Rabu, 08 Februari 2012

TRITUNGGAL

TRITUNGGAL
(Oleh: Vitalis Letsoin)

Tritunggal dalam Refleksi Para Bapa-Bapa Gereja
Refleksi Patristik atas Allah Tritunggal amatlah kompleks dan bervariasi. Namun sebagai kesaksian iman dalam bagian ini akan diuraikan beberapa Bapa Gereja yang cukup menentukan perjalanan refleksi pengakuan iman akan Tritunggal dalam teologi dan kehidupan umat beriman. Secara berurutan akan ditelusuri refleksi yang diwariskan oleh Tertulianus, Origenes, Gregorius dari Nissa, Hilarius dari Poitiers, Agustinus dan Dionisius Aeropogita.

1.      Tertulianus
Tertulianus memberikan sumbangan yang besar dalam dogma Allah Tritunggal. Namun demikian tak dapat diharapkan daripadanya suatu formula yang defenitif dan lengkap serta tanpa kelemahan dalam hubungan dengan misteri iman yang agung itu.
Sumbangan yang sangat besar ketikan ia mengintrodusir melalui refleksinya beberapa ungkapan linguistik seperti substansi, natura serta persona yang dikemudian hari membuat Agustinus sampai pada rumusan yang defenitif.
Ajaran Tertulianus tentang Trinitas menandai suatu langkah penting dalam peralihan dari suatu cara pemahaman kosmologis dari Trinitas, menuju kepada pemahaman psikologis atau antropologis. Hal itu menjadi kentara melalui konsep tentang pengutusan Sabda dan Roh Kudus.
Pembaharuannya yang lebih mendalam sehubungan dengan refleksi teologis atas Trinitas terdapat dalam Adversus Praxeam. Karnyanya tersebut ditulis ketika ia telah memisahkan diri dari Gereja Katolik dan bergabung dengan Montanisme.[1] Karya tersebut memberi pengaruh besar bagi seluruh Gereja. Dalam buku tersebut sesundah mengingatkan bahwa rumusan pengakuan iman (refula fidei) berbicara tentang Bapa, Putera dan Roh Kudus maka Tertulianus menjelaskan dimana letaknya kesatuan dan perbedaan dari tiga kenyataan ilahi itu. Kita katakan bahwa Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah tiga, namun tak menyangkut keadaan intrinsik (status) dari Ketiga-Nya atau posisi dalam dirinya; tetapi menyangkut peranaan (gradus) yang mereka jalankan; tidak dalam substansi (substantia), tetapi cara menyatakan diri (forma); bukan dalam kuasa (potestas) tetapi dalam cara melaksanakan atau menggunakannya: sambil tetap tinggal satu substansi, satu kuasa, satu kondisi intrinsik, sebab Allah adalah satu.[2]

2.      Origenes Adamanzius (185-250)
Berbeda dengan kebanyakan Teolog yang mendekati  misteri allah dengan terlebih dahulu berusaha membuktikan ada-nya Allah maka Origenes membiarkan hal tersebut dan memusatkan perhatiannya pada soal hakikat Allah. Hal itu disebabkan oleh kenyataan pada zamannya ateisme merupakan suatu yang jarang dan Celsius sang penantangnya yang utama bukan juga seorang ateis.
            Bagi Origenes Allah adalah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Sehubungan dengan Trinitas Origenes dalam pembicaraannya mebuat perbedaaan yang jelas antara pokok-pokok yang secara pasti menjadi pengakuan iman dan ajaran resmi Gereja dengan hal-hal yang menjadi pokok perdebatan dalam diskusi.
            Menurut dia hal-hal yang merupakan pengakuan iman dan menjadi ajaran resmi Gereja yakni perbedaan dari tiga pribadi yang ia sebut ‘hypostasis’ dan keesaan mereka dalam substansi atau consubstansialitas (homoousios) dan ‘contemporaneitas’. Allah menjadi nyata dalam tiga pribadi (hypostaseis): Bapa, Putera dan Roh Kudus.[3] Ketiganya adalah kekal, bahkan mengatasi dan mejelajai kekekalan itu sendiri. Ketiganya melaumpaui kekekalan, Tirinitas yang unik ini melaumpaui setiap ide baik yang bercorak historis maupun yang abadi, sementara semua yang berada di luar Trinitas perlu dibicarakan atau ditempatkan dalam batas atau dalam waktu.
            Mengenai kekhasan setiap pribadi Origenes merinci bahwa Bapa yang tak terlahirkan, hanya Dia yang tak dilahirkan (eghennetos). Kita mengimani bahwa tak seorangpun yang tak dilahirkan kecuali Bapa. Semua kualitas, semua kepenuhan, dan semua kuasa pertama-tama adalah kepunyaan Bapa dan kemudian juga dari dua pribadi yang lain, namun pada Bapa semua itu menjadi kualitas pribadi dari Putera namun bukan saja tidak kehilangan pengetahuan tersebut tetapi dalam hal  ‘mengenal’ Ia lebih dari Putera, sehingga Bapa mengenal diri-Nya sendiri atas cara yang leih murni dan sempurna dari yang dikenal oleh Putera. Baik Putera maupun  Roh Kudus berasal dari Bapa namun atas cara yang berbeda.
            Untuk melukiskan tampilnya Putera keluar dari haribaan Bapa Origenes menggunakan istilah “kelahiran”, gennao (generatio), namun merupakan suatu kelahiran yang khusus dibandingkan dengan  kelahiran mahluk hidup lainnya yang terjadi berkat peranaan ‘ materi’. Kelahiran Putera dari Bapa (lepas dari setiap bayang-bayang kejasmanian (corporeitas). Kami menegaskan bahwa dari yang tak kelihatan dan tanpa jasat telah dilahirkan sang sabda dan Kebijaksanaan, tanpa afeksi jasmani, bagaikan munculnya kehendak keluar dari intelegensi. Origenes berbicara tentang suatu kelahiran yang sepenuhnya rohani, sama seperti kegiatan intelegensi adalah sepenuhnya rohani ketika ia menggerakkan atau melahirkan kehendak. Dalam kelahiran Putera essensi dari Bapa tidak berubah atau berkurang,dan dalam waktu yang sama terdapat keesaan hakikat sepenuhnya antara Bapa dan Putera. Tak layak dan bukan tanpa resiko juka karena kelemahan pribadi, kita berusaha memisahkan Bapa, Sabda Tunggal yang ada dalam Dia sejak kekal dan menceraikan Allah dari Kebijaksanaan yang untuk-Nya Ia bersukacita (Ams 8:30), hal itu bisa membuat kita berpikir bahwa Allah itu tidak selalu gembira.
Selanjutnya Origenes menjelaskan bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa, juga menghubungkan asal Roh Kudus dari Putera: Ia adalah yang pertama dari segala sesuatu yang berasal dari Bapa dengan Perantaraan Putera. Namun ia tidak memberi penjelasan bagaimana hal itu terjadi.
Menyangkut tampilnya Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra Origenes kurang sistematis dan agak kabur. Hal itu terjadi karena pada  masa itu belum terdapat penegasan resmi dari Gereja sehubungan dengan identitas Roh Kudus sendiri. Yang pasti  menurut dia, Roh Kudus itu tidak diciptakan. Roh Kudus itu sehakikat dengan Bapa dan Putera; nyatanya setiap orang yang ambil bagian dalam Roh Kudus berarti bersatu dengan Bapa dan Putera; sebab dalam kenyataannya Sang Trinitas adalah satu saja dan tanpa jasad.

3.      Gregorius dari Nissa (Kaisarea di Kapadokia 335-395)
Bersama dengan Basilius dari Nasianse ia menyumbang suatu point menentukan dalam sentuhan ahkir dalam perumusan teologi Allah Tritunggal. Secara eksplisit ia menegaskan kesatuan hakekat Roh Kudus dengan tiga pribadi lainnya dan memaklumkan keilahian-Nya. Untuk penegasan itu ia mengemukan argumen berikut. Penyempurnaan jiwa Kristiani yang berpucak dalam pengilahiannya adalah karya Roh Kudus. Roh Kudus sendiri tak akan mampu mengerjakan hal tersebut jika Ia sendiri bukanlah Allah. Roh Kudus sehakikat dengan Bapa dan Putera. Ia dari zat yang sama.  Semua karya yang dikenakan oleh Kitab Suci kepada Roh Kudus mengandaikan bahwa Fia itu Allah, dan dalam keadaan-Nya yang demikian Ia mendapat penghormatan yang sama seperti Bapa dan Putera. Martabat Ilahi dari Roh Kudus dipahami secara khusus untuk mengamankan ‘monarhia’ dari Bapa. Sebagai penjelasan dari pemahamannya itu Gregorius membuat perbandingan dengan sebuah lampu yang mengobarkan nyala dan menyebarkan cahaya kepada lampu lain; dan melalui kedua kepada yang ketiga: begitulah Bapa bersinar secara abadi dalam Roh Kudus melalui Putera. Atau ia membuat perbandingan dengan sebuah sumber tenaga; daya itu sendiri dan semangat dari kuasa itu. Dalam hal ini logos menjadi intermediator antara Bapa dan Roh Kudus. Roh Kudus berasal dari Bapa dan menerima asal-Nya dari Putera, sehingga disebut Roh Allah dan Roh Kristus. Hal itu mempunyai dampak adanya ketergantungan Roh Kudus dan Outera sehubungan dengan ada-Nya dalam ekonomia. Hubungan ketergantungan macam manakah yang dimaksudkan? Hubungan ketergantungan Roh Kudus dari Putera tidak terletak pada tatanan  ‘penyebab efisien’ (causa efficiens) karena tatanan tersebut  merupakan kekhasan dari Bapa. Pada ahkir dari buku I tentang Contra Eunomium Gregorius menegaskan bahwa Sang Putera senantiasa bersama Bapa dan yang sama harus dikatakan tentang Roh Kudus (hanya berbeda dalam urutan atau taxis) sebab sebagaimana putera bersatu dengan Bapa menerima keberadaan dari pada-Nya (ex autou), tanpa secara temporal harus menjadi yang kemudian sebagai ‘hipostasis’, begitu juga Roh Kudus dalam hubungan-Nya dengan Putera Tunggal: sebagai ‘hipostasis’ Putera Tunggal dikandung sebelum Roh Kudus semata-mata dalam hubungan dengan causa (yakni Bapa).[4] Bagi Gregorius, terdapat ketergantungan dari Roh Kudus pada Putera selain dari Bapa sendiri, namun bukan ketergantungan pada tatanan ‘causa efficient’ principil (yang merupakan kekhasan Bapa) tetapi pada tatanan causa efficien ‘mediale’ atau ‘instrumental’ dan “sekunder’. Pemahaman seperti ini menjadi latarbelakang mengapa Gregorius dan bapa-bapa Gereja Timur lainnya tidak bisa menerima rumusan “Filioque” sejauh formula tersebut memberi kesan bahwa Bapa dan Putera berada pada tingkatan yang sama dalam hal sebagai “causa effien” bagi tampilnya Roh Kudus. Menurut Gregorius Roh Kudus tidak tampil keluar dari Bapa dan dari Putra, melainkan dari Bapa dengan perantaraan Putera.

4.      Hilarius dari Poitiers[5]
            Sehubungan dengan misteri Allah Tritunggal Hilarius memusatkan refleksinya pada soal ‘kesamaan’ atau ‘keesaan’ (ugualitas) antara Bapa dan Putera. Sesudah membuat eksplorasi mengenanai hakikat Allah secara umum, Hilarius melanjutkan refleksinya atas misteri pribadi  Ilahi. Ia membuat suatu refleksi yang sangat luas dan mendalam meliputi sebelas buku De Trinitate. Tujuan karyanya tidak lain dari pada merumuskan dengan persis dalam formula yuang aman misteri iman yang murni dan tanpa cemar yakni misteri Allah Tritunggal.
            Dengan berpegang teguh pada metode positif yang dianutnya, sambil secara terus menerus menimbah semata-mata dari sumber biblis, ia membela dogma katolik menurut rumusan Nicea, serentak juga ia menghantam dan merobohkan dengan sengatan yang berbisa semua bantahann yang dikemukakan oleh para pendukung Arius yang menolak kesamaan dari pribadi ilahi, secara khusus antara Bapa dan Putera. Ia secara sintesis merangkum kekeliruan para pendukung Arius. Mereka menyangkah bahwa Sang Sabda dapat dipisahkan dari satu Allah yang benar, dengan menempatkan konsep penciptaan dan iman akan hal itu sebagai ganti dari pemahaman sajati tentang kelahiran sehingga sebagai ciptaan Sang Sabda dengan sindirinya tidak menuntut bagi diri-Nya kesempurnaan Ilahi, sebab dalam kenyataan sehubungan dengan tampilnya Sang Sabda keluar dari Bapa tidak pernah terjadi suatu kelahiran ilahi dalam arti sesungguhnya. Untuk mendukung tesis tersebut para penganut Arianisme mengemukakan dua rangkauan argumentasi. Pertama bercorak filosofis mereka menonjolkan bahwa tidak mungkin mengakui keilahian Putera tanpa resiko jatuh ke dalam politeisme. Kedua argumen biblis, berupa satu daftar panjang kutipan Kitab Suci Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Sang Putera itu adalah inferior Bapa.
            Berhadapan dengan argumen kontra yang dikemukan oleh pengikut Arius, Hilarius mengatakan bahwa berdasarkan kesaksian yang diberikan dalam teks para nabi dan para penginjil kami dengan penuh keprihatinan mengobrak-abrik ketidaktahuan yang tidak sehat dari mereka yang menopang keesaan Allah, yang merupakan maksud baik dan suci, menyangkal kenyataan bahwa Kristus yang lahir adalah Allah atau dengan memandang Dia bukanlah Allah yang benar.  Mereka berpendapat bahwa penciptaanj suatu ciptaan penuh kuasa  menjamin kemurniaan iman akan keesaan Allah. Menurut mereka jkika kita  menerima bahwa Allah telah dilahirkan maka hal utu akan menjauhkan kesalehan kaum beriman dair pengakuan iman akan satu Allah. Namun kami setelah dituntun oleh ajaran Ilahi, tak pernah mengakui adanya dua Allah, juga kami tidak pernah mengenal adanya satu Allah yang soliter dalam mengakui iman akan Allah Bapa dan Allah Putera kami  mengemukakan kebenran yang terdpa tdalam teks injil dan para nabi. Merkea menunjukkan bahwa dalam iman kita, diakui bahwa ‘yang satu dan yang lain’ mereka adalah satu dalam hakikat jadi bukannya satu dalam pribadi. Kita tidak menerima bahwa yang satu dan yang lain adalah pribadi yang sama, kita kuga tidak menerima bahwa Kristus adalah sautu mahluk yang ada diantara (intermedia) Allah yang benar dan yang tidak benar, sebab refleksi Hilarius tentang Roh Kudus ia dasarkan di atas  konsep ‘anugerah’ (donum) yang ia pandang sebagai sapaan khas buat pribadi ilahi yang ketiga, Roh Kudus. Ia sendiri menolak dengan tegas pandangan para penganut arianisme dan pneumatomachi yang menganggap Roh Kudus sebagai ciptaan.
            Ada dua sumbangan penting dari Hilarius yang pantas dicatat sehubungan dengan perkembangan refleksi teologis tentang Trinitas. Pertama, ia telah memperkenalkan suatu langgam teologis, dengan mengadaptasi ke dalam bahasa latin istilah-istilah teknis yang telah disasa oleh bapa-bapa gereja yunani dari abad ketiga dan keempat. Yang kedua ia telah membuat langkah terahkir dalam memajukkan cara memberi ilustrasi mengenai dogma triniter terutama menyangkut keesaan atay kesatuan hakikat antara Bapa dan Putera. Selain itu telah menyatuhkan dan membangun dasar bagi hubungan antara teologi latin sebelum Nicea dengan teologi Yunani sesuadah Nicea. Usaha itu bermuara dalam sebuah sintese dengan kekayaan yang istimewa yang sekaligus sangat pribadi dan orisinil.

5.      Augustinus dari Hippo
Pada zaman Agustinus refleksi misteri Allah Tritunggal diliputi oleh banyak hak yang membinggungkan. Refleksi pada tatanan teoritis yang sudah ditandai oleh banyak kesulitan masih ditambah lagi dengan komplikasi sehubungan dengan bahasa. Hal itu terjadi karena langgam bahasa yang digunakan di lingkungan Yunani untuk membicarakan misteri Trinitas banyak kali berbeda dengan yang dipakai dalam lingkungan Latin.
            Dalam bukunya De Trinitate ia menjelaskan ‘identitas’ Allah Tritunggal dan relasi dari pribadi ilahi. Pada bagian pertama Agustinus menggumuli hal kesempurnaan (kebersahajaan) absolut Allah dan pada bagian kedua memberi jaminan yang mengamankan perbedaan ketiga pribadi Ilahi melalui ajarannya mengenai relasi. Allah dalam kodrat-Nya adalah tunggal dan sempurna secara absolut dan dari kenyataan itu baru menyusul identitas dari pribadi-pribadi dengan kodrat ilahinya, yang satu sebagai Trinitas. Kenyataan itu juga mendajdi dasar kesamaan dari ketiga pribadi Ilahi dan ciri khas masing-masing dalam operasi ad extra seperti penciptaan, konsepsi dari Yesus dalam rahim St. Perawan Maria dan theofania dalam PL. Ketiganya identik secara sempurna pada tatanan kodrati atau sehakekat dengan kesempurnaan absolut, ketiganya berbeda dalam tatanan relasi. Menurut Agustinus, Identitas Bapa terletak dalam status relasinya sebagai Bapa, sedangkan identitas Putera terletak dalam hal diperanakan (dilahirkan), sementara identitas Roh Kudus terletak dalam hal penganugerahan (adalah pemberian timbal balik antara Bapa dan Putera). Relasi-relasi tersebut sungguh real dan karena itu membutuhkan perbedaan real pula dalam istilah-istilah yang menyatakan hal tersebut. Bapa bukanlah Putera, dan Putera bukanlah Bapa begitu juga halnya  dengan Roh Kudus. Ketiganya tak berubah, subsisten, dan degan berada secara simultan maka ketiga pribadi Ilahi adalah kekal. Sang Putera tak mulai berada sebagai Anak pada saat tertentu, Ia telah ada sebagai Putera sejak kekal; demikian halnya dengan Bapa, Ia tak pernah mulai berada sebagai Bapa pada kesempatan tertentu, Ia ada sebagai Bapa sejak kekal. Hal yang sama juga harus dikatakan sehubungan dengan Roh Kudus. Jadi biar berbeda ‘hal ada’ sebagai Bapa dan Putera serta Roh Kudus namun antara ketiganya tidak ada perbedaan hakikat.
            Dalam De Trinitate ia menjelaskan ‘identitas’ Allah Tritunggal dan ‘relasi’dari pribadi-pribadi Ilahi menurut satu pendekatan psikologis[6] dengan misteri Trinitas direnungkan berdasarkan ‘analogi’ daya rohani manusia: ingatan, budi dan kehendak. Ketiganya walaupun secara jelas  berbeda namun membentuk satu substansi jiwa rohani manusia. Tentang ibarat itu sendiri Agustinus mengingatkan bahwa dari dirinya sendiri tak akan membuat manusia mengenal Allah Tritunggal. Karena itu  mereka yang dalam hidup ini mencoba memandang Trinitas melalui cermin tersebut bukan mereka yang memahami dalam Roh ketiga daya tersebut, hanya mereka yang melihat dalam jiwa rohaninya sebagai gambar untuk dapat menunjuk kepada yang mereka lihat, atau menunjuk kepada Dia yang jiwa rohani mereka merupakan gambarnya, mereka itulah melalui gambarnya bisa memandang Allah secara samar-samar karena belum bisa memandang-Nya dari muka ke muka.


[1] Monatanisme merupakan gerakan kebangkitan rohani yang dipelopori oleh Montanus, seorang kafir yang bertobat dan lalu menjadi imam di Phrigia (sekarang Turki) pada abad kedua dan mendapat banyak pengikut termasuk Tertulianus. Montanus mewartakan ahkir dunia dan memandang kegiatan para nabi dan nabiah ekstatik sebagai tanda-tanda ahkir zaman. Gaya hidupnya yang asketis, melarang pernikahan kembali orang yang pasangannya yang sudah meninggal, dan mewajibkan praktek puasa yang ketat. Di kemudian hari Montanus memandang dirinya sebagai penjelmaan Roh Kudus. Tata kelembagaan direndahkan. Hal ini tampak dalam pelayanan sakramen-sakramen yang semau-maunya. Karena itu, gerakan ini dikutuk Gereja. “Montanisme” dalam Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Jogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 208.
[2] Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, hlm.135.
[3] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, hlm.272.
[4] Dalam usahanya untuk memperjelas hal ini Gregorius mengatakan “jika kami dituduh mencampuradukan dan mengacaukan hypostaseis berdasar kenyataan bahwa kami tidak membuat perbedaan sehubungan dengan kodrat (physis), maka kami menjawab: dengan mengakui kodrat Ilahi tanpa perbedaan atau variasi, kami tidak menyangkal suatu perbedaan sehubungan dengankeadaan dari ‘penyebab’ dan yang ‘disebabkan’ (kata tin aition kai aitiation). Hanya dengan cara demikian kita dapat mengerti bagaimana ‘yang satu’ bisa berbeda dari ‘yang lain’: ‘satu hal’ ada sebagai ‘penyebab’ sementara ‘lain hal’ juga ‘ yang disebabkan’. Kemudian dalam ‘yang disebabkan’ itulah kita menemukan suatu distingsi baru antara yang ‘muncul secara langsung’ (prisehos) dari Yang Pertama dan dia yang muncul melalui pengataraan dari yang langsung muncul dari yang pertama. Dengan demikian berada sebagai “Putera Tunggal” tinggal tetap sebagai kenyataan khas dari Putera, dan dari lain pihak tak ada keraguan bahwa Roh Kudus adalah ‘dari Bapa’, hal itu mungkin sejauh posisi mediale dari Putera menjadimin serentak keistimewaan sebagai “Putera Tunggal” dan menjamin Roh Kudus tak kehilangan hubungannya yang natural dengan Bapa.
[5] Hilarius lahir di Poitiers di Galia, sekitar tahun 315. Ia merupakan salah satu bintang paling cemerlang dari periode patristik latin dan menjadi salah satu palu godam yang menghancurkan pengaruh arianisme di lingkungan Gereja barat. Hilarius merupakan orang pertama dari bapa-bapa Gereja latin yang membuat refleksi atas dogma Allah Tritunggal sesudah polemik dengan Arius memaksa bapa-bapa Gereja timur untuk mendalami dan merumuskan secara baru kebenaran iman Kristen. Selama masa pembuangannnya di Asia Kecil ia mendapat kesempatan menimbah secara langsung dari sumber-sumber yang berbahasa dan berbudaya Yunani baik yang Ortodoks maupun yang heretik, demikianlah ia menjadi yang  terbaik dari semua penulis di lingkungan latin dan memberi penyajian yang tepat dan terbaru menurut  ortodoksia sehubungan dengan dogma Allah Tritunggal. Hal tersebut tepatnya ia buat dengan menulis De Trinitate, karya Teologis pertama dengan wawasan yang luas ditulis dalam bahasa Latin.
[6]“Teologi Tritunggal” dalam Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Jogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.328.

1 komentar:

  1. Dalam Injil Markus 12 : 28 - 31 Yeshua ( nama Ibrani Yesus dengan ejaan ישוע/ Yod - Shin - Vav - Ayin ) menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat atau Soferim ( ספרים ) dengan menyebutkan Shema Yisrael dan Ve'ahavta sebagai hukum yang paling utama.

    Aksara Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד ואהבתא את יהוה אלהיך בכל לבבך ובכל נפשך ובכל מאדך ואהבתא לרעך כמוך. "

    Pengucapannya menurut peraturan tata bahasa Ibrani, "

    Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad. Ve'ahavta et YHWH ( Adonai ) Eloheikha bekol levavkha uvkol nafsheka uvkol meodekha ve'ahavta lereakha kamokha. "

    Terjemahan, " Dengarlah, hai orang Israel: YHWH ( Adonai ) Elohim kita, YHWH ( Adonai ) itu esa. Dan kasihilah YHWH ( Adonai ) Elohimmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. "
    ( Imamat 19 : 18, Ulangan 6 : 4 - 5, Matius 22 : 37, Markus 12 : 29 - 31, Lukas 10 : 27 )
    Tuhan memberkati. 🕎✡🐟✝🕊📖🇮🇱

    BalasHapus