
nyata. Sebab-sebab kultur-religius membuat jurang semakin dalam, yang juga telah didiamkan selama berabad-abad. [22] Barulah
pada antara abad ke-17dan abad ke-19 usaha
mempersatukan orang-orang Kristen mengemuka
sebagai pilihan yang langkahnya harus segera diambil. Usaha ini timbul
pertama-tama karena kesadaran bahwa Gereja yang didirikan oleh Kristus adalah
Gereja yang Esa, oleh
karena itu perpecahan Gereja pasti
bertentangan dengan kehendak Kristus. Tugas Gereja adalah mempersatukan dunia
di dalam Kristus, sehingga persatuan Gereja mutlak perlu demi usaha
mempersatukan seluruh umat manusia di dalam
Kristus.[23]
Kesadaran
akan usaha persatuan Gereja ini hidup khususnya dalam diri para cendekiawan Gereja, baik
Katolik maupun Protestan, terutama ketika persatuan Gereja ditarik kembali pada
akar kehidupan Gereja Kuno. Baik Gereja Katolik maupun Protestan, sama-sama mewarisi
iman yang satu, yaitu “Pengakuan Iman Rasuli”. Oleh karena itu, kehidupan Gereja Kuno harus menjadi
patokan perbaikan keadaan Gereja. Meskipun usaha
ekumene bisa ditunjukan pada tingkat ini, namun agaknya usaha perdamaian itu belum membawa
hasil nyata. Usaha ini dinilai masih bersifat intelektual dan individual
dan kurang berakar dalam kehidupan Gereja.[24]
Menurut
catatan Christian de Jonge dalam bukunya, “Menuju Keesaan Gereja”, usaha persatuan
Gereja-gereja dapat disimpulkan dalam dua
macam usaha. Yang pertama adalah
mencari titik perjumpaan dalam kehidupan Gereja Kuno, terutama pada Pengakuan Iman Rasuli yang
merupakan warisan bersama setiap Gereja. Hanya dengan
itu, Gereja Katolik dapat meniadakan penyimpangan-penyimpangan
yang muncul, dengan hasil yang pasti pula perpecahan Protestan segera berakhir”. Usaha kedua
adalah merumuskan daftar pasal-pasal iman yang fundamental atau azasi untuk Iman Kristen [missalnya; Pembenaran orang berdosa karena iman]. Sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap tidak azasi [misalnya; Perjamuan Kudus] tidak boleh menjadi alasan untuk perpecahan Gereja. Lagi-lagi usaha pertama seperti yang
dikatakan di atas masih terlalu bersifat intelektual untuk diterima secara umum. Sementara usaha kedua belum matang. Gereja-gereja masih terlalu
mengindahkan rumusan-rumusan konfensionalnya masing-masing.[25]
Barangkali
periode abad ke-19 dapat menjadi titik berangkat gerakan ekumene yang nyata dan
sistimatis, baik pada tingkat praktis [ibadat bersama dan kerja sama di berbagai bidang], maupun pada tingkat teologis [tukar pikiran antara para teolog] dan tingkat kelembagaan.[26]
Usaha-usaha ini menjadi sangat maju terutama karena
inspirasi dari gerakan
yang disebut gerakan “Revivalisme” dan “Pietisme”.
Revival dan Pietisme merupakan gerakan Kristen awal yang mempersiapkan berdirinya Dewan
Gereja-gereja se-Dunia. Mereka melihat keadaan Gereja saat itui sudah beku dan
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. Menurut mereka iman pertama-tama
merupakan hal pribadi. Iman Kristen bertolak dari hati pribadi sehingga
kesalehan dianggap sebagai yang terutama daripada keanggotaan Gereja atau
penerimaan suatu konfensi. Dengan penekanan pada individu, maka konfensi Gereja
direlativir. Sekaligus dibuka jalan untuk melihat lebih jauh dari batas-batas
Gereja sendiri untuk mencari hubungan dengan orang-orang Kristen di
Gereja-gereja lain yang juga mencoba memperdalam penghayatan pribadi akan iman
Kristen. Oleh sebab itu, aliran ini menghimbau agar setiap Gereja harus
bersikap terbuka dan merangkul dalam usaha mencari penghayatan yang
sedalam-dalamnya akan Yesus Kristus dan keselamatan yang diberikan-Nya kepada
setiap orang yang mau menerimannya.[27]
Kedua aliran ini lahir sebagai protes terhadap siatuasi
Gereja yang dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Orang-orang
yang digerakan oleh kedua aliran ini berkobar-kobar semangatnya untuk
mengabarkan injil di mana-mana, namun Gereja mereka sendiri bersikap malastau. Beberapa orang merasa bahwa
usaha-usaha tak langsung ini belum cukup, sehingga terdorong oleh semangat
ekumenis,
mereka merasa perlu mengadakan hubungan yang lebih luas dan kongkrit.
Terbukalah jalan untuk mencari kesatuan di dalam lembaga-lembaga ekumen.[28]
Usaha
mempersatukan umat Kristen dalam lembaga-lembaga ekumene pada periode
perkembangan abad ke-19 dapat dijabarkan dalam empat usaha. Yang pertama adalah usaha mempersatukan umat
Kristen dari Gereja-gereja yang mempunyai dasar teologis atau konfensional yang
sama. Inilah yang disebut ekumene denominasional,[29] yang lahir dari tradisi Calvinisme. Usaha ini kemudian
menghasilkan Reformed and Presbyterian
Alliance [Perserikatan
Gereja-gereja Reformasi dan Presbyterian][30] yang sejak 1954 memakai nama Alliance of Reformed Churches throughout the World holding the
Presbyterian System [Perserikatan Gereja-gereja Reformasi di seluruh Dunia
yang berpegang pada sistim Presbyterial], dan sejak bergabung dengan ICC pada tahun 1970 bernama World Alliance of Reformed Churceh [WARC]. Usaha yang kedua adalah usaha mempersatukan umat
Kristen dalam satu perhimpunan. Hasilnya adalah pembentukan Evangelical Alliance [Perserikatan Injili) di London pada tahun 1846. Pelopor
utama gerakan ini adalah seorang pendeta Skotlandia, Thomas Chalmers
(1780-1847), yang selain mendorong terciptanya keesaan Kristen [Protestan] juga mendorong kerja sama dengan Gereja katolik.
Sumbangan positif gerakan ini dalam sejarah ekumene adalah pengadaan “Minggu Doa Sedunia” untuk meningkatkan kesadaran akan kesatuan dan
persaudaraan, serta menerbitkan majalah ekumene pertama Evangelical Cristendom tahun 1847.[31]
Sumbangan
ketiga diberikan oleh apa yang
disebut Voluntary Movement [Gerakan-gerakan Sukarela]. Dari gerakan inilah lahir organisasi-organisasi yang
bersifat internasional. Misalnya Young
Men’s Cristian Association [YMCA] didirikan tahun 1844. Young Women’s Christian Asociation [YWCA] didirikan pada tahun 1855. World Federation of Christian Student [WFCS] didirikan pada tahun 1895.[32]
Voluntary Movement lahir karena pengaruh Revivalisme, gerakan kebangunan
rohani, sehingga memiliki sikap yang sama terhadap batas-batas Gereja dengan
Pietisme. Mereka menyatakan bahwa bukan konfensi Gereja yang penting, tetapi
iman akan Kristus. Sehingga tugas orang-orang Kristen adalah mewartakan iman
itu di tengah-tengah dunia. Bukan Gereja [dalam arti; lembaga/organisasi/konfensi] yang mempersatukan umat Kristen, melainkan tugas dan
tujuan bersama, yaitu pewartaan kehidupan Kristus. Oleh karena itu, karya
Gereja sesungguhnya karya penginjilan.
Dan usaha yang keempat adalah follow up dari usaha yang ketiga,
terutama ketika dibentuk lembaga-lembaga
pekabaran injil. Kerja sama
dalam bidang pekabaran
injil ini kemudian
menghasilkan Lembaga Alkitab yang pertama, yaitu British and Foreign Bible Society [Lembaga Alkitab British dan Luar Negeri] tahun 1804.[33]
Puncak
dari seluruh jejak
usaha mempersatukan umat Kristen pada periode abad ke-19 adalah Konferensi
Pekabaran Injil Sedunia di Edinburg tahun 1910. Tahun inilah yang kemudian
diakui dan dipakai sebagai tanggal kelahiran gerakan ekumene. Dua orang pelopor
konferensi Edinburg adalah John Releigh Mott [1865-1955] dan Joseph H. Oldham [1874-1969], keduanya orang awam yang telah terlibat secara aktif
dalam gerakan penginjilan sejak di YMCA. Yang
menjadikan konferensi
Edinburg sebagai pilar penting dalam sejarah perkembangan gerakan ekumene ke depan
adalah karena konferensi itu melibatkan
lembaga-lembaga Pekabaran Injil di seluruh dunia. Catatan
kecil di sini ialah; gerakan ekumene tidak lagi dilihat sebagai usaha “orang perorangan” melainkan sebagai “Gereja-gereja”.[34]
Konferensi ini bertujuan membangun kerja sama antar Gereja-gereja Kristen di
daerah-daerah penginjilan, terutama mencari jalan keluar untuk menghilangkan konflik,
salah paham dan bermacam-macam denominasional
Gereja yang pada waktu itu sudah semakin parah. Gerakan ini
membuka diri juga bagi Gereja Katolik dan Gereja-gereja Timur, tetapi perhatian
utamanya ditujukan khusus mempersatukan Gereja-gereja Protestan.[35]
Konferensi ini menghasilkan tiga keputusan yang membuka jalan bagi gerakan
ekumene. Pertama, peserta merasakan
pentingnya gerakan penginjilan ke seluruh dunia. Kedua, berusaha membentuk dan mengembangkan Gereja nasional yang berdiri dalam mencukupi kebutuhan sendiri [self-supporting], mengatur diri sendiri [self-governing] dan mengembangkan diri [self-propagating]. Ketiga, menjalin kerja sama menciptakan keesaan Gereja [cooperation and unity].[36]
Akibat dari konferensi di Edinburg, lahirlah tiga badan yang kemudian menyatu dalam Dewan
Gereja-gereja Sedunia; International Missionary Council [1921-1961], Universal Christian Council for Life and Work [1910-1937] dan World Conference of Faith and Order
[1919-1937].[37]
1.2.1.1.
International Missionary Council (1921-1961).
Setelah konferensi di Edinburg, beberapa pimpinan Gereja menyusun program dan setelah mengadakan persiapan, maka pada
tahun 1921 membentuk satu badan yang diberi nama International Missionary Council [Dewan Pekabaran Injil Internasional]. IMC sendiri berpusat di London dan New York. Badan ini bukan kumpulan
orang perorangan, melainkan organisasi-organisasi kerja sama di bidang
Pekabaran Injil, seperti dewan-dewan Pekabaran Injil nasional yang mulai
didirikan sejak Edinburg. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kerja sama di
lingkungan umat Kristen dalam gerakan penginjilan.[38]
Badan ini menyelenggarakan pertemuan sebanyak tujuh kali, bertempat di Jenewa (1921), Yerusalam (1928), Madras (1938), Wihitby (1947), Willingen (1957), Ghana (1958), New Delhi (1981). Secara singkat dikatakan bahwa badan ini bergerak dalam
lapangan misi yang luas, mencakup dimensi sosial, ekonomi bahkan juga
politik, yang perlahan-lahan mengaburkan jiwa dan tujuannya sebagaimana tertuang
dalam konferensi IMC tahun 1921. Sehingga badan ini akhirnya secara resmi
menggabungkan diri dengan World Council of Churces tahun 1961.[39]
1.2.1.2. World
Conference of Faith and Order (1910-1937)
Setelah
konferensi di
Edinburg, beberapa pemimpin Gereja merasa perlu secara serius, aktif dan
konkret membicarakan tentang masalah teologi dan tata Gereja. Usaha ini
dipelopori oleh Charles H. Brent (1862-1929) seorang
Amerika yang menjabat uskup Episkopal di Filipina dan Barat New York. Charles mendorong Gerejanya sendiri untuk bertindak bagi
karya ekumene, dan kemudian membentuk
suatu panitia untuk mengundang Gereja-gereja ke dalam konferensi yang
diselenggarakan di Lausanne,
Swiss tahun 1927. Tujuan Faith and Order adalah untuk mencari jalan menuju keesaan Gereja. Masalah-masalah utama yang dibicarakan dalam konferensi
ini adalah mengenai eklesiologi, masalah tata Gereja, serta hubungan pejabat Gereja
dengan jemaat awam. Faith and Order
kemudian bekerjasama dengan gerakan Life and Work (Hidup dan Kerja). Kedua gerakan ini yang secara
formal kemudian membentuk Dewan Gereja-gereja se-Dunia pada tahun 1948 . Salah satu dokumen penting yang dihasilkan
oleh konferensi Faith and Order adalah Baptism,
Eucharist, and Ministry yang membicarakan mengenai baptisan, perjamuan
kudus dan pelayanan
dalam Gereja.[40]
Dokumen inilah yang kemudian mendasari banyak perjanjian pengakuan bersama
antar Gereja.
1.2.1.3. Universal
Christian Council for Life and Work (1919-1937)
Setelah konferensi Edinburg, beberapa
pemimpin Gereja merasakan perlunya
kebenaran Injil dapat dihayati dalam kehidupan masyarakat,
sehingga mereka mengadakan aksi
pelayanan di bidang kemasyarakatan. Tokoh penting
yang menjadi pelopor gerakan Life and Work adalah Nathan Soderblom, uskup besar dari Uppsala,
Swedia. Nathan menghendaki
sebuah karya penginjilan yang membumi agar
kebenaran-kebenaran injili dapat langsung dirasakan dan dihayati di
tengah-tengah masyarakat. Itu berarti setiap Gereja harus keluar dari keadaan
keterpecahan dan sikap acu-tak
acuh satu
sama lain, untuk bekerja sama menyelesaikan masalah-masalah
kemasyarakatan. Menurutnya,
“ajaran dapat memisahkan, tetapi kehidupan mempersatukan” [de leer verdeelt, maar het leven veernight].[41]
Pemikiran ini menjadi titik pangkal yang memprakarsai konferensi-konferensi
Life and Work.
Konferensi Life and Work yang pertama diadakan di Stockholm, Swedia (1925). Enam pokok
dibicarakan dalam konferensi ini, yakni tentang tugas dan kewajiban Gereja
dalam tata rencana keselamatan Allah, Gereja dan masalah-masalah ekonomi dan
industri, Gereja dan masalah-masalah sosial-moral, Gereja dan hubungan-hubungan
Internasional, Gereja dan pendidikan Kristen, serta langkah-langkah praktis
bagi kerja sama lembaga-lembaga Kristen.[42]
Setelah itu, konferensi Life and Work yang kedua dilaksanakan di Oxford (1937) dengan tema “Let the
Church be the Church” [semoga Gereja-gereja tetap bersatu]. Konferensi ini
membicarakan pokok-pokok tentang Gereja dan persekutuan, Gereja dan Negara,
Gereja dan Negara dalam hubungan dengan tata ekonomi, Gereja dan Negara dalam
hubungan dengan pendidikan, serta Gereja universal dan dunia
bangsa-bangsa. [perbincangan berkaitan
dengan , dan Utrecht (193).[43] Tujuan
Life and Work adalah untuk menyingkirkan
kecenderungan yang bersifat memecah belah demi membangun keesaan Gereja yang
nyata. Kerja sama praktis bukanlah sebuah jalan
yang gampang, tetapi harus segera diambil langkahnya mengingat hal itu
merupakan segi lain dari hakekat Gereja yang dipanggil untuk memperdamaikan dan
melayani dalam keesaan. Lembaga ini
berusaha mempersatukan pandangan dan pemikiran teologi,
serta arah pelayanan yang berdampak positif
bagi kesaksian Gereja terhadap dunia. [Catatan; bahwa gerakan ini sangat positif dan tepat, khususnya pada saat pemikiran
Marxisme dan Atheisme sedang naik daun, sehinga
kesatuan umat Kristen menjadi senjata yang ampuh untuk berapologi terhadap
pemikiran-pemikiran tersebut].
1.2.2. World
Council of Churches
[Dewan Gereja-gereja se-Dunia]
Di
atas telah disinggung tentang tiga badan yang meletakkan dasar bagi
terbentuknya DGD, namun
secara umum diterima Konferensi Pekabaran Injil di Edinburg sebagai yang
pertama-tama mendorong lahirnya DGD.
Faith and Order adalah gerekan yang timbul dari konferensi di Edinburg dan
mengabdikan diri pada usaha mempersatukan kembali berbagai aliran agama
Kristen. Life and Work adalah gerakan lainya yang meliputi hubungan iman
Kristen dengan masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi. Dan Dewan Pekabaran
Injil Internasional yang lebih langsung tumbuh dari konferensi di Edinburg. Tetapi secara formal Dewan
Gereja-gereja se-Dunia baru disetujui pembentukannya dalam pertemuan yang
diadakan oleh Faith and Order dan Life and Work tahun 1937. Setahun setelah rapat kecil itu,
diadakan konferensi di Utrecht tahun 1938 yang membuahkan sebuah naskah tata dasarnya bagi pembentukan
DGD. Namun karena alasan Perang Dunia II menunda peresmian dewan tersebut
selama sepuluh tahun lagi.[44] Dewan Gereja-gereja se Dunia [World Council of Churches] resmi didirikan di
Amsterdam, pada siding pertamanya tahun
1948. Hadir juga wakil dari Gereja
Ortodoks, sementara wakil resmi dari pihak Gereja Katolik tidak hadir.[45] Di bawah ini adalah daftar
konferensi-konferensi DGD yang pernah diadakan;
Konferensi
I di Amsterdam (1948) bertema "Kekacauan Manusia dan Rancangan
Allah".
Konferensi
VII di Canberra, Australia
(1991) bertema "Datanglah ya Roh Kudus, Perbaruilah Seluruh Ciptaan".
Konferensi
VIII di Harare Zimbabwe
(1999) bertema "Berbaliklah kepada Allah, Bersukacitalah di dalam
Pengharapan".
Konferensi
IX di Porto Alegre, Brasil
(2006) bertema "Ya Allah, di dalam Anugerah-Mu, Perbaruilah Dunia".[46]
Dewan
Gereja-gereja se-Dunia [DGD] bukan merupakan organisasi “Super Gereja”, melainkan sebagai lembaga kerja
sama yang berfungsi member nasihat-nasihan dan membina bagi karya Gereja di
tengah-tengah dunia. Lembaga ini tidak berkuasa untuk campur tangan dalam
hal-hal dasar suatu Gereja,
atau membuat peraturan bagi Gereja-gereja tanpa persetujuan mereka. Namun agar lembaga ini mempunyai peran yang
efektif, ia harus memperoleh respek dari Gereja-gereja dalam begitu rupa, sehingga orang-orang yang
paling berpengaruh di dalam kehidupan Gereja-gereja akan bersedia menyediakan waktu dan menyumbangkan
pikirannya untuk karyanya.[47] Tujuan DGD dapat dijabarkan sebagai berikut; Pertama adalah memanggil
Gereja-gereja kepada pencapaian kesatuan yang nampak jelas dalam satu iman dan persekutuan di dalam
Yesus Kristus. Kedua adalah membantu Gereja-gereja
dalam tugas penginjilan dunia
dan mewujudkan kepentingan bersama Gereja dalam pelayanan kebutuhan
manusia. Dan ketiga, merumuskan karya dari
pergerakan-pergerakan sedunia untuk lembaga Iman dan Tata Gereja, Hidup dan Karya, Dewan Pekabaran Injil, se rta Dewan Pendidikan Kristen
se-Dunia.[48]
Kesimpulan
Tujuan gerakan ekumene pertama-tama untuk membuka dinding-dinding pemisah
antar Gereja masing-masing demi Gereja Kristen bersatu. Untuk mengusahakan hal
ini Gereja harus memiliki arah dan tujuan yang jelas, jika tidak, maka bangunan
keesaan itu akan mudah terombang-ambing oleh perubahan dan kemajuan zaman.
Gerakan ekumene muncul dari kesadarah akan warisan yang satu dan sama, yaitu
pengakuan iman rasuli, sehingga perbaikan keadaan Gereja akibat perpecahan lahir dari
warisan Gereja Kuno ini.[49] Tetapi
terutama persatuan Kristen adalah
doa dan kehendak Yesus sendiri
kepada umat-Nya, “supaya mereka bersatu sama seperti Kita” (Yoh 17:11). Doa ini
mengungkapkan isi hati dan kerinduan Yesus agar orang-orang yang percaya
kepada-Nya bersatu. Campur tangan Roh Kudus pun selalu tepat dalam menjawab
kebutuhan-kebutuhan Gereja bagi usaha membangun keesaan Kristen.[50]
Bila
menelusuri sejarah perkembangan gerakan ekumene di atas, terutama usaha persatuan Kristen abad ke-19, maka
gerakan ekumene Protestan sejatinya didorong kepada
karya misioner Gereja. Para pelopor yang telah disebut namanya, bahkan mereka
yang dengan caranya sendiri-sendiri telah mengusahakan persatuaan Kristen, atas
keberadaan mereka di tengah-tengah sejarah gerakan
ekumene telah menjawab apa yang sebenarnya Allah tugaskan kepada
mereka. Allah memanggil dan memilih mereka untuk menyampaikan cinta kasih dan
kabar keselamatan Allah kepada bangsa-bangsa. Meskipun dalam cara pewartaan
yang masih tradisional, yang penting bagi mereka adalah mengabarkan injil di tengah-tengah
dunia yang mereka layani. Lembaga-lembaga misi pada abad ke-19 kebanyakan tidak
memiliki hubungan resmi dengan Gereja-gereja yang ada. Bagi
kelompok-kelompok Pietis pun
pelaksanaan karya misi tidak selalu terpaku pada lembaga konfensional tertentu
[Gereja negara, Gereja rakyat, bahkan Gereja formal, bukan menjadi syarat bagi karya misi yang efektif]. Mereka menjadi saksi-saksi injil di tengah-tengah dunia.[51]
Pandangan ini sejalan dengan apa yang disebut oleh Konsili Vatikan II tentang
tujuan gerakan ekumene sebagai usaha perwujudan karya misi Gereja, dimana di
dalamnya Gereja mengikuti jejak Kristus mewartakan sabda kebenaran
ditengah-tengah dunia dan melahirkan Gereja-gereja [AG 1].[52]
Misi tidak seharusnya dipersempit, hanya dalam konteks Gereja-gereja, karena
misi harus menyangkut manusia seutuhnya [EN 33].[53]
Meskipun mereka bisa taat pada panggilan Allah, namun ada kesadaran bahwa
lapangan misi begitu luas dan kompleks. Banyak tantangan di dalam karya misi
yang tak mampu bila hanya dipecahkan sendiri. Terutama ketika berjumpa dengan
kelompok-kelompok lain yang memiliki jiwa dan panggilan yang satu dan sama
dalam karya misi. Itulah sebabnya mereka harus saling merangkul, bertemu untuk
membangun kerja sama demi karya-karya misi yang lebih maju dan efektif. Mereka
melebur ke dalam lembaga-lembaga formal yang memungkinkan kerja sama pewartaan
injil itu berjalan. Inilah arah ekumene
itu, yaitu kesadaraan akan panggilan kepada persatuan dan kerja sama
orang-orang Kristen demi pelaksanaan karya misi Gereja. Gereja harus bersatu, karena itu merupakan
syarat mutlak bagi misi dan pekabaran injil.[54]
Persatuan Gereja terarah pada karya misi
Gereja, yaitu Confersio
Gentilium [Penobatan
Kaum Kafir], Plantatio Ecclesiae [Menanam Gereja) dan Gloria
et Manifestatio Gratiae Divinae (Kemuliaan dan Penanaman Kasih Allah)[55]
di tengah-tengah dunia.
[1] Bdk.
Drs. P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint: Oikumeneika
Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 10.
[2] Bdk.
Weinata Sairin, M.Th, Gereja, Agama-Agama
dan Pembangunan Nasional (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 81.
[3] Bdk.
Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan
Praktek Ekumene (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 11.
[4] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
hlm. XVII
[5] Bdk.
Ibid
[6] A.S.
Suhardi, “Apakah Arti Perkataan Ekumene”, dalam Hak Kerukunana, thn V. no. 26/27, MAWI, 1983), hal. 5
[7]Bdk. Ibid
[8]
Konsili adalah pertemuan dalam agama Kristen, yang biasanya diselenggarakan
untuk mengambil keputusan menyangkut masalah doktrin, administrasi atau
aplikasi. Sebuah konsili disebut
konsili ekumenis karena
merupakan pertemuan dari seluruh Gereja. Terdapat 21 konsili
ekumenis, namun menurut catatan Drs. P.K. Pilon secara resmi Konsili
Konstantinopel (381) merupakan yang pertama-tama disebut konsili ekumenis. Bdk.
Drs. P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint: Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1973), hlm. 11.
[9] Bdk.
Drs. P.K. Dilon, Ut Omnes Unum Sint:
Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 11.
[10] Bdk.
Ibid.
[11] Bdk.
Ibid, hlm. 12.
[12] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2010), hal. XVIII
[13] Bdk.
Drs. P.K. Dilon, Ut Omnes Unum Sint:
Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 13.
[14] Bdk.
Weinata Sairin, M.Th, Gereja, Agama-Agama
dan Pembangunan Nasional (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 82.
[15] Bdk.
Dr. Arie de Kuiper, Missiologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1972) hlm. 74.
[16] Bdk.
Drs. P.K. Dilon, Ut Omnes Unum Sint:
Oikumeneika Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 13.
[17] Bdk.
Dr. Josef Koningsmann, Gerakan dan
Praktek Ekumene (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 25.
[18] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2010), hal. XVIII.
[19] Bdk.
Timotius Kurniawan Sutanto, 3 Dimensi
Keesaan Dalam Pembangunan Jemaat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) hlm. 17.
[20]Bdk.
Thomas P. Rausch, Katolisisme: Teologi
Bagi Kaum Awam (Yogyakarta: Kanisius 2001), hlm. 353
[21] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta, BPK Gunung Mulia,2010), hal. 3
[22] Bdk.
Dr. Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1970), hlm. 295.
[23] Bdk.
Dr. Jan S. Aritongan & Dr. Chr. De Jonge, Apa Dan Bagaimana Gereja; Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009) hlm. 54
[24] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2010), hlm. 4.
[25] Bdk.
Ibid, hlm. 5
[26] Bdk.
Adolf Heuken, S.J, “Ekumene”, dalam Ensiklopedi
Gereja, jilid I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), hlm. 282.
[27] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2010), hlm. 5.
[28] Bdk.
Dr. Th. Van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1970), hlm. 296.
[29] Bdk.
Dr. Jan S. Aritongan & Dr. Chr. De Jonge, Apa Dan Bagaimana Gereja; Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009) hlm. 44.
[30]
Istilah Reformed yang sebenarnya
hanya berarti “yang direformasikan” dipakai untuk menujuk Gereja-gereja
Protestan yang memelihara tradisi Calvinisme, yaitu bentuk Protestan yang
dikembangkan oleh Yohanes Calvin di Jenewa. Dengan istilah Reformed
Gereja-gereja ini dibedakan dari Gereja-gereja Lutheran, Methodis dan
sebagainya. Sementara istilah Presbyterian(isme)
khususnya dipakai di dunia yang berbahasa Inggris) Bdk. Ibid, hlm. 45.
[31] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2010), hlm. 6.
[32] Bdk.
Ibid, hlm. 7.
[33] Bdk.
Ibid
[34] Bdk.
Dr. Th. Van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1970), hlm. 296.
[35] Bdk.
Frederiek Djara Wellem, “Konferensi Edinburg”,
dalam Kamus Sejarah Gereja (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006) hlm. 222.
[36] Bdk.
Ibid
[37] Bdk.
Dr. Th. Van den End, Harta Dalam Bejana
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1970), hlm. 296.
[38] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2010), hlm. 13.
[39] Bdk.
Ibid, hlm. 18
[40] Bdk.
Dr. Th. Van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1970), hlm. 296.
[41] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2010), hlm. 33.
[42] Bdk.
Ibid, hlm. 30.
[43] Bdk.
Ibid, hlm. 32.
[44] Bdk.
Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran
Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm. 272.
[45] Bdk.
P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint
(Jakarta: BPK Gunumg Mulia, 1975) hlm. 51.
[46] Bdk.
“Dewan Gereja-gereja se-Dunia” dalam http://id.wikipedia.org (diunduh pada
tanggal 28 Desember 2011 Pkl. 22.35 WITA)
[47] Bdk.
Ibid
[48] Bdk.
Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran
Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm. 273.
[49] Bdk.
Dr. Christiaan DeJonge, Menuju Keesaan
Gereja, (Jakarta, BPK Gunung Mulia,2010), hal. 4
[50] Bdk.
Dr. Richard Daulay, M.Th & Rahel Daulay, S.Th, “Bersatu Kita Teguh Bercerai
Kita Runtuh” dalam Firman Hidup 70
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) hlm. 56.
[51] Bdk.
Dr. Arie de Kuiper, Missiologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1972) hlm. 75.
[52] Bdk.
Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Missiologi
(Yogyakarta: Kanisuis, 2002) hlm. 174.
[53] Bdk.
Ibid, hlm. 175.
[54] Bdk.
Dr. Richard Daulay, M.Th & Rahel Daulay, S.Th, “Bersatu Kita Teguh Bercerai
Kita Runtuh” dalam Firman Hidup 70
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) hlm. 56.
[55] Bdk.
Dr, Eka Darmaputra, Struggling In Hope;
Bergumul dalam Pengharapan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hlm. 146.
Oikumene kok bisa berubah jadi ekumene ya....
BalasHapus