TRITUNGGAL
(Oleh: Vitalis Letsoin)
Tritunggal dalam
Refleksi Para Bapa-Bapa Gereja
Refleksi
Patristik atas Allah Tritunggal amatlah kompleks dan bervariasi. Namun sebagai
kesaksian iman dalam bagian ini akan diuraikan beberapa Bapa Gereja yang cukup
menentukan perjalanan refleksi pengakuan iman akan Tritunggal dalam teologi dan
kehidupan umat beriman. Secara berurutan akan ditelusuri refleksi yang
diwariskan oleh Tertulianus, Origenes, Gregorius dari Nissa, Hilarius dari
Poitiers, Agustinus dan Dionisius Aeropogita.
1. Tertulianus
Tertulianus
memberikan sumbangan yang besar dalam dogma Allah Tritunggal. Namun demikian
tak dapat diharapkan daripadanya suatu formula yang defenitif dan lengkap serta
tanpa kelemahan dalam hubungan dengan misteri iman yang agung itu.
Sumbangan
yang sangat besar ketikan ia mengintrodusir melalui refleksinya beberapa
ungkapan linguistik seperti substansi,
natura serta persona yang dikemudian hari membuat Agustinus sampai pada rumusan
yang defenitif.
Ajaran
Tertulianus tentang Trinitas menandai suatu langkah penting dalam peralihan
dari suatu cara pemahaman kosmologis dari Trinitas, menuju kepada pemahaman
psikologis atau antropologis. Hal itu menjadi kentara melalui konsep tentang
pengutusan Sabda dan Roh Kudus.
Pembaharuannya
yang lebih mendalam sehubungan dengan refleksi teologis atas Trinitas terdapat
dalam Adversus Praxeam. Karnyanya tersebut ditulis ketika ia telah memisahkan
diri dari Gereja Katolik dan bergabung dengan Montanisme.[1]
Karya tersebut memberi pengaruh besar bagi seluruh Gereja. Dalam buku tersebut
sesundah mengingatkan bahwa rumusan pengakuan iman (refula fidei) berbicara
tentang Bapa, Putera dan Roh Kudus maka Tertulianus menjelaskan dimana letaknya
kesatuan dan perbedaan dari tiga kenyataan ilahi itu. Kita katakan bahwa Bapa,
Putera dan Roh Kudus adalah tiga, namun tak menyangkut keadaan intrinsik
(status) dari Ketiga-Nya atau posisi dalam dirinya; tetapi menyangkut peranaan
(gradus) yang mereka jalankan; tidak dalam substansi (substantia), tetapi cara
menyatakan diri (forma); bukan dalam
kuasa (potestas) tetapi dalam cara melaksanakan atau menggunakannya: sambil
tetap tinggal satu substansi, satu kuasa, satu kondisi intrinsik, sebab Allah
adalah satu.[2]
2. Origenes
Adamanzius (185-250)
Berbeda
dengan kebanyakan Teolog yang mendekati
misteri allah dengan terlebih dahulu berusaha membuktikan ada-nya Allah
maka Origenes membiarkan hal tersebut dan memusatkan perhatiannya pada soal
hakikat Allah. Hal itu disebabkan oleh kenyataan pada zamannya ateisme
merupakan suatu yang jarang dan Celsius sang penantangnya yang utama bukan juga
seorang ateis.
Bagi Origenes Allah adalah Bapa,
Putera dan Roh Kudus. Sehubungan dengan Trinitas Origenes dalam pembicaraannya
mebuat perbedaaan yang jelas antara pokok-pokok yang secara pasti menjadi
pengakuan iman dan ajaran resmi Gereja dengan hal-hal yang menjadi pokok
perdebatan dalam diskusi.
Menurut dia hal-hal yang merupakan
pengakuan iman dan menjadi ajaran resmi Gereja yakni perbedaan dari tiga
pribadi yang ia sebut ‘hypostasis’
dan keesaan mereka dalam substansi atau consubstansialitas
(homoousios) dan ‘contemporaneitas’. Allah menjadi nyata
dalam tiga pribadi (hypostaseis):
Bapa, Putera dan Roh Kudus.[3]
Ketiganya adalah kekal, bahkan mengatasi dan mejelajai kekekalan itu sendiri.
Ketiganya melaumpaui kekekalan, Tirinitas yang unik ini melaumpaui setiap ide
baik yang bercorak historis maupun yang abadi, sementara semua yang berada di
luar Trinitas perlu dibicarakan atau ditempatkan dalam batas atau dalam waktu.
Mengenai kekhasan setiap pribadi
Origenes merinci bahwa Bapa yang tak terlahirkan, hanya Dia yang tak dilahirkan
(eghennetos). Kita mengimani bahwa tak seorangpun yang tak dilahirkan kecuali
Bapa. Semua kualitas, semua kepenuhan, dan semua kuasa pertama-tama adalah
kepunyaan Bapa dan kemudian juga dari dua pribadi yang lain, namun pada Bapa
semua itu menjadi kualitas pribadi dari Putera namun bukan saja tidak
kehilangan pengetahuan tersebut tetapi dalam hal ‘mengenal’ Ia lebih dari Putera, sehingga
Bapa mengenal diri-Nya sendiri atas cara yang leih murni dan sempurna dari yang
dikenal oleh Putera. Baik Putera maupun
Roh Kudus berasal dari Bapa namun atas cara yang berbeda.
Untuk melukiskan tampilnya Putera
keluar dari haribaan Bapa Origenes menggunakan istilah “kelahiran”, gennao
(generatio), namun merupakan suatu kelahiran yang khusus dibandingkan
dengan kelahiran mahluk hidup lainnya
yang terjadi berkat peranaan ‘ materi’. Kelahiran Putera dari Bapa (lepas dari
setiap bayang-bayang kejasmanian (corporeitas). Kami menegaskan bahwa dari yang
tak kelihatan dan tanpa jasat telah dilahirkan sang sabda dan Kebijaksanaan,
tanpa afeksi jasmani, bagaikan munculnya kehendak keluar dari intelegensi.
Origenes berbicara tentang suatu kelahiran yang sepenuhnya rohani, sama seperti
kegiatan intelegensi adalah sepenuhnya rohani ketika ia menggerakkan atau
melahirkan kehendak. Dalam kelahiran Putera essensi dari Bapa tidak berubah
atau berkurang,dan dalam waktu yang sama terdapat keesaan hakikat sepenuhnya
antara Bapa dan Putera. Tak layak dan bukan tanpa resiko juka karena kelemahan
pribadi, kita berusaha memisahkan Bapa, Sabda Tunggal yang ada dalam Dia sejak
kekal dan menceraikan Allah dari Kebijaksanaan yang untuk-Nya Ia bersukacita
(Ams 8:30), hal itu bisa membuat kita berpikir bahwa Allah itu tidak selalu
gembira.
Selanjutnya
Origenes menjelaskan bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa, juga menghubungkan asal
Roh Kudus dari Putera: Ia adalah yang pertama dari segala sesuatu yang berasal
dari Bapa dengan Perantaraan Putera. Namun ia tidak memberi penjelasan
bagaimana hal itu terjadi.
Menyangkut
tampilnya Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra Origenes kurang sistematis dan
agak kabur. Hal itu terjadi karena pada
masa itu belum terdapat penegasan resmi dari Gereja sehubungan dengan
identitas Roh Kudus sendiri. Yang pasti
menurut dia, Roh Kudus itu tidak diciptakan. Roh Kudus itu sehakikat
dengan Bapa dan Putera; nyatanya setiap orang yang ambil bagian dalam Roh Kudus
berarti bersatu dengan Bapa dan Putera; sebab dalam kenyataannya Sang Trinitas
adalah satu saja dan tanpa jasad.
3.
Gregorius
dari Nissa (Kaisarea di Kapadokia 335-395)
Bersama
dengan Basilius dari Nasianse ia menyumbang suatu point menentukan dalam
sentuhan ahkir dalam perumusan teologi Allah Tritunggal. Secara eksplisit ia
menegaskan kesatuan hakekat Roh Kudus dengan tiga pribadi lainnya dan
memaklumkan keilahian-Nya. Untuk penegasan itu ia mengemukan argumen berikut.
Penyempurnaan jiwa Kristiani yang berpucak dalam pengilahiannya adalah karya
Roh Kudus. Roh Kudus sendiri tak akan mampu mengerjakan hal tersebut jika Ia
sendiri bukanlah Allah. Roh Kudus sehakikat dengan Bapa dan Putera. Ia dari zat
yang sama. Semua karya yang dikenakan
oleh Kitab Suci kepada Roh Kudus mengandaikan bahwa Fia itu Allah, dan dalam
keadaan-Nya yang demikian Ia mendapat penghormatan yang sama seperti Bapa dan
Putera. Martabat Ilahi dari Roh Kudus dipahami secara khusus untuk mengamankan
‘monarhia’ dari Bapa. Sebagai
penjelasan dari pemahamannya itu Gregorius membuat perbandingan dengan sebuah
lampu yang mengobarkan nyala dan menyebarkan cahaya kepada lampu lain; dan
melalui kedua kepada yang ketiga: begitulah Bapa bersinar secara abadi dalam
Roh Kudus melalui Putera. Atau ia membuat perbandingan dengan sebuah sumber
tenaga; daya itu sendiri dan semangat dari kuasa itu. Dalam hal ini logos
menjadi intermediator antara Bapa dan Roh Kudus. Roh Kudus berasal dari Bapa
dan menerima asal-Nya dari Putera, sehingga disebut Roh Allah dan Roh Kristus.
Hal itu mempunyai dampak adanya ketergantungan Roh Kudus dan Outera sehubungan
dengan ada-Nya dalam ekonomia.
Hubungan ketergantungan macam manakah yang dimaksudkan? Hubungan ketergantungan
Roh Kudus dari Putera tidak terletak pada tatanan ‘penyebab efisien’ (causa efficiens) karena tatanan tersebut merupakan kekhasan dari Bapa. Pada ahkir dari
buku I tentang Contra Eunomium Gregorius menegaskan bahwa Sang Putera
senantiasa bersama Bapa dan yang sama harus dikatakan tentang Roh Kudus (hanya
berbeda dalam urutan atau taxis) sebab
sebagaimana putera bersatu dengan Bapa menerima keberadaan dari pada-Nya (ex
autou), tanpa secara temporal harus menjadi yang kemudian sebagai ‘hipostasis’, begitu juga Roh Kudus dalam
hubungan-Nya dengan Putera Tunggal: sebagai ‘hipostasis’ Putera Tunggal
dikandung sebelum Roh Kudus semata-mata dalam hubungan dengan causa (yakni
Bapa).[4]
Bagi Gregorius, terdapat ketergantungan dari Roh Kudus pada Putera selain dari
Bapa sendiri, namun bukan ketergantungan pada tatanan ‘causa efficient’ principil (yang merupakan kekhasan Bapa) tetapi
pada tatanan causa efficien ‘mediale’ atau ‘instrumental’ dan “sekunder’.
Pemahaman seperti ini menjadi latarbelakang mengapa Gregorius dan bapa-bapa
Gereja Timur lainnya tidak bisa menerima rumusan “Filioque” sejauh formula tersebut memberi kesan bahwa Bapa dan
Putera berada pada tingkatan yang sama dalam hal sebagai “causa effien” bagi tampilnya Roh Kudus. Menurut Gregorius Roh
Kudus tidak tampil keluar dari Bapa dan dari Putra, melainkan dari Bapa dengan
perantaraan Putera.
4. Hilarius
dari Poitiers[5]
Sehubungan
dengan misteri Allah Tritunggal Hilarius memusatkan refleksinya pada soal ‘kesamaan’
atau ‘keesaan’ (ugualitas) antara Bapa dan Putera. Sesudah membuat eksplorasi
mengenanai hakikat Allah secara umum, Hilarius melanjutkan refleksinya atas
misteri pribadi Ilahi. Ia membuat suatu
refleksi yang sangat luas dan mendalam meliputi sebelas buku De Trinitate.
Tujuan karyanya tidak lain dari pada merumuskan dengan persis dalam formula
yuang aman misteri iman yang murni dan tanpa cemar yakni misteri Allah
Tritunggal.
Dengan
berpegang teguh pada metode positif yang dianutnya, sambil secara terus menerus
menimbah semata-mata dari sumber biblis, ia membela dogma katolik menurut
rumusan Nicea, serentak juga ia menghantam dan merobohkan dengan sengatan yang
berbisa semua bantahann yang dikemukakan oleh para pendukung Arius yang menolak
kesamaan dari pribadi ilahi, secara khusus antara Bapa dan Putera. Ia secara
sintesis merangkum kekeliruan para pendukung Arius. Mereka menyangkah bahwa
Sang Sabda dapat dipisahkan dari satu Allah yang benar, dengan menempatkan
konsep penciptaan dan iman akan hal itu sebagai ganti dari pemahaman sajati
tentang kelahiran sehingga sebagai ciptaan Sang Sabda dengan sindirinya tidak
menuntut bagi diri-Nya kesempurnaan Ilahi, sebab dalam kenyataan sehubungan
dengan tampilnya Sang Sabda keluar dari Bapa tidak pernah terjadi suatu
kelahiran ilahi dalam arti sesungguhnya. Untuk mendukung tesis tersebut para
penganut Arianisme mengemukakan dua rangkauan argumentasi. Pertama bercorak
filosofis mereka menonjolkan bahwa tidak mungkin mengakui keilahian Putera
tanpa resiko jatuh ke dalam politeisme. Kedua argumen biblis, berupa satu
daftar panjang kutipan Kitab Suci Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Sang Putera
itu adalah inferior Bapa.
Berhadapan
dengan argumen kontra yang dikemukan oleh pengikut Arius, Hilarius mengatakan
bahwa berdasarkan kesaksian yang diberikan dalam teks para nabi dan para
penginjil kami dengan penuh keprihatinan mengobrak-abrik ketidaktahuan yang
tidak sehat dari mereka yang menopang keesaan Allah, yang merupakan maksud baik
dan suci, menyangkal kenyataan bahwa Kristus yang lahir adalah Allah atau
dengan memandang Dia bukanlah Allah yang benar.
Mereka berpendapat bahwa penciptaanj suatu ciptaan penuh kuasa menjamin kemurniaan iman akan keesaan Allah.
Menurut mereka jkika kita menerima bahwa
Allah telah dilahirkan maka hal utu akan menjauhkan kesalehan kaum beriman dair
pengakuan iman akan satu Allah. Namun kami setelah dituntun oleh ajaran Ilahi,
tak pernah mengakui adanya dua Allah, juga kami tidak pernah mengenal adanya
satu Allah yang soliter dalam mengakui iman akan Allah Bapa dan Allah Putera
kami mengemukakan kebenran yang terdpa
tdalam teks injil dan para nabi. Merkea menunjukkan bahwa dalam iman kita,
diakui bahwa ‘yang satu dan yang lain’ mereka adalah satu dalam hakikat jadi
bukannya satu dalam pribadi. Kita tidak menerima bahwa yang satu dan yang lain
adalah pribadi yang sama, kita kuga tidak menerima bahwa Kristus adalah sautu
mahluk yang ada diantara (intermedia) Allah yang benar dan yang tidak benar,
sebab refleksi Hilarius tentang Roh Kudus ia dasarkan di atas konsep ‘anugerah’ (donum) yang ia pandang
sebagai sapaan khas buat pribadi ilahi yang ketiga, Roh Kudus. Ia sendiri
menolak dengan tegas pandangan para penganut arianisme dan pneumatomachi yang
menganggap Roh Kudus sebagai ciptaan.
Ada
dua sumbangan penting dari Hilarius yang pantas dicatat sehubungan dengan
perkembangan refleksi teologis tentang Trinitas. Pertama, ia telah
memperkenalkan suatu langgam teologis, dengan mengadaptasi ke dalam bahasa
latin istilah-istilah teknis yang telah disasa oleh bapa-bapa gereja yunani
dari abad ketiga dan keempat. Yang kedua ia telah membuat langkah terahkir
dalam memajukkan cara memberi ilustrasi mengenai dogma triniter terutama
menyangkut keesaan atay kesatuan hakikat antara Bapa dan Putera. Selain itu
telah menyatuhkan dan membangun dasar bagi hubungan antara teologi latin
sebelum Nicea dengan teologi Yunani sesuadah Nicea. Usaha itu bermuara dalam
sebuah sintese dengan kekayaan yang istimewa yang sekaligus sangat pribadi dan
orisinil.
5.
Augustinus
dari Hippo
Pada
zaman Agustinus refleksi misteri Allah Tritunggal diliputi oleh banyak hak yang
membinggungkan. Refleksi pada tatanan teoritis yang sudah ditandai oleh banyak
kesulitan masih ditambah lagi dengan komplikasi sehubungan dengan bahasa. Hal
itu terjadi karena langgam bahasa yang digunakan di lingkungan Yunani untuk
membicarakan misteri Trinitas banyak kali berbeda dengan yang dipakai dalam
lingkungan Latin.
Dalam bukunya De Trinitate ia
menjelaskan ‘identitas’ Allah Tritunggal dan relasi dari pribadi ilahi. Pada
bagian pertama Agustinus menggumuli hal kesempurnaan (kebersahajaan) absolut
Allah dan pada bagian kedua memberi jaminan yang mengamankan perbedaan ketiga
pribadi Ilahi melalui ajarannya mengenai relasi. Allah dalam kodrat-Nya adalah
tunggal dan sempurna secara absolut dan dari kenyataan itu baru menyusul
identitas dari pribadi-pribadi dengan kodrat ilahinya, yang satu sebagai
Trinitas. Kenyataan itu juga mendajdi dasar kesamaan dari ketiga pribadi Ilahi
dan ciri khas masing-masing dalam operasi ad extra seperti penciptaan, konsepsi
dari Yesus dalam rahim St. Perawan Maria dan theofania dalam PL. Ketiganya identik
secara sempurna pada tatanan kodrati atau sehakekat dengan kesempurnaan
absolut, ketiganya berbeda dalam tatanan relasi. Menurut Agustinus, Identitas
Bapa terletak dalam status relasinya sebagai Bapa, sedangkan identitas Putera
terletak dalam hal diperanakan (dilahirkan), sementara identitas Roh Kudus
terletak dalam hal penganugerahan
(adalah pemberian timbal balik antara Bapa dan Putera). Relasi-relasi tersebut
sungguh real dan karena itu membutuhkan perbedaan real pula dalam
istilah-istilah yang menyatakan hal tersebut. Bapa bukanlah Putera, dan Putera
bukanlah Bapa begitu juga halnya dengan
Roh Kudus. Ketiganya tak berubah, subsisten, dan degan berada secara simultan
maka ketiga pribadi Ilahi adalah kekal. Sang Putera tak mulai berada sebagai
Anak pada saat tertentu, Ia telah ada sebagai Putera sejak kekal; demikian
halnya dengan Bapa, Ia tak pernah mulai berada sebagai Bapa pada kesempatan
tertentu, Ia ada sebagai Bapa sejak kekal. Hal yang sama juga harus dikatakan
sehubungan dengan Roh Kudus. Jadi biar berbeda ‘hal ada’ sebagai Bapa dan
Putera serta Roh Kudus namun antara ketiganya tidak ada perbedaan hakikat.
Dalam De Trinitate ia menjelaskan
‘identitas’ Allah Tritunggal dan ‘relasi’dari pribadi-pribadi Ilahi menurut
satu pendekatan psikologis[6]
dengan misteri Trinitas direnungkan berdasarkan ‘analogi’ daya rohani manusia: ingatan,
budi dan kehendak. Ketiganya walaupun secara jelas berbeda namun membentuk satu substansi jiwa
rohani manusia. Tentang ibarat itu sendiri Agustinus mengingatkan bahwa dari
dirinya sendiri tak akan membuat manusia mengenal Allah Tritunggal. Karena
itu mereka yang dalam hidup ini mencoba
memandang Trinitas melalui cermin tersebut bukan mereka yang memahami dalam Roh
ketiga daya tersebut, hanya mereka yang melihat dalam jiwa rohaninya sebagai
gambar untuk dapat menunjuk kepada yang mereka lihat, atau menunjuk kepada Dia
yang jiwa rohani mereka merupakan gambarnya, mereka itulah melalui gambarnya
bisa memandang Allah secara samar-samar karena belum bisa memandang-Nya dari
muka ke muka.
[1] Monatanisme merupakan gerakan kebangkitan
rohani yang dipelopori oleh Montanus, seorang kafir yang bertobat dan lalu
menjadi imam di Phrigia (sekarang Turki) pada abad kedua dan mendapat banyak
pengikut termasuk Tertulianus. Montanus mewartakan ahkir dunia dan memandang
kegiatan para nabi dan nabiah ekstatik sebagai tanda-tanda ahkir zaman. Gaya
hidupnya yang asketis, melarang pernikahan kembali orang yang pasangannya yang
sudah meninggal, dan mewajibkan praktek puasa yang ketat. Di kemudian hari
Montanus memandang dirinya sebagai penjelmaan Roh Kudus. Tata kelembagaan
direndahkan. Hal ini tampak dalam pelayanan sakramen-sakramen yang
semau-maunya. Karena itu, gerakan ini dikutuk Gereja. “Montanisme” dalam Gerald
O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus
Teologi (Jogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 208.
[2] Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, hlm.135.
[3] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, hlm.272.
[4] Dalam usahanya untuk memperjelas hal ini
Gregorius mengatakan “jika kami dituduh mencampuradukan dan mengacaukan
hypostaseis berdasar kenyataan bahwa kami tidak membuat perbedaan sehubungan
dengan kodrat (physis), maka kami menjawab: dengan mengakui kodrat Ilahi tanpa
perbedaan atau variasi, kami tidak menyangkal suatu perbedaan sehubungan
dengankeadaan dari ‘penyebab’ dan yang ‘disebabkan’ (kata tin aition kai aitiation). Hanya dengan cara demikian kita
dapat mengerti bagaimana ‘yang satu’ bisa berbeda dari ‘yang lain’: ‘satu hal’
ada sebagai ‘penyebab’ sementara ‘lain hal’ juga ‘ yang disebabkan’. Kemudian
dalam ‘yang disebabkan’ itulah kita menemukan suatu distingsi baru antara yang
‘muncul secara langsung’ (prisehos) dari Yang Pertama dan dia yang muncul
melalui pengataraan dari yang langsung muncul dari yang pertama. Dengan demikian
berada sebagai “Putera Tunggal” tinggal tetap sebagai kenyataan khas dari
Putera, dan dari lain pihak tak ada keraguan bahwa Roh Kudus adalah ‘dari
Bapa’, hal itu mungkin sejauh posisi mediale dari Putera menjadimin serentak
keistimewaan sebagai “Putera Tunggal” dan menjamin Roh Kudus tak kehilangan
hubungannya yang natural dengan Bapa.
[5] Hilarius lahir di Poitiers di Galia,
sekitar tahun 315. Ia merupakan salah satu bintang paling cemerlang dari
periode patristik latin dan menjadi salah satu palu godam yang menghancurkan
pengaruh arianisme di lingkungan Gereja barat. Hilarius merupakan orang pertama
dari bapa-bapa Gereja latin yang membuat refleksi atas dogma Allah Tritunggal
sesudah polemik dengan Arius memaksa bapa-bapa Gereja timur untuk mendalami dan
merumuskan secara baru kebenaran iman Kristen. Selama masa pembuangannnya di
Asia Kecil ia mendapat kesempatan menimbah secara langsung dari sumber-sumber
yang berbahasa dan berbudaya Yunani baik yang Ortodoks maupun yang heretik,
demikianlah ia menjadi yang terbaik dari
semua penulis di lingkungan latin dan memberi penyajian yang tepat dan terbaru
menurut ortodoksia sehubungan dengan
dogma Allah Tritunggal. Hal tersebut tepatnya ia buat dengan menulis De
Trinitate, karya Teologis pertama dengan wawasan yang luas ditulis dalam bahasa
Latin.
[6]“Teologi Tritunggal” dalam Gerald O’Collins
dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Jogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm.328.
Dalam Injil Markus 12 : 28 - 31 Yeshua ( nama Ibrani Yesus dengan ejaan ישוע/ Yod - Shin - Vav - Ayin ) menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat atau Soferim ( ספרים ) dengan menyebutkan Shema Yisrael dan Ve'ahavta sebagai hukum yang paling utama.
BalasHapusAksara Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד ואהבתא את יהוה אלהיך בכל לבבך ובכל נפשך ובכל מאדך ואהבתא לרעך כמוך. "
Pengucapannya menurut peraturan tata bahasa Ibrani, "
Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad. Ve'ahavta et YHWH ( Adonai ) Eloheikha bekol levavkha uvkol nafsheka uvkol meodekha ve'ahavta lereakha kamokha. "
Terjemahan, " Dengarlah, hai orang Israel: YHWH ( Adonai ) Elohim kita, YHWH ( Adonai ) itu esa. Dan kasihilah YHWH ( Adonai ) Elohimmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. "
( Imamat 19 : 18, Ulangan 6 : 4 - 5, Matius 22 : 37, Markus 12 : 29 - 31, Lukas 10 : 27 )
Tuhan memberkati. 🕎✡🐟✝🕊📖🇮🇱